BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

17 April 2009

TRINITAS PRAKTIS

MEMPERTIMBANGKAN ULANG DOKTRIN TRINITAS

DALAM KONTEKS GEREJA KRISTEN JAWA

Pdt. Yosafat AW, S.Si

I. PENDAHULUAN

Trinitas sebagai warisan iman Kristen telah begitu panjang melalui perjalanan dalam kehidupan iman orang-orang percaya disepanjang abad dan jaman. Doktrin Trinitas telah menyertai dan mewarnai kehidupan gereja dari jaman ke jaman berikut dengan tantangan-tantangan khasnya. Meski doktrin ini telah puluhan bahkan ratusan kali ditentang dan diserang oleh berbagai ajaran yang popular pada jamannya, tetapi eksistensi dan kelanggengan doktrin Trinitas tidak pernah suram maupun padam.

Eksistensi dan kelanggengan doktrin ini tidak lepas dari campur tangan Tuhan sendiri Sang Pemilik esensi doktrin ini. Tetapi juga karena kegigihan bapa-bapa gereja dalam memahami, mengimani, mempelajari, mengajarkan, mempertahankan, serta mewariskan kepada generasi penerus gereja hingga menjadikan doktrin ini tidak lekang oleh waktu.

Dalam berbagai konteks doktrin Trinitas menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa untuk mengokohkan keyakinan iman orang percaya kepada Allah Bapa , Allah Anak, dan Roh Kudus. Dalam segala aspek kehidupan orang percaya di sepanjang abad dan jaman Trinitas membawa perwujudan kehidupan yang penuh dengan penghargaan dan menumbuhkan hubungan yang damai. Trinitas membawa semangat yang tidak pernah surut bagi usaha-usaha mewujudkan hubungan dan komunitas yang diwarna dengan bentuk-bentuk kasih Allah yang tercermin dari pribadi-pribadi Trinitas.

Dalam kesempatan ini penulis bermaksud mempertimbangkan ulang doktrin Trinitas yang dihayati oleh GKJ. Doktrin Trinitas akan coba ditinjau peran dan pengaruhnya dalam kehidupan pelayanan GKJ. Trinitas akan coba dikupas dalam konteks budaya Jawa serta bagaimana pengaruh doktrin Trinitas mampu memberikan warna teologi yang kontekstual demi mewujudkan misi Allah dalam dunia ini, keselamatan bagi semua ciptaan. Dengan kejawaannya, GKJ hendak merefleksikan kembali iman kepada Allah Tritunggal agar supaya doktrin Trinitas dalam kehidupan iman orang Jawa mampu menolong untuk memahami dan menyelesaikan berbagai pergumulan yang terjadi.

II. DOKTRIN TRINITAS

Trinitas menjadi doktrin yang menarik bagi gereja sepanjang masa hingga doktrin ini telah dibicarakan oleh bapa-bapa gereja selama berabad-abad. Doktrin Trinitas menjadi pokok pembicaraan selama berabad-abad sepanjang sejarah gereja tentu memiliki kekayaan yang tiada pernah habis digali oleh pikiran manusia. Usaha penggalian makna Trinitas sampai tuntas tidak akan pernah tercapai, sebab pada hakekatnya adalah menggali Allah dengan pikiran manusia yang sangat terbatas. Oleh karena itu dalam bagian ini akan kita lihat apakah doktrin Trinitas berikut perkembangannya dan bagaimana Trinitas dipahami dalam konteks kehidupan bersama.

1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TRINITAS[1]

Trinitas adalah doktrin umat Kristiani mengenai tiga aspek kepribadian Tuhan yang esensinya (inti-Nya) adalah satu (Esa). Tiga kepribadian dalam satu Tuhan tersebut adalah Allah Bapa dan Anak (Putra) dan Roh Kudus. Tuhan dalam bahasa latin disebut Kurios (Penguasa Tunggal) dan dalam bahasa Ibrani disebut Adonai (Tuanku). Trinitas juga dikenali dengan nama "Triniti". Di dalam Bahasa Inggris, ia disebut "Trinity" yaitu gabungan daripada dua perkataan; "Tri" atau "Three" yang berarti "tiga" dan "Unity" yang berarti "kesatuan". atau secara harfiah disebut Tiga yang Satu (Esa). Ketiga kepribadian Tuhan tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut ini;

Allah Bapa, Allah sebagai Bapa yang memelihara, yang memberikan kasih seorang Bapa Sejati yang sangat mesra, begitu penyayang dan begitu tertib penuh ketegasan (disiplin). Bapa Sorgawi tidak pernah sama dengan para bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini dalam hal kasih dan karakter yang tidak dapat terbandingi dengan kasih dan karakter Bapa Sorgawi. Allah sebagai Bapa Sorgawi merupakan Bapa yang sempurna dari segala bapa (bapak-bapak atau para ayah) dunia ini yang adalah gambaran dan rupa (duplikat dan bayangan) dari Sang Bapa Sorgawi yang murni.

Allah Anak, Allah sebagai teladan dengan Ia merendahkan diri-Nya dalam rupa manusia dan mengenakan nama Yesus yang adalah Kristus (Allah yang datang sebagai manusia), taat pada semua hukum yang telah Ia tetapkan, mati di kayu salib, dikuburkan, lalu bangkit pada hari yang ketiga, dan naik ke sorga dan dari sana Ia akan datang untuk menghakimi orang yang hidup dan mati. Ia adalah teladan iman sejati dan sumber kehidupan bagi orang Kristen. Allah telah menunjukkan kasih-Nya yang terbesar dengan menjadi Anak yang mati di kayu salib. Ini adalah berita Injil yang adalah kekuatan Allah. Alkitab menyatakan bahwa Anak merupakan yang Anak sulung Allah dari semua anak-anak Allah dimaksudkan bahwa Anak pun merupakan "Sahabat Sejati" yang rela mengorbankan Nyawa-Nya dan tidak menyayangkannya sama sekali untuk manusia dapat diterima sebagai anak-anak Allah.

Allah Roh Kudus, Allah sebagai Pembimbing, Pendamping, Penolong, Penyerta, dan Penghibur yang tidak terlihat, namun berada dalam hati setiap manusia yang mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan hidup didalam-Nya. Roh Kudus bukanlah tenaga aktif. Roh Kudus bukanlah kebijaksanaan (pikiran) tertinggi dari seluruh alam jagad kosmik. Roh Kudus bukanlah manusia tokoh pendiri suatu agama baru. Roh Kudus tidak pernah berbau hal yang mistik. Memang benar bahwa Allah itu maha kuasa, tetapi Roh Kudus itu bukan sekedar kuasa atau kekuatan, tetapi Roh Kudus adalah Allah, sebab Allah itu Roh. Dengan demikian Roh Kudus adalah Pribadi Allah itu sendiri dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Allah.

Selama bertahun-tahun, ada banyak tentangan atas dasar Alkitab terhadap gagasan yang makin berkembang bahwa Yesus adalah Allah. Dalam upaya untuk mengakhiri pertikaian itu, penguasa Roma Konstantin memanggil semua uskup ke Nicea, jumlahnya sekitar 1800 uskup. Dari jumlah ini sekitar 1000 orang dari timur dan 800 orang dari barat. Namun jumlah yang hadir, lebih sedikit dan tidak diketahui pasti berapa. Eusebius dari Kaisaria menghitung 250, Athanasius dari Alexandria menghitung 318, dan Eustatius dari Antiokia mencatat 270 orang. Mereka bertiga hadir pada konsili ini. Belakangan Socrates Scholasticus mencatat lebih dari 300 orang dan Evagrius, Hilarius, Hieronimus dan Rufinus mencatat 318 orang. Konstantin bukan seorang Kristen. Menurut dugaan, ia belakangan ditobatkan, tetapi baru dibaptis pada waktu sedang terbaring sekarat.

Mengenai dirinya, Henry Chadwick mengatakan dalam The Early Church: “Konstantin, seperti bapanya, menyembah Matahari Yang Tidak Tertaklukkan;... pertobatannya hendaknya tidak ditafsirkan sebagai pengalaman kerelaan yang datang dari batin... Ini adalah masalah militer. Pengertiannya mengenai doktrin Kristen tidak pernah jelas sekali, tetapi ia yakin bahwa kemenangan dalam pertempuran bergantung pada karunia dari Allah orang-orang Kristen.”

Peranan apa yang dimainkan oleh kaisar yang tidak dibaptis ini di Konsili Nicea? Encyclopaedia Britannica menceritakan: “Konstantin sendiri menjadi ketua, dengan aktif memimpin pertemuan dan secara pribadi mengusulkan... rumusan penting yang menyatakan hubungan Kristus dengan Allah dalam kredo yang dikeluarkan oleh konsili tersebut, ‘dari satu zat dengan Bapa’... Karena sangat segan terhadap kaisar, para uskup, kecuali dua orang saja, menandatangani kredo itu, kebanyakan dari mereka dengan sangat berat hati.” Karena itu, peran Konstantin penting sekali. Setelah dua bulan debat agama yang sengit, politikus kafir ini campur tangan dan mengambil keputusan demi keuntungan mereka yang mengatakan bahwa Yesus adalah Allah. Tetapi mengapa? Pasti bukan karena keyakinan apapun dari Alkitab. “Konstantin pada dasarnya tidak mengerti apa-apa tentang pertanyaan pertanyaan yang diajukan dalam teologi Yunani,” kata A Short History of Christian Doctrine. Yang ia tahu adalah bahwa perpecahan agama merupakan ancaman bagi kekaisarannya, dan ia ingin memperkuat wilayah kekuasaannya. Namun, tidak seorang uskup pun di Nicea mengusulkan suatu Trinitas. Mereka hanya memutuskan sifat dari Yesus tetapi bukan peranan roh kudus. Jika suatu Trinitas merupakan kebenaran Alkitab yang jelas, tidakkah mereka seharusnya mengusulkannya pada waktu itu?

Setelah Konsili Nicea, perdebatan mengenai pokok ini terus berlangsung selama puluhan tahun. Mereka yang percaya bahwa Yesus tidak setara dengan Allah bahkan mendapat angin lagi untuk beberapa waktu. Namun belakangan, Kaisar Theodosius mengambil keputusan menentang mereka. Ia meneguhkan kredo dari Konsili Nicea sebagai standar untuk daerahnya dan mengadakan Konsili Konstantinopel pada tahun 381 M. untuk menjelaskan rumus tersebut. Konsili tersebut menyetujui untuk menaruh roh kudus pada tingkat yang sama dengan Allah dan Kristus. Untuk pertama kali, Trinitas Susunan Kristen mulai terbentuk dengan jelas.Tetapi, bahkan setelah Konsili Konstantinopel, Trinitas tidak menjadi kredo yang diterima secara luas. Banyak orang menentangnya dan karena itu mengalami penindasan yang kejam. Baru pada abad-abad belakangan Trinitas dirumuskan dalam kredo-kredo yang tetap. The Encyclopedia Americana mengatakan : “Perkembangan penuh dari ajaran Trinitas terjadi di Barat, pada pengajaran dari Abad Pertengahan, ketika suatu penjelasan dari segi filsafat dan psikologi disetujui.”

2. DOKTRIN TRINITAS DALAM KONTEKS INDONESIA

Pertumbuhan dan perkembangan gereja mula-mula hingga mencapai Eropa (barat) dan tersebar sampai Asia (timur), khususnya Indonesia telah menjadikan Injil Yesus Kristus di dengar dan memberikan keselamatan kepada banyak orang. Namun seringkali Injil Yesus Kristus sulit untuk dipahami dan diterima oleh konteks masyarakat timur. Terlebih ketika doktrin Trinitas menjadi pokok perbincangan dalam rangka penyebaran Injil. Ada dua warisan bapa-papa gereja (patristik) dalam pendekatan Trinitas yang cukup sulit dipahami ketika pendekatan patristic barat di bawa ke konteks budaya timur. Patristic Timur mulai dengan ketigaan Allah Tritunggal untuk menjelaskan keesaan-Nya, sedangkan Patristik Barat mulai dengan mempertahankan keesaan Allah Trutunggal untuk menjelaskan ketigaannya.[2] Pendekatan Trinitas yang dibawa oleh pemberita Injil dari barat tidak memperhatikan konteks hidup masyarakat timur atau Asia. Begitu pula ketika Injil disebarkan ke Indonesia tidak memperhatikan konteks hidup masyarakat Indonesia.

Gereja di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat dipengaruhi oleh elemen mayarakat Indonesia yang sangat beragam. Indonesia mempunyai semboyan hidup yang beranjak dari realitas keberagaman tetapi hakekatnya adalah kesatuan, Bhineka Tunggal Ika. Gereja Indonesia terbangun oleh masyarakat yang berbhineka tunggal ika, dengan demikian harus dipakai pendekatan yang sesuai dengan konteks dalam pendekatan doktrin Trinitas. Bernard T. Adeney berpendapat Gereja di Indonesia mempunyai kewajiban dan hak merenungkan dan merumuskan makna iman mereka dan implikasinya dalam konteks masyarakat Indonesia. Gereja di Indonesia tidak harus menerima ajaran dari Barat. Gereja di Indonesia harus berani menguji makna iman Kristen dari sudut pandang pengalaman umat Kristen dalam konteks Indonesia[3]. Dengan pendapat Adeney tersebut, gereja-gereja di Indonesia ditumbuhkan keyakinannya untuk mampu berteologi sendiri sesuai dengan konteks sehingga hasil teologi kontekstual tersebut benar-benar dapat membangun kehidupan bergereja dan bermasyarakat. Dengan cara yang demikian gereja membangun teologinya sesuai dengan pengalaman riil dalam kehidupannya. Selaras dengan yang dikatakan Greshake; Trinitas pada awalnya bukan rumusan iman, bukan kalimat iman, bukan doktrin atau ideologi melainkan peristiwa, yang diceritakan orang, sebuah pengalaman tentangnya diberi kesaksian.[4] Oleh karena itu teologi Trinitas di Indonesia patut untuk dipertimbangkan ulang penghayatannya.

III. GEREJA KRISTEN JAWA DAN DOKTRIN TRINITAS (Sebuah analisis)

GKJ sebagai penerima dan penerus keselamatan berusaha untuk mengejawantahkan warisan iman tersebut dalam isi kehidupan gereja. Doktrin-doktrin yang merupakan pengakuan iman gereja kepada Tuhan diajarkan dengan sistematis melalui seluruh isi kehidupan gereja GKJ. Kehidupan gereja berisi tiga unsur dasar, yaitu; 1. Menyatakan sikap percaya terhadap penyelamatan Allah. 2. Menghayati dan mengungkapkan hubungannya dengan Allah berdasarkan penyelamatan. 3. Melaksanakan tugas panggilannya di dalam pekerjaan penyelamatan Allah.[5] Selanjutanya bagian berikut adalah mencermati penggunaan doktrin Trinitas oleh GKJ dan analisis tentang aplikasi praktis dalam pelayanan GKJ.

1. PENGGUNAAN DOKTRIN TRINITAS OLEH GEREJA KRISTEN JAWA

Dapat dikatakan bahwa semua isi kehidupan GKJ senantiasa terkait dengan doktrin Trinitas. Hanya saja masih perlu dicermati ulang apakah penggunaan doktrin Trinitas GKJ memberikan pengaruh signifikan bagi pelayanan yang lebih baik kepada warga gereja maupun kesaksian kepada masyarakat.

a) DOKTRIN TRINITAS DALAM IBADAH

Ibadah jemaat adalah cara orang-orang percaya bersama-sama mengungkapkan dan menghayati hubungan dengan Allah, berdasarkan penyelamatan yang telah mereka alami.[6] Dalam ibadah jemaat, yang regular maupun khusus, dapat ditemukan penggunaan rumusan Trinitas meski tidak sedikit yang ditemukan implisit. Bila dicermati penggunaan rumusan Trinitas yang terdapat dalam unsur-unsur liturgi ibadah dikelompokan menjadi implisit dan eksplisit. Rumusan Trinitas dalam ibadah GKJ secara eksplisit digunakan pada pengakuan iman rasuli dan berkat, selebihnya rumusan Trinitas dipakai secara implisit.

b) DOKTRIN TRINITAS DALAM KATEKISASI

GKJ telah menyusun ajarannya sendiri yang didasarkan pada Alkitab sebagai sumber utamanya, materi ajaran GKJ ini disebut Pokok-Pokok Ajaran GKJ (PPAGKJ). Materi PPAGKJ digunakan oleh Sinode GKJ sebagai bahan dasar pemberian katekisasi baptis maupun sidhi. Secara eksplisit materi PPAGKJ memberikan pengajaran tentang Ketritunggalan Allah.[7] Dalam materi tersebut PPAGKJ memberikan pengajaran tentang maksud gereja awal merumuskan rumusan Tritunggal sebagai upaya penalaran mengenai penyelamatan Allah atas manusia, member pegangan iman orang percaya zaman dahulu, dan sebagai kesaksian kepada dunia tentang penyelamatan. Selanjutnya dijelaskan tentang awal mula penyebutan rumusan Trinitas didasarkan pada cara pelaksanaan penyelamatan Allah di dalam sejarah. Dan yang terakhir PPAGKJ memberikan penjelasan mengenai hubungan antara ketiga pribadi Allah dalam Trinitas. Berikut merupakan kutipan pengajaran Trinitas dari Gereja Kristen Jawa.[8]

KETRITUNGGALAN ALLAH

(Minggu ke-5)

38. Pert : Adakah hubungan antara penyelamatan Allah dengan iman gereja tentang ketritunggalan Allah?

Jwb : Ada, yaitu bahwa Allah yang telah berkarya dalam peristiwa bangsa Israel, peristiwa manusiawi Yesus dan peristiwa Roh Kudus itu disebut sebagai: Bapa, Anak dan Roh Kudus.

[Rumusan trinitas atau ketritunggalan Allah hanya ada di dalam Mat.28:19; band. rumusan sakraman baptis, dll., Kis.2:38, serta hubungan Bapa dan Anak dalam Pentakosta di Kis.2:33]

39. Pert : Apakah yang dimaksud oleh gereja awal dengan rumusan tentang ketritunggalan Allah itu?

Jwb : Dengan rumusan ketritunggalan Allah itu, gereja awal mempunyai maksud:

1. Memberi penalaran dengan bahasa dunia yang berlaku pada zaman itu, mengenai penyelamatan Allah ke atas manusia.

2. Memberi pegangan iman bagi orang-orang percaya pada zaman itu untuk menjalani kehidupannya.

3. Bersaksi kepada dunia tentang penyelamatan Allah ke atas manusia yang telah dialaminya.

40. Pert : Apakah ajaran tentang Allah tritunggal itu harus tetap dipertahankan walaupun dunia dan zaman kita sudah berbeda dengan dunia dan zaman gereja awal?

Jwb : Pemahaman gereja awal tentang Allah tritunggal itu telah menjadi tradisi gereja dan tercantum di dalam Alkitab. Itu berarti bahwa ajaran tentang Allah tritunggal difungsikan oleh Allah dalam pekerjaan penyelamatan-Nya, baik sebagai alat kesaksian maupun sebagai alat pemeliharaan iman. Oleh karena itu kita perlu mempertahankannya.

41. Pert : Bagaimana kita mempertahankan pemahaman gereja awal itu, sebab di dalam sejarah gereja ternyata pemahaman gereja awal tentang Allah tritunggal itu oleh pemikir-pemikir kristen dijelaskan dengan cara dan isi yang berbeda-beda?

Jwb : Yang kita pertahankan adalah latar belakang pengertiannya, yaitu cara Allah melaksanakan penyelamatan-Nya di dalam sejarah.

42. Pert : Bagaimana rumusan Bapa, Anak dan Roh Kudus itu dapat dijelaskan?

Jwb : Berdasarkan cara pelaksanaan penyelamatan Allah di dalam sejarah, ketritunggalan Allah dapat dijelaskan demikian:

1. Dalam hubungan dengan peristiwa bangsa Israel sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Lama, Allah dikenal sebagai Bapa.

2. Dalam hubungan dengan peristiwa manusiawi Yesus sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Baru, Allah dikenal juga sebagai Anak Allah.

3. Dalam hubungan dengan peristiwa Roh Kudus, sebagaimana tertulis dalam kitab Perjanjian Baru dan di dalam sejarah gereja hingga kini, Allah dikenal juga sebagai Roh Kudus.

43. Pert : Bagaimana hubungan antara sebutan Bapa dan Anak?

Jwb : Sebagai suatu cara yang manusiawi untuk memahami Allah di dalam pekerjaan penyelamatan-Nya, maka sebutan Bapa dan Anak itu tidak menyatakan hubungan biologis, melainkan menyatakan hubungan langkah-langkah Allah di dalam karya penyelamatan-Nya.

[Mat.3:17 ( baca ayat 13-17); Yoh.1:1-3]

44. Pert : Apakah Bapa, Anak dan Roh Kudus itu masing-masing pribadi?

Jwb : Bapa, Anak dan Roh Kudus itu Allah yang satu dan sama. Jadi, pribadinya hanya satu, yaitu Allah.

[Yoh.10:30; 14:9; 1Yoh.5:7]

45. Pert : Oleh karena Bapa, Anak dan Roh Kudus itu satu pribadi, maka bagaimana penjelasan tentang Yesus yang berdoa kepada Bapa dan tentang Bapa memberikan Roh Kudus kepada murid-murid Yesus?

Jwb : Penjelasan tentang Yesus yang berdoa kepada Bapa dan tentang Bapa memberikan Roh Kudus kepada murid-murid Yesus adalah sebagai berikut:

1. Tentang Yesus yang berdoa kepada Bapa dapat kita pahami atas dasar penalaran bahwa Yesus adalah Allah yang masuk melibatkan diri di dalam kehidupan manusia dengan cara yang begitu manusiawi dan menjalani kehidupan-Nya dengan cara yang manusiawi pula. Dalam hal Yesus yang berdoa kepada Bapa, Ia menempatkan diri dalam posisi menggantikan manusia.

2. Tentang Bapa yang memberikan Roh Kudus kepada murid-murid Yesus dan orang-orang percaya, hal itu dapat dimengerti dari penalaran bahwa Allah sendiri yang datang dan bekerja sebagai Kuasa di dalam hati mereka, untuk menolong mereka sehingga mampu mempertahankan keselamatannya.

[Flp.2:7,8; Ibr.2:14-18; 4:14,15;Yoh.20:22]

46. Pert : Apakah sebutan Bapa di dalam ketritunggalan Allah itu sama dengan sebutan Bapa dalam doa atau pujian kita?

Jwb : Kedua sebutan itu memang menunjuk kepada Allah yang satu dan sama. Tetapi ada perbedaan pengertian di antara keduanya. Perbedaan itu adalah:

1. Bapa di dalam ketritunggalan Allah adalah sebutan dalam hubungan dengan pelaksanaan penyelamatan Allah di dalam sejarah manusia.

2. Bapa di dalam doa atau pujian adalah sapaan dalam hubungan dengan keselamatan yang telah diterima oleh orang percaya. Di dalam Alkitab, salah satu cara menjelaskan penyelamatan Allah ke atas manusia itu dengan lukisan dari dunia keluarga. Manusia berdosa itu dilukiskan sebagai anak durhaka yang memberontak kepada bapaknya. Penyelamatan Allah dilukiskan sebagai tindakan bapak yang menerima dan mengampuni anak durhaka. Dari lukisan itu dapat dimengerti sebutan “anak-anak Allah” bagi orang percaya yang menyebut Allah sebagai “Bapa”.

[Mat.28:19; band.Yes.9:5; Yes.63:16; Yer.3:4; Mal.2:10; Rm.8:14-17; Gal.4:4-7; Yoh.1:12; Luk.15:11-32; Mat.5:16; 5:45,48; 6:6,9; dll]

47. Pert : Apakah Roh Kudus bekerja hanya di dalam masa peristiwa Roh Kudus?

Jwb : Karena Roh Kudus adalah Allah sendiri, maka Ia bekerja di segala masa, yaitu sejak penciptaan hingga peristiwa bangsa Israel, maupun peristiwa manusiawi Yesus. Tetapi di dalam peristiwa Roh Kudus dengan wataknya yang khas, Roh Kudus bekerja secara khas pula, yaitu menolong manusia untuk mengerti dan percaya kepada Yesus.

[Kej.1:1; Yes.63:10; Mrk.12:36; Luk.1:15; Kis.11:15,16; 9:31; dll]

c) DOKTRIN TRINITAS DALAM PEMBINAAN WARGA GEREJA

Selama ini penggunaan doktrin Trinitas secara eksplisit dalam pembinaan warga gereja, khususnya dalam Khotbah, PA, PD, Sarasehan, Seminar, jarang dilakukan di GKJ. Begitupun pembinaan warga gereja secara sinodal melalui penerbitan bahan-bahan PA sangat jarang secara eksplisit membahas tentang Trinitas. Kalaupun ada, penggunaan doktrin Trinitas tidak menjadi pilihan utama selama materi lain masih bisa dipilih. Topik tentang Trinitas menjadi pilihan kemudian oleh para Pembina warga gereja, kemungkinan penyebabnya adalah ketidakpahaman secara lengkap dari para pembina tersebut.

d) DOKTRIN TRINITAS DALAM PELAYANAN PASTORAL

Pelayanan pastoral diberikan secara intensif kepada warga gereja ketika mereka menghadapi pergumulan yang tidak menyenangkan, misalnya; sakit, dukacita, dan putus asa. Dalam pelayanan pastoral tersebut pemberian dorongan untuk tahan uji dan dorongan untuk bangkit semangatnya lebih banyak ditekankan oleh pastor atau pelayan. Pastoral untuk membangkitkan semangat dan tahan uji sering digunakan rumusan Roh Kudus sebagai kuasa yang menguatkan. dalam pengembalaan khusus, pamerdi, terhadap jemaat yang jatuh dosa, maka sikap pastoral yang sering terjadi adalah tidak mencerminkan Trinitas sebagai Allah yang peduli, pemelihara. Sebab pada banyak kasus gereja mensyaratkan untuk penerimaan penggembalaan dan pertobatannya. Pamerdi atau penggembalaan khusus tidak selaras dengan hakekat Trinitas yang prinsipnya sebagai Allah yang mempedulikan setiap orang.

2. KRITIK TERHADAP TEOLOGI TRINITAS GKJ

Memperhatikan teologi Trinitas yang dipahami dan diajarkan oleh GKJ kepada jemaat, maka dapat disampaikan beberapa hal sebagai bahan pertimbangan untuk memaknai ulang teologi Trinitas.

a. Teologi Trinitas yang dipakai oleh GKJ menekankan pada periodisasi karya penyelamatan Allah. PPA GKJ menjelaskan karya penyelamatan Allah atas manusia dalam tiga (3) periode. Periodisasi tersebut adalah;

Pertama, periode bangsa Israel, dimana dipahami bahwa Allah bekerja menyelamatkan manusia melalui sebuah bangsa yakni bangsa Israel dan pada masa ini disebut periode bangsa Israel dan pada periode ini Allah disapa oleh bangsa Israel dengan sebutan Allah Bapa.

Kedua, periode Yesus Kristus, pada periode ini dipahami bahwa Allah berkerja menyelamatkan manusia di dalam diri Yesus Kristus mulai dari kelahiran sampai dengan kenaikanNya ke sorga.

Ketiga, periode Roh Kudus, Allah dipahami sebagai Allah yang bekerja dan berkarya menyelamatkan manusia dalam bentuk Roh. Periode ini dimulai sejak hari Pentakosta sampai dengan masa sekarang ini.

Dengan pemahaman Trinitas seperti tersebut diatas maka dapat terjadi jemaat memahami bahwa karya Allah dalam menyelamatkan manusia sebagai karya yang terpisah-pisah dan berdiri sendiri-sendiri. Dengan demikian kurang adanya penekanan pada unsur relasi dan keutuhan pemahaman Trinitas. Bertolak dari paham tersebut maka dapat dikatakan bahwa teologi Trinitas GKJ sebagai Trinitas “Estafet”, yaitu karya Allah yang sambung menyambung dari satu periode kepada periode yang terkesan terpisah-pisah. Kemungkinan kesalahan memahami akan adanya relasi dan keutuhan karya Allah Tritunggal dapat terjadi dalam kehidupan gereja, sehingga hal tersebut juga akan berpengaruh dalam rangka terwujudnya relasi dan keutuhan hidup jemaat.

b. Doktrin Trinitas yang digunakan GKJ belum menunjukkan bagaimana doktrin yang dipahami oleh jemaat dapat diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Konsekuensi-konsekuensi mengimani Trinitas tidak nampak dalam pengajaran doktrin Trinitas GKJ. Dengan demikian ketika jemaat mengimani Trinitas mereka tidak dapat mengekspesikan pemahaman imannya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tidak nampaknya pengajaran tentang konsekuensi mengimani Allah Tritunggal bagi jemaat, menjadikan mereka kurang mampu mewujudkan makna menghimani Allah Tritunggal.

3. PENGARUH DOKTRIN TRINITAS DALAM PELAYANAN DI GEREJA KRISTEN JAWA

Dari hasil pengamatan dan pengalaman pelayanan dalam penggunaan doktrin Trinitas, GKJ sudah berupaya untuk mencoba secara sistematis mendaratkan pemahamannya kepada warga gereja melalui penyusunan materi pembinaan maupun dalam praktek pelayanan dan pastoral. Harus diakui bahwa penggunaan doktrin Trinitas untuk membina umat belum maksimal begitupun dengan penggunaannya dalam kesaksian hidup bersama dengan penganut agama lain. Malah dapat ditemukan adanya indikasi untuk menjauhkan doktrin ini dari kehidupan warga gereja. Salah satu indikasinya adalah sangat sedikitnya atau bahkan tidak adanya penyusunan bahan praktis dan sistematis pembinaan warga gereja tentang doktrin Trinitas.

Sikap kristis saya terhadap penggunaan doktrin Trinitas serta pengaruhnya dalam pelayanan gereja adalah sebagai berikut;

1. GKJ belum memberikan pengajaran yang utuh kepada warga gereja dalam memahami Trinitas secara lebih lengkap. GKJ perlu memberikan materi pengajaran atau pembinaan warga gereja (PWG) yang berisi tentang; pengertian Trinitas, latar belakang munculnya Trinitas, Perkembangan doktrin Trinitas dan pergumulan gereja-gereja mengenai doktrin Trinitas dalam sejarah gereja, serta perlu juga memberikan panduan cara praktis untuk menolong warga gereja memahami doktrin Trinitas secara sederhana dan mudah dihayati.

2. Pengajaran Trinitas oleh GKJ belum dapat memberikan pengaruh yang signifikan dalam peranny untuk mewujudkan kepedulian warga gereja untuk terlibat di dalam tugas-tugas pelayanan jemaat.

3. GKJ belum mempunyai pemahaman kontekstual terhadap doktrin Trinitas. Doktrin Trinitas yang sekarang dihayati oleh GKJ masih merupakan warisan dari dunia barat. Tumbuh kembang GKJ dalam konteks budaya Jawa yang sangat kaya akan pemikiran atau falsafah yang dapat digunakan untuk menjembatani “Trinitas Barat” hingga dapat diterima, dipahami, dan dihayati dalam hidup sehari-hari.

Materi pembinaan warga gereja tentang Trinitas perlu diberikan secara komprehensif hingga hasil yang diraih adalah dalam praktek-praktek pelayanan kehidupan GKJ. Pemahaman yang minim tentang Trinitas dan pengaruhnya dalam pelayanan gereja memberikan dampak pada rendahnya kesadaran warga gereja untuk terlibat dalam pelayanan. Beberapa dampak buruk yang disebabkan karena minimnya pembinaan dan rendahnya pemahaman tentang doktrin Trinitas diantaranya adalah;

1. KEPEDULIAN UNTUK PELAYANAN

Salah satu indikator keberhasilan doktrin Trinitas adalah mempengaruhi kehidupan jemaat menjadi peduli terhadap sesama dan lingkungannya, terlebih akan kebutuhan-kebutuhannya. Pada banyak kasus, kepedulian warga gereja terhadap sesama dan lingkungannya masih menjadi perjuangan GKJ. Secara umum masalah yang dihadapi oleh GKJ adalah kebutuhan para palayan Tuhan, mulai dari pengajar anak, pembimbing remaja, anggota komisi sampai kebutuhan akan majelis gereja. Sering terjadi pemenuhan para pelayan gereja tersebut didapat dengan cara “memaksa atau terpaksa”, bukan atas kesadaran tulus warga itu sendiri untuk terlibat dalam pelayanan.

Untuk itu diperlukan upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap kebutuhan-kebutuhan sesama termasuk kebutuhan gereja, baik itu kebutuhan para pelayan maupun yang lainnya. Untuk menumbuhkan kepedulian warga yang demikian akan sangat menolong ketika doktrin Trinitas tersebut dikupas secara mendalam khususnya tentang sifat kepedulian Allah Bapa kepada manusia yang memerlukan kebutuhan dasar yaitu pengampunan dosa. Beberapa cerminan sikap Bapa untuk menumbuhkan kepedulian warga adalah; mengasihi anggota keluarga, mempedulikan kebutuhan, menolong bertumbuh.[9] Dengan cara demikian warga gereja diajak untuk menghargai sikap Allah Bapa yang peduli kepada yang menderita hingga sikap Allah Bapa tersebut dapat menjadi bagian hidup dari warga gereja.

2. KETERLIBATAN DALAM PELAYANAN

Lebih mudah menunjukkan simpati daripada membuktikan dengan empati, rasanya ungkapan tersebut dapat dikenakan kepada warga gereja yang mengesampingkan keber-ada-an dirinya dalam komunitas sebagai bentuk keterlibatan dalam pekerjaan pelayanan. Banyak warga gereja bersedia memberikan sebagian atau semua miliknya untuk dipakai dalam pelayanan, tetapi ketika keber-ada-an dirinya diminta untuk mengerjakan tugas panggilan pelayanan maka penolakan yang disampaikan. Banyak hal yang menjadi alasan ketidakmauan terlibat dalam tugas pelayanan, misalnya; keterlibatan dalam pelayanan bisa mengurangi kesempatan untuk mengembangkan diri dalam karier ataupun mengurangi kenyamanan bersama keluarga. Sikap seperti ini menyadarkan kita untuk mampu menggugah mereka supaya mau terlibat dalam pelayanan apapun wujudnya.

Kenyamanan, kesuksesan, dan keselamatan sesorang tidak akan terwujud dalam kehidupan warga gereja jikalau Yesus Kristus, Allah Anak, tidak mau terlibat dalam misi Allah Bapa dalam karya penyelamatan. Kemauan dan keterlibatan Yesus Kristus Anak Allah telah menjadikan manusia dan dunia selamat. Keterlibatan dan keteladanan Yesus Kristus dalam pelayanan kepada Bapa mencerminkan sikap Anak yang patuh kepada Bapa. Jika warga gereja diakui dan mengaku sebagai anak-anak Allah, maka sikap yang harus ditunjukkan adalah kemauannya untuk terlibat dalam karya penyelamatan Allah melalui pelayanan. Agar melalui keterlibatannya dalam pelayanan semakin banyak lagi orang yang akan diselamatkan.

3. KONSISTENSI KESINAMBUNGAN PELAYANAN

Ketika pekerjaan Allah Bapa telah genap melalui Yesus Kristus, maka berakhir sudah pekerjaan Allah Anak di dunia dan kembali lagi kepada BapaNya. Namun dengan kembalinya Allah Anak kepada BapaNya di sorga bukan berarti pekerjaan Allah atas dunia dan ciptaannya selesai. Pekerjaan penyelamatan Allah atas manusia tetap berlanjut didalam Roh Kudus yang bekerja secara terus menerus, berkesinambungan dalam bentuk yang berbeda. Roh Kudus sebagai penolong dan penghibur senantiasa merindukan berlangsungnya pekerjaan penyelamatan Allah sampai Yesus Kristus datang kembali. Konsistensi Allah bekerja dalam wujud Roh untuk menyelamatkan manusia menjadi teladan bagi warga gereja utnuk meneruskan pekerjaan pelayanan.

Konsistensi dalam memegang komitmen pelayanan memang tidak mudah, terlebih ketika warga gereja menghadapi pergumulan yang diakibatkan oleh karena pekerjaan pelayanannya. Mereka menjadi kecewa dengan kenyataan yang dihadapi bahwa dalam pekerjaan pelayanan mereka menemukan halangan, suatu hal yang tidak dapat diterimanya sebagai akibat bekerja untuk Tuhan hingga akhirnya mereka kehilangan komitmen dan konsistensi. Dalam hal inilah teladan karya Roh Kudus dinyatakan kepada warga gereja agar mereka memahami bahwa kehidupan mereka masih berlangsung berkat komitmen dan konsistensi Roh Kudus menolong dan memelihara kita. Dengan demikian warga gereja diyakinkan bahwa komitmen dan konsistensi mereka dalam pelayanan menjadi berkat bagi banyak orang dalam rangka mempertahankan dan mencapai keselamatan sempurna.

IV. TRINITAS DALAM KONTEKS GEREJA KRISTEN JAWA

Cikal bakal GKJ tumbuh pada akhir abad 19 dari komunitas orang Jawa kelas bawah dan buta huruf. Di Banyumas orang Kristen mula-mula dari buruh dan tukang membatik, di Purworejo dari golongan pembantu rumah tangga, di perbukitan Menoreh dan sekitarnya orang Kristen mula-mula dari golongan koeli kendho yaitu petani tanpa tanah dan sawah. Tahun demi tahun GKJ terus tumbuh dan berkembang dalam berbagai tantangan jaman yang berubah. Namun komposisi dan karakteristik GKJ tidak banyak berubah sejak mula pertumbuhannya. GKJ abad 21, tersebar di enam (6) propinsi (Banten, DKI-Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur) berkembang menjadi 297 gereja, berhimpun dalam 31 Klasis, dengan jumlah warga 226.735 orang, dilayani oleh 285 pendeta jemaat dan 11 pendeta pelayan khusus. Komposisi warga GKJ terdiri dari segala lapisan masyarakat, baik dari kalangan lapisan rendah seperti petani, buruh tani, buruh pabrik, pedagang candak kulak, lapisan menengah seperti pegawai, pengusaha, maupun wiraswasta sampai dengan lapisan tinggi pengusaha sukses dan pejabat tinggi Negara.[10] GKJ hidup dalam keragaman dan pluralitas kehidupan, bahkan sebagian besar warga GKJ (85%) hidup di pedesaan yang notabene lebih memikirkan hal-hal praktis dalam kehidupannya.

Bertolak dari keberagaman, GKJ mengidentifikasikan gereja sebagai kehidupan bersama religius yang berpusat pada Yesus Kristus, yang sekaligus merupakan buah pekerjaan penyelamatan Allah dan jawab manusia terhadap penyelamatan Allah, yang didalamnya Roh Kudus bekerja dalam rangka pekerjaan penyelamatan Allah.[11] Adapun tugas panggilan gereja dalam kehidupan GKJ dipahami untuk; bersaksi tentang penyelamatan Allah kepada mereka yang belum mendengarnya dan memelihara keselamatan orang-orang percaya yang telah diselamatkan.

Dengan kenyataan ini warga GKJ telah terbiasa hidup dalam komunitas yang sederhana dan pluralis. GKJ sebagai buah pekerjaan penyelamatan Allah terpanggil untuk memelihara dan meneruskan warisan-warisan iman dari para leluhur gereja. Salah satu warisan iman yang dipelihara dan dipedomani oleh GKJ adalah doktrin Trinitas. Dalam komunitas keluarga besar GKJ yang begitu plural inilah doktrin Trinitas diajarkan dan diwariskan kepada generasi penerus GKJ. Diperlukan upaya pendekatan dan metode yang tepat agar doktrin Trinitas dapat diterima dan dipahami oleh warga GKJ hingga doktrin ini sanggup menjawab dengan tepat tantangan jaman dihadapi oleh warga GKJ. Oleh karena itu diperlukan cara praktis dan kontekstual dalam menyampaikan pembinaan tentang doktrin Trinitas kepada jemaat GKJ hingga berdaya guna dalam pelayanan dan kesaksian jemaat.

Dalam kenyataan GKJ sebagai komunitas yang plural menerima doktrin Trinitas dari orang-orang Eropa yang menggunakan pendekatan ke-esa-an Allah untuk menjelaskan ke-tritunggal-annya. Hal ini tentu berbeda dgn pola piker Asia, khususnya GKJ, yang hidup dalam pluralitas. Oleh karena itu penulis mencoba mempertimbangkan ulang pendekatan yang dipakai untuk memahami Trinitas di GKJ. Dengan menggali prinsip dan nilai hidup orang Jawa selanjutnya ditawarkan konsep baru untuk memahami Trinitas dalam konteks kehidupan GKJ.

1. PRINSIP HIDUP JAWA.

Berbicara prinsip hidup Jawa perlu diketahui lebih dahulu siapa masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa (suku) merupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di pulau Jawa tepatnya propinsi Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa.[12] Interaksi budaya masyarakat Jawa dengan dunia sekitarnya telah memunculkan heterogenitas sub-budaya Jawa. Ciri khas budaya Jawa terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya.[13] Keberadaan masyarakat Jawa yang heterogen melahirkan prinsip-prinsip hidup yang menunjukkan pengakuan pihak lain sebagai sedulur. Paseduluran (persaudaraan) menjadi tema penting dalam budaya Jawa dan dipegang kuat-kuat. meski tidak menetap dilingkungannya masyarakat Jawa selalu bercita-cita untuk kembali ke tempat dimana darah kelahirannya tumpah dan ari-ari (tali pusarnya) ditanam.[14] Dari budaya Jawa dapat ditemukan banyak sekali prinsip hidup yang mendorong kebersamaan dan perbedaan.

a) PRINSIP RUKUN

Keistimewaan orang Jawa adalah cita-cita luhur tentang hidup rukun atau damai. Kenyataan bahwa masyarakat Jawa begitu komplek mendorong untuk menciptakan keseimbangan sosial, rukun adalah kondisi tercapainya keseimbangan sosial.[15] Kerukunan terjadi karena masing-masing persona terjalin saling menghormati, sopan santun terjaga, dan saling menghargai satu sama lain. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan tenang dan tenteram. Jiwa kekeluargaan , gotong royong dan konsep tepa slira atau tenggang rasa selalu dikedepankan dalam kehidupan. Prinsip rukun dalam hidup masyarakat Jawa mengajarkan kepada kita betapa perbedaan dan keragaman tidak menjadi persoalan dalam mewujudkan kesatuan dan kebersamaan bila prinsip rukun dan hormat menjadi bagian yang diutamakan.

b) PRINSIP LARAS

Prinsip laras atau keselarasan menuntut agar konflik-konflik terbuka supaya dicegah dan dalam setiap permasalah prinsip kerukunan dan menghormati orang lain tetap dipertimbangkan. Prinsip keselarasan memuat larangan mutlak terhadap usaha untuk bertindak hanya atas dasar kesadaran dan kehendak seorang diri saja.[16] Kenyataan tersebut mempunyai dampak yang lebih dalam lagi, yaitu larangan itu mengenai segala sikap yang disebabkan oleh emosi, napsu-napsu, tetapi juga oleh kepentingan sendiri yang diperhitungkan dengan kepala dingin. Prinsip keselarasan ini tidak hendak menafikan kondisi psikologis seseorang, tetapi ingin agar supaya prinsip hidup rukun tersebut dapat dicapai melalui prinsip keselarasan. Prinsip keselarasan tersebut mendorong orang untuk belajar menjadi rendah hati dan tidak tinggi hati, hal ini sering diungkapkan orang Jawa dengan kalimat aja rumangsa bisa, nanging bisaa rumangsa,[17] jangan merasa bisa, tapi bisalah merasa. Jika masing-masing pribadi mampu menempatkan diri dan mengendalikan diri maka keselarasan hidup akan dapat terwujud.

Melalui dua prinsip diatas, prinsip rukun dan prinsip keselarasan sosial, hendak dinyatakan kepada kita bagaimana hidup dalam keberagaman namun tetap dapat mewujudkan kesatuan sebagai keluarga besar masyarakat Jawa. Keadaan rukun dan laras dapat terwujud apabila nilai-nilai kearifan budaya Jawa dilakukan dengan baik. Nilai-nilai kearifan budaya Jawa yang dapat menjadi sarana mewujudkan rukun dan laras (damai dan harmoni) diantaranya; prinsip hidup tepa slira (peduli, tenggang rasa), mangan ora mangan kumpul (kebersamaa), ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (di depan member teladan, di tengah-tengah mendorong karsa, mengikuti dari belakang untuk kebaikan atau keselamatan).

2. TRINITAS UNTUK PEMBINAAN JEMAAT GEREJA KRISTEN JAWA

Warga GKJ pada umumnya adalah orang-orang yang hidup, bergaul, dan berkembang dalam tradisi jawa. Sebab itu keberadaannya sebagai seorang Jawa yang Kristen turut mewarnai pamahaman akan iman percayanya. Begitupun dalam memahami doktrin Trinitas akan lebih hidup dan bermakna ketika doktrin tersebut disampaikan dengan pendekatan prinsip hidup orang Jawa. Oleh karena itu sangat relevan apabila kita mencoba untuk melakukan pembinaan jemaat GKJ melalui nilai-nilai budaya Jawa.

a) TRINITAS: ALLAH YANG TEPA SLIRA

Ungkapan tepa slira merupakan ungkapan Jawa yang sangat populer dan menjadi salah satu ciri etika sosial dalam masyarakat Jawa. Tepa slira merupakan etika pergaulan sosial. Dalam hidup bersama, seseorang perlu memiliki pandangan hidup untuk menghargai, menghormati, dan memperlakukan orang lain dengan ukuran penghormatan, penghargaan, perlakuan tersebut bagi dirinya sendiri.[18] Tepa slira selalu dikaitkan dengan keberadaan pihak lain yang ada disekitarnya untuk dihormati, tidak menjadikan pihak lain lebih rendah dari dirinya sendiri. Dalam ungkapan tersebut terkandung nilai kesederajatan, kesejajaran, ataupun kesamaan namun namun dalam pribadi ataupun fungsi yang berbeda-beda.

Melalui cara tersebut kita mencoba memahami doktrin Trinitas dengan berangkat dari keberagaman pribadi, Bapa-Anak-Roh Kudus, sebagai pribadi-pribadi yang berbeda namun yang hakekatnya adalah satu yaitu Tuhan Allah yang Esa. Allah yang tepa slira bisa dipahami ketika Bapa-Anak-Roh Kudus sebagai pribadi yang berbeda tetapi saling bertenggang rasa, pribadi-pribadi yang saling peduli satu sama lain tanpa ada yang yang melebihi ataupun merendahkan yang lain. Memahami Trinitas sebagai Allah yang tepa slira berarti mendorong kita untuk dapat menerima keberagaman dan mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain (peduli). Sebagaimana Trinitas menyangkut hidup setiap manusia dalam keadaan gembira ataupun menderita, juga menyangkut perjuangan menentang ketidakadilan dan membangun kehidupan bersama yang penuh persaudaraan, dan perjuangan.[19] Dengan pemahaman Trinitas yang demikian semakin mendorong terwujudnya cita-cita luhur masyarakat Jawa yaitu hidup rukun, sebagaimana juga tujuan dari karya Allah melalui teologi Trinitarian yang menciptakan pemulihan ketuhan ciptaan menuju situasi damai sejahtera.

b) TRINITAS: ALLAH YANG NGUMPUL

Paseduluran atau persaudaraan bagi orang Jawa merupakan satu pokok yang sangat penting. Sejauh-jauhnya orang Jawa meninggalkan kampung halamannya dia akan selalu bercita-cita untuk kembali dalam komunitasnya, ngumpul dengan sedulur-nya, hal itu dapat dibuktikan dengan adanya tradisi nyadran[20] pada orang Jawa. Tradisi nyadran dan ngumpul dengan keluarga merupakan usaha untuk senantiasa bisa berelasi dan berkomunikasi dengan saudara-saudaranya hingga menciptakan komunitas yang nyaman.

Satu ungkapan lagi yang menunjukkan kerinduan orang Jawa untuk selalu menjalin relasi dan komunikasi adalah ungkapan mangan ora mangan kumpul. Dalam konteks sosial, orang Jawa mementingkan kebersamaan meskipun akan kekurangan bahan makanan, itulah dasar keluarnya ungkapan mangan ora mangan ngumpul, makan tidak makan asal kumpul. Kebersamaan dalam budaya Jawa telah mengalahkan perbedaan, jarak maupun waktu untuk melihat suatu kehidupan bersama atau komunitas.

Memahami Trinitas dengan konsep Allah yang ngumpul, bersekutu, berelasi, membentuk komunitas hidup. Allah dipahami sebagai Bapa-Anak-Roh Kudus dalam korelasi kekal, saling resap dan dalam cinta yang kekal, sehingga merupakan Allah yang esa. Karena itu, pada awal mula bukan kesepian seorang diri Yang Esa, melainkan persekutuan ketiga Pribadi ilahi.[21] Trinitas sebagai Allah yang ngumpul dalam ketiga pribadinya, tiga pribadi yang ngumpul dalam Allah yang esa. Dalam kumpulan, persekutuan, atau relasi terbentuk sebuah komunitas yang didalamnya selalu terjalin ikatan dan hubungan satu sama lain yang tidak terpisahkan sebagai sedulur, saudara, keluarga.

Jemaat GKJ sebagai komunitas paseduluran akan sangat mudah untuk memahami doktrin Trinitas sebagai Allah yang ngumpul, dimana dalam perkumpulan itu ada kumunikasi yang baik antara pribadi-pribadi dalam kumpulan paseduluran tersebut. Dengan cara ini jemaat GKJ diharapkan tumbuh kerinduan untuk senantiasa ngumpul dengan sedulur untuk mewujudkan kesatuan dalam kebrsamaan.

c) TRINITAS: ALLAH SEBAGAI TULADHA

Bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, mengutip ungkapan Jawa ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani sebagai etika kepemimpinan nasional.[22] Ungkapan ini sebagai nasihat terkait dengan sikap hidup orang Jawa, terutama bagi mereka yang telah tua atau “dituakan”, dipandang sebagai pemimpin atau panutan.

Ing ngarsa sung tuladha berarti di depan memberikan teladan atau contoh, mengandung konsekuensi bagi siapapun yang dijadikan pimpinan (orang tua, orang yang dituakan) harus mampu menempatkan dirinya sebagai contoh bagi yang muda atau bawahannya. Secara praktis nasehat ini perlu diperankan oleh siapapun juga melalui keteladanan hidupnya. Ing madya mangun karsa berarti ditengah-tengah mendorong karsa, maknanya sebagai orang tua harus dapat memberikan dorongan kepada anak dan generasi muda untuk mengembangkan diri lebih baik. Jangan smpai kehadiran orang tua justru mengendorkan semangat ataupun menimbulkan keputusasaan anak-anaknya. Tut wuri handayani berarti mengikuti dari belakang untuk kebaikan atau keselamatan, mengandung konsekuensi bahwa selaku orang tua atau pemimpin harus mampu menempatkan diri di belakang kaum muda atau bawahannya serta berkewajiban selalu “menyertai” segala sepak terjang generasi muda atau bawahannya agar tidak terjerumus dalam ketidakbaikan.

Dalam konteks doktrin Trinitas, ungkapan Jawa ini sangat menolong, khususnya bagi warga GKJ, untuk lebih mudah memahami peran ke-tiga pribadi Allah dalam Trinitas. Melalui ungkapan Jawa tersebut kita dapat menganalogkan; Allah Bapa sebagai orang tua yang peduli dan memelihara demi kebaikan dan keselamatan anaknya. Allah Anak sebagai orang tua yang memberikan keteladanan hidup yang memimpin anak-anaknya kepada keberhasilan dan keselamatan. Roh Kudus sebagai orang tua yang hadir ditengah-tengah anaknya memberikan dorongan dan semangat untuk menjadi orang yang semakin baik.

Bertolak dari pemahaman ungkapan Jawa tersebut kita dapat memahami dengan lebih mudah tentang doktrin Trinitas. Allah sebagai Tuladha, sebagai teladan atau contoh bagi kehidupan warga GKJ. Allah yang tut wuri handayani mendorong warga GKJ untuk senantiasa mempunyai kepedulian terhadap sesama dan saling memelihara demi kebaikan dan keselamatan kehidupan bersama. Allah Anak di dalam diri Yesus Kristus berada pada posisi depan memberikan teladan hidup, ing ngarsa sung tuladha, sebagai Allah yang memberikan dirinya bagi orang lain yang berdosa. Yesus Kristus sebagai Allah Anak memberikan teladan kepada warga GKJ untuk mau menyerahkan hidupnya bagi pihak lain, yakni kepada Allah melalui sesama kita. Roh Kudus yang berada di tengah-tengah, ing madya mangun karsa, kehidupan orang percaya memberikan keteladanan dalam memberikan dorongan semangat bagi terwujudnya keadaan yang baik. Teladan Roh Kudus tersebut mengajak warga GKJ untuk senantia memiliki kegigihan dalam kehidupan dan pelayanan dengan kehadiran Roh Penolong, Pendorong, Penyemangat.

V. PENUTUP

Sebuah pemikiran tentu akan sangat banyak peluang untuk dapat dikritisi. Demikian pula pemikiran yang coba penulis sampai pada pokok-pokok pikiran dalam paper kecil ini. Bagi penulis adalah mencoba untuk memberikan sedikit sumbang saran dalam rangka pencarian makna Trinitas yang tidak akan pernah selesai kapan saja. Sebab pada dasarnya kita memikirkan Allah yang tidak terbatas dengan menggunakan pikiran-pikiran manusia yang sangat terbatas.

Namun demikian setiap upaya untuk memahami Allah Tritunggal yang dilakukan oleh manusia melalui pertolongan Roh Kudus pastilah tidak sia-sia. Bapa-bapa gereja purba telah berjuang dengan segenap pemikirannya untuk mempertahankan dan melestarikan doktrin Trinitas di tengah tantangan jaman yang sangat berat. Namun oleh karena penyerahan diri mereka kepada Tuhan Allah, Bapa-Anak-Roh Kudus, telah membawa kemenangan gereja untuk mengimani doktrin yang tidak mudah dipahami dan diterima manusia sampai kepada penyebarannya di abad modern ini.

Akhirnya pesan Rasul paulus kepada jemaat Filipi menjadi pendorong bagi kita untuk tidak henti-hentinya berteologi dengan kontek bagi pemahaman dan pengaplikasian iman secara tepat dan benar. “Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristuus Yesus”, Filipi 4:7, bergaung kepada kita yang mencoba untuk menafsirkan ulang paham Trinitas dalam kontek kita kini dan disini. Penyertaan damai sejahtera dari Allah yang memelihara kita dalam Kristus Yesus menjadi pendorong bagi kita untuk tetap melaju meniti hari dalam perarakan kita menuju komunitas damai sejahtera yang sempurna sebagai keluarga Kerajaan Allah sekarang sampai selamnya dalam persekutuan Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adeney,Bernard, Allah yang Bhineka Tunggal Ika, draft artikel, UKDW, Yogyakarta, 1997.

2. Boff, Leonardo, Allah Persekutuan: Ajaran Tentang Allah Tritunggal, Ledalero, Maumere, 2004.

3. Eminyan, Maurice, SJ., Teologi Keluarga, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

4. Endraswara, Suwardi, Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala, Yogyakarta, 2003.

5. Greshake, Gisbert, Mengimani Allah Tritunggal, Ledalero, Maumere, 2003.

6. Magnis-Suseno, SJ., Franz, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1984

7. Roqib, Moh, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

8. Sumadikarya, Kuntadi, Trinitas dan Pendidikan Kristiani, Penuntun, Vol. 6, No. 21, 2005.

9. Suratno, Pardi Astiyanto, Henniy, Gusti Ora Sare, Adi Wacana, Yogyakarta, 2004

10. Widjaja, Yahya, Trinitas Praktis, Bahan Kuliah M.Min, UKDW, 2009.

11. Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Edisi 2005, Sinode GKJ, Salatiga, 2005.

12. Sejarah Singkat Sinode GKJ, Agenda GKJ 2009, Sinode GKJ, Salatiga, 2009.

13. www.wikipedia.or.id, download Sabtu 10 Januari 2009.



[1] www.wikipedia.or.id, download Sabtu 10 Januari 2009.

[2] Kuntadi Sumadikarya, Trinitas dan Pendidikan Kristiani, Penuntun, Vol. 6, No. 21, 2005, hal. 94.

[3] Bernard T. Adeney, Allah yang Bhineka Tunggal Ika, draft artikel, UKDW, Yogyakarta, 1997, hal. 13.

[4] Gisbert Greshake, Mengimani Allah Tritunggal, Ledalero, Maumere, 2003, hal. 18.

[5] Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Edisi 2005, Sinode GKJ, Salatiga, pertanyaan No. 130, hal. 40.

[6] Ibid, pertanyaan No. 117, hal.44.

[7] Ibid, pertanyaan No. 38-47, hal.17-21.

[8] Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Edisi 2005, Sinode GKJ, Salatiga, Minggu ke-5.

[9] Yahya Widjaja, Trinitas Praktis, Bahan Kuliah M.Min, UKDW, 2009.

[10] Sejarah Singkat Sinode GKJ, Agenda GKJ 2009, Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa, Salatiga, 2009.

[11] Pokok-Pokok Ajaran GKJ, Edisi 2005, Sinode GKJ, Salatiga, pertanyaan No. 75.

[12] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 33-35.

[13] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1984, hal. 1.

[14] Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hal. 60.

[15] Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala, Yogyakarta, 2003, hal. 38.

[16] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1984, hal. 71.

[17] Pardi Suratno – Henniy Astiyanto, Gusti Ora Sare, Adi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 17.

[18]Pardi Suratno – Henniy Astiyanto, Gusti Ora Sare, Adi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 209.

[19] Leonardo Boff, Allah Persekutuan: Ajaran tentang Allah Tritunggal, Ledalero, Maumere, 2004, hal. 178-179.

[20] Nyadran, adalah tradisi orang Jawa untuk nyekar atau ziarah kubur. Nyadran sering dilakukan bersamaan dengan budaya mudik (kembali ke udik/desa) pada masa menjelang bulan Ramadhan. Tradisi nyadran ini untuk selalu mengenang para leluhurnya dan agar supaya tidak lupa aka nasal-usul dirinya.

[21] Leonardo Boff, Allah Persekutuan: Ajaran tentang Allah Tritunggal, Ledalero, Maumere, 2004, hal. 1.

[22] Pardi Suratno – Henniy Astiyanto, Gusti Ora Sare, Adi Wacana, Yogyakarta, 2004, hal. 74.

2 komentar:

Blogger IDN mengatakan...

Syaloom,

Posting ini sangat menarik sebagai salah satu usaha untuk lebih memberikan gambaran yang nyata mengenai Trinitas.

Kebudayaan Jawa merupakan salah satu kebudayaan yang kuat yang sering digunakan untuk menyatakan bentuk-bentuk nyata spiritualitas agama-agama besar di dunia.
Perkembangan Kristen di Jawa tentu juga didukung oleh budaya yang dimiliki oleh masyarakat Jawa.
Mungkin memang ada beberapa kemudahan yang dapat diterima oleh masyarakat Jawa untuk mengenal Kekristenan, khususnya mengenai Trinitas Allah.

Berdasarkan pengalaman, saya sering mendengar masyarakat Jawa (apapun agamanya) memberikan nama Tuhan dengan sebuan Sang Pangeran, hal ini terlihat janggal karena dalam budaya-budaya lain akan cenderung menggunakan kata yang dianggap lebih tinggi daripada hanya sekedar "pangeran".
Namun hal tersebut akan mempermudah masyarakat Jawa untuk mengenal Yesus sebagai Putra Allah yang juga adalah Tuhan itu sendiri.

Namun jangan sampai menjadikan budaya Jawa tersebut sebagai suatu yang melebihi kekristenan itu sendiri.
Saya melihat bahwa agama besar lain telah memanfaatkan budaya Jawa seakan-akan itu merupakan doktrin keagamaannya. Misalnya kalo kita perhatikan sistem penanggalan Jawa (yang lebih tua masa penanggalannya)yang dipakai menjadi penanggalan Hijriah yang seakan-akan merupakan budaya timur tengah yang disesuaikan dengan momen tertentu.Meskipun telah dimanipulasi dengan penamaan penanggalan dan bulan serta hari yang berbeda, namun tetaplah merupakan "pembajakan" budaya Jawa.

Dengan memperhatikan hal tersebut, tentunya sebagai orang Kristen Jawa perlu mempertahankan posisi kekeristenan terhadap budaya Jawa, jangan sampai tercampur tanpa dapat diketahui wujud aslinya berupa doktrin kekristenan atau kebudayaan.

GBU.

Denis Desmanto mengatakan...

Shalom bapak, ibu saudara/i di manapun berada. Apakah Sudah ada yang pernah mendengar tentang Shema Yisrael? Ini adalah kalimat pengakuan iman orang Yahudi yang biasa diucapkan pada setiap ibadah mereka baik itu di rumah ibadat atau sinagoga maupun di rumah. Yesus juga menggunakan Shema untuk menjawab pertanyaan dari seorang ahli Taurat mengenai hukum yang utama. Kita dapat baca di Ulangan 6 ayat 4 dan pernah juga dikutip oleh Yesus di dalam Injil Markus 12 : 29. Dengan mengucapkan Shema, orang Yahudi mengakui bahwa YHWH ( Adonai ) Elohim itu esa dan berdaulat dalam kehidupan mereka. Berikut teks Shema Yisrael tersebut dalam huruf Ibrani ( dibaca dari kanan ke kiri seperti huruf Arab ) beserta cara mengucapkannya ( tanpa bermaksud untuk mengabaikan atau menyangkal adanya Bapa, Roh Kudus dan Firman Elohim yaitu Yeshua haMashiakh/ ישוע המשיח, yang lebih dikenal oleh umat Kristiani di Indonesia sebagai Yesus Kristus ) berikut ini

Teks Ibrani Ulangan 6 ayat 4 : ” שְׁמַ֖ע ( Shema ) יִשְׂרָאֵ֑ל ( Yisrael ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֱלֹהֵ֖ינוּ ( Eloheinu ) יְהוָ֥ה ( YHWH [ Adonai ] ) אֶחָֽד ( ekhad )


Lalu berdasarkan halakha/ tradisi, diucapkan juga berkat: ” ברוך שם כבוד מלכותו, לעולם ועד ” ( " barukh Shem kevod malkuto, le’olam va’ed " ) yang artinya diberkatilah nama yang mulia kerajaanNya untuk selama-lamanya " ). Ini untuk berbagi wawasan rohani. Apakah ada yang mempunyai pendapat lain?.
🕎✡️👁️📜🕍🤴🏻👑🗝️🛡️🗡️🏹⚖️☁️☀️⚡🌧️🌈🌒🌌🔥💧🌊🌬️🏞️🗺️🏡⛵⚓👨‍👩‍👧‍👦❤️🛐🤲🏻🖖🏻🌱🌾🍇🍎🍏🌹🐏🐑🐐🐂🐎🦌🐪🐫🦁🦅🕊️🐟🐍₪🇮🇱⛪