BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

04 Juli 2011

KATEKISASI DI KLENTENG LAM TJENG KIONG CILACAP


“KATEKISASI DI KLENTENG LAM TJENG KIONG CILACAP”

Pdt. Yosafat Ari Wibowo, S.Si, M.Min

“Pak, apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”, begitu pertanyaan salah seorang peserta katekisasi kepada pak Agus Suyono ketua Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap. Pertanyaan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat bagus dari ketua Klenteng yang juga mempunyai studio foto “Matahari” jalan A.Yani tersebut. “Pertanyaan yang bagus sekali, kalau tidak kenal maka tidak sayang” demikian pak Agus menanggapi pertanyaan yang cukup kritis tersebut dengan tersenyum.

Pertanyaan salah satu murid katekisasi tersebut mungkin mewakili pertanyaan banyak orang yang belum memahami tentang kehidupan seputar Klenteng. Pertanyaan itu tentu muncul berdasarkan pengamatan terhadap simbol-simbol dan aktifitas umat ketika berada di Klenteng. Ada banyak patung, kurang lebih ada sekitar 200 buah patung di Klenteng ini. Aktifitas umat Klenteng yang bersujud dan berdoa di depan patung tersebut juga memunculkan pertanyaan apakah mereka menyembah patung.

Pertanyaan diatas dilontarkan pada saat terjadi percakapan antara murid katekisasi sidhi GKJ Cilacap dengan pengurus Klenteng berlangsung pada hari Selasa 14 Juni 2011 jam 18.00 bertempat di Klenteng Lam Tjeng Kiong jalan R.E. Martadinata Cilacap. Percakapan yang hangat tersebut merupakan bagian dalam proses katekisasi sidhi khususnya dalam menambah pemahaman keberbagaian agama. Tambahan wawasan tersebut sangat tepat karena diberikan langsung oleh sumber utama yang mengimani dan menjalani ajaran agama lain tersebut. Perkunjungan di Klenteng diawali dengan dialog bersama pengurus Klenteng di ruang pertemuan. Kurang lebih satu jam dialog diakhiri dan dilanjutkan meninjau tempat doa dan ritual umat Klenteng.

Kegiatan katekisasi di Klenteng tersebut mempunyai maksud dan tujuan agar murid katekisasi mempunyai pemahaman yang bernar dan obyektif menyangkut agama-agama yang ada di sekitar mereka. Penanaman nilai-nilai pluralitas atau keberagaman juga menjadi tujuan dari kegiatan tersebut. Melalui pemahaman yang obyektif serta penanaman nilai-nilai keberagaman sejak dini maka harapan dikemudian hari para murid katekisasi akan mempunyai sikap hidup yang inklusif atau terbuka dengan beragam perbedaan yang ada dalam masyarakat. Sikap hidup inklusif akan menjauhkan mereka dari segala macam bentuk provokasi yang menjadikan sebagai pribadi yang fanatik yang merusak.

MENGENAL KLENTENG LAM TJENG KIONG

Kentheng Lam Tjeng Kiong Cilacap diperkirakan telah ada sejak 120 tahun yang lalu, hal ini didasarkan pada sebuah peninggalan Joli yaitu sebuah tempat yang menyerupai tandu untuk meletakkan patung seorang suci atau dewa, joli ini bertuliskan tahun 1899. Jika Joli tersebut dibuat pada tahun 1899 maka keberadaan Klenteng dipastikan lebih tua sebab logikanya Joli dibuat setelah Klenteng itu berdiri. Tidak diketahui dengan pasti kapan tanggal berdirinya Klenteng ini.

Klenteng di jalan R.E. Martadinata tersebut dikenal dengan nama Klenteng Lam Tjeng Kiong. Nama Klenteng ini mempunyai arti yang baik dan harapannya klenteng ini berfungsi sesuai namanya. Lam berarti selatan, Tjeng berarti bersih atau suci, dan Kiong berarti istana. Lam Tjeng Kiong bisa diartikan sebagai Istana Selatan yang Bersih atau Suci, sesuai dengan namanya memang Klenteng ini pun menghadap ke arah selatan. Tujuan dan harapan keberadaan Klenteng ini adalah sebagai penangkal segala sesuatu yang kotor dan jahat. Sesuatu yang kotor bisa berarti orang-orang jahat, kejadian alam yang merusak (tsunami) ataupun roh dan kuasa jahat. Dengan demikian keberadaan klenteng Lam Tjeng Kiong ini ingin menyingkirkan atau melawan segala kekuatan-kekuatan yang kotor, jahat dan merusak kehidupan.

RITUAL UMAT KLENTENG

Ketika meninjau ruang-ruang doa dalam Klenteng banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh murid katekisasi sebab memang sangat banyak “benda asing” bagi mereka. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah “Bagaimanakah cara umat Klenteng berdoa?”. Pertanyaan tersebut dijelaskan oleh pak Ichwan, salah seorang pengurus harian Klenteng. Dari penjelasan pak Ichwan diperoleh keterangan yang cukup menolong para murid katekisasi untuk memahami rituan dan doa oleh umat Klenteng.

Ketika umat hendak berdoa di Klenteng hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan sarana doa diantaranya hio (dupa/kemenyan berbentuk stik/lidi), air putih, persembahan (buah, minyak goreng, dll). Sarana doa tersebut bisa disiapkan dari rumah atau bisa dibeli di Klenteng. Pembelian sarana doa juga tergolong unik, setiap orang yang mau membeli mengambil sarana doa yang diinginkan dan membayar sendiri di kotak yang telah disiapkan. Jadi tidak ada orang yang menjaga barang-barang tersebut, dalam hal ini kejujuran diri menjadi kunci pokok.

Setelah umat mempersiapkan sarana doa kemudian umat menuju ke altar Ti Kong, yaitu altar yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Ti Kong atau Tuhan Yang Maha Esa dipercaya sebagai Dewa segala dewa, Dewa (Tuhan) Yang Maha Esa. Menurut keterangan pak Ichwan Ti Kong adalah satu-satunya pihak pertama dan utama yang disembah oleh umat Klenteng. “Jadi kami ini menyembah Tuhan Yang Maha Esa, bukan menyembah patung atau berhala”, demikian kata pak Ichwan.

Ritual dilanjutkan oleh umat dengan menuju ruang doa menurut kebutuhan mereka masing-masing. Ada tiga (3) ruang doa dibelakang Altar Ti Kong, masing-masing dengan nuansa khas yang menunjukkan keberadaan tiga (3) ajaran agama yang ada di Klenteng yaitu Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Itu sebabnya Klenteng juga disebut sebagai Tempat Ibadah Tri Darma (TITD) dimana tiga (3) ajaran agama menyatu di Klenteng. Namun biasanya umat Klenteng akan berdoa dan memohon pertolongan para dewa di tiga tempat doa yang ada. Setiap Klenteng pasti ada yang disebut sebagai dewa tuan rumah, masing-masing Klenteng dewa tuan rumahnya berbeda-beda. Di Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap yang menjadi dewa tuan rumah adalah Hian Tian Siang Te, yang dipercaya sebagai dewa laut yang memberikan pertolongan kepada manusia yang hidupnya berhubungan dengan laut.

Umat yang berdoa memohon pertolongan kepada para dewa biasanya menanyakan tentang pergumulan dan keberuntungan hidupnya, misalnya tentang kesehatan, jodoh, pekerjaan, dan keluarga. Cara untuk mengetahui jawaban dari pergumulan umat dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya;

Sio pe, cara ini menggunakan dua (2) bilah kayu yang berbentuk biji jambu monyet yang terbelah. Untuk mengetahui jawaban pertanyaan umat melemparkan dua (2) bilah kayu ke lantai. Jika dua bilah kayu tersebut tertutup berarti permohonan ditolak. Jika yang satu tertutup dan satu lagi terbuka berarti permohonan diperbolehkan. Dan jika kedua bilah kayu tertutup berarti masih belum ada jawaban.

Ciam Sie atau bambu peramal, terbuat dari batang bambu berbentuk stik menyerupai sumpit pipih dan masing-masing ada nomornya. Fungsi ciam sie adalah untuk mengetahui jawaban pergumulan dan pertanyaan umat. ada dua (2) macam jenis ciam sie, berwarna terang dan gelap. Ciam sie terang untuk mengetahui peruntungan hidup dan ciam sie berwarna gelap untuk mengetahui obat atau kesehatan. Caranya mengetahuinya umat mengambil tabung bambu yang berisi ciam sie dan kemudian dikocok hingga sebuah ciam sie jatuh dari tabung bambu. Nomor yang tertera dalam ciam sie digunakan untuk mengambil gulungan kertas bernomor yang telah ada jawabannya.

Tang Sin, adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk kerasukan dewa hingga melaluinya seseorang bisa berkomunikasi dengan dewa untuk menanyakan jawaban dari suatu pergumulan. Tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan menjadi tang sin, meski ada beberapa orang yang mampu tetapi hanya satu orang yang dipilih untuk menjadi tang sin sebuah klenteng.

Setelah umat menyelesaikan ritual dan doa dengan menggunakan ketiga cara tersebut diatas biasanya mereka mengakhiri ritual di klenteng dengan memberikan sesaji atau dana kebajikan baik berupa sembako, minyak ataupun uang. Semua pemberian dari umat tersebut pada prinsipnya untuk menjadi sarana operasional, pemeliharaan dan pengembangan klenteng.

KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Terkait dengan pertanyaan murid katekisasi tentang apakah umat klenteng umat penyembah patung dan berhala, lebih lanjut pak Agus menjelaskan sesungguh dugaan sebagian banyak orang yang menilai bahwa mereka menyembah patung atau berhala adalah dugaan yang salah. Umat Klenteng pada prinsipnya menyembah TUHAN Yang Maha Esa, hal ini terbukti bahwa ketika umat berdoa di Klenteng altar yang dituju pertama kali adalah Altar untuk Ti Kong (Tuhan Yang Maha Esa). Mereka berdoa dan memberikan sesaji/persembahan kepada Ti Kong.

Umat klenteng memahami dan mempercayai bahwa Ti Kong adalah Tuhan Yang Maha Esa, Kuasa dan Suci serta tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia sehingga umat membutuhkan perantara untuk dapat sampai kepada Ti Kong. Agar permohonan sampai kepada Ti Kong umat klenteng mempercayai adanya dewa-dewa atau orang-orang suci yang akan menyampaikan permohonannya mereka kepada Ti Kong.

Dari penjelasan tersebut muncul pertanyaan dari murid katekisasi, “Antara Ti Kong dan dewa-dewa manakah yang lebih utama untuk disembah dalam kehidupan umat klenteng?”. Ketua klenteng tersebut menjelaskan bahwa Ti Kong adalah yang disembah umat klenteng, adapun dewa-dewa adalah dihormati sebagai orang-orang suci yang dekat dengan Ti Kong yang akan menjadi perantara dan menolong mereka untuk mendapatkan berkat dari Ti Kong. Jadi sesungguhnya umat klenteng adalah penganut paham monotheisme yaitu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat klenteng tidak menganut paham politheisme yaitu paham yang mempercayai dan menyembah berbagai tuhan.

Ditambahkan oleh pak Agus Suyono, Klenteng disebut juga Tempat Ibadah Tri Darma (TITD). Tri berarti tiga (3) dan Darma berarti ajaran, Klenteng adalah tempat menyatunya tiga (3) ajaran yaitu agama Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Ketiga ajaran tersebut sepakat untuk berjalan bersama, harapannya sampai selamanya, dengan tetap menghargai kekhasan masing-masing. Setiap umat yang berdoa ke Klenteng pasti akan melakukan ritual dan doa pada setiap ruang dari ketiga agama tersebut.

KEPERCAYAAN TERHADAP DEWA-DEWA

Ada sekitar 200 dewa yang dipercaya oleh umat dan masing-masing dibuat replika atau gambaran berupa patung. Dewa tuan rumah di klenteng ini adalah Hian Tian Siang Te (dewa laut). Beberapa dewa lain adalah, Hok Tek Ceng Sin (dewa bumi), Po Seng Tay Te (dewa pelindung), Sin Long Tay Te (dewa obat), Kam Sin Te Kan (dewa kewibawaan), Cu Sen Niang Niang (dewa kelahiran), Tian Ho Shen Mo (dewa nelayan), dll.

Dalam kepercayaan umat klenteng, dewa-dewa dahulu kala adalah manusia yang hidup bijaksana dan sangat baik kepada sesamanya. Oleh kebaikannya mereka banyak orang yang merasa tertolong dan terlindungi sehingga mereka selalu menghormati meskipun mereka sudah meninggal penghormatan tersebut tetap ada. Penghormatan terus menerus secara turun temurun pada akhirnya dipercayai sebagai orang-orang suci yang kemudian disebut sebagai dewa. Dewa-dewa ini menjadi pengantara umat untuk memperoleh berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa atau Ti Kong.

Ketika masih menjadi manusia dewa-dewa tersebut hidupnya sangat dekat dengan manusia sehingga dewa-dewa memahami betul bagaimana pergumulan manusia. Karena itu dewa-dewa tersebut mampu menyampaikan dengan benar pergumulan dan harapan manusia.

Hok Tek Ceng Sin dipercaya sebagai dewa yang terdekat dengan manusia. Hok Tek Ceng Sin dahulu adalah seorang pejabat yang bernama Thio Hok Tek yang lahir pada tahun 1134 SM. Ia hidup pada jaman dinasti Chao pada masa pemerintahan Kaisar Chao Bu Ong. Hok Tek Ceng Sin seorang yang pandai dan b ijaksana serta berhati mulia. Ketika menjabat sebagai menteri urusan pemungutan pajak, ia selalu bertindak bijaksana dan tidak memberatkan rakyat, sehingga rakyatpun sangat menghormatinya. Setelah ia meninggal dunia pada usia 102 tahun, penggantinya adalah seorang yang berwatak kejam, selalu bertindak kasar dalam menarik pajak, sehingga rakyat menderita dan banyak yang pergi meninggalkan kampong. Dalam masa penderitaan itu mereka sangat mendambakan seorang bijak dan welas asih seperti Hok Tek Ceng Sin. Dalam keadaan susah dan menderita rakyat tidak pernah melupakan kebaikan Thio Hok Tek. Dari sinilah kemudian muncul gelar Hok Tek Ceng Sin. Dalam mengenang kebaikan dan mengharapkan pemimpin seperti Thio Hok Tek maka rakyat membuat rumah-rumahan kecil dan di dalamnya diberi tulisan Hok Tek Ceng Sin. Ketika rakyat berdoa dan percaya akan kemuliaan Hok Tek Ceng Sin maka banyak dari mereka yang terhindar dari malapetaka. Akhirnya mereka sepakat untuk membangun klenteng sebagai tanda terima kasih atas kebaikan dan berkah Hok Tek Ceng Sin.

Kisah Hok Tek Ceng Sin adalah salah satu legenda seorang manusia bijak dan berhati mulia yang pada akhirnya diberi gelar sebagai dewa bumi yang dekat dengan manusia. Begitu juga dengan dewa-dewa lain kisahnya juga sama yakni ketika menjadi manusia mereka adalah orang-orang yang sangat baik, hingga umat memberikan gelar dewa karena kebaikannya.

BARONG SAI SEBAGAI GAMBARAN RAJA YANG AKAN DATANG

Sebagian besar orang sangat mengenal kesenian Barong Sai, yaitu kesenian yang berupa tarian dengan menggunakan patung atau topeng yang berwujud singa dan ular naga. Barong Sai telah menjadi identitas yang menyatu dengan keberadaan klenteng. Hampir dapat dipastikan setiap klenteng mempunyai grup kesenian Barong Sai yang sering digunakan untuk memeriahkan acara-acara keagamaan.

Kesenian Barong Sai adalah kesenian yang dipergunakan untuk mengingatkan seluruh rakyat bahwa akan datang saatnya terwujud pemerintahan seorang raya yang membawa kemakmuran dan keamanan. Dalam kesenian Barong Sai ada gambara dua (2) hewan yang menggambarkan sosok raja yang akan datang. Barong Sai berujud singa, yang menggambarkan seorang raja yang akan datang sebagai raja yang mampu membuat aturan-aturan yang baik sehingga tercipta keamanan. Sedangkan Liong berujud ular naga, yang menggambarkan raja yang akan datang sebagai raja yang kuat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

Demikianlah setiap kali kesenian Barong Sai di arak keliling selalu mengajak rakyat maupun umat untuk mengingat bahwa akan datang pada saatnya raja yang mampu membebaskan dari segala macam bentuk penderitaan. Jadi umat klenteng masih menantikan datangnya seorang raja yang berkuasa yang mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan.

WARUNG KEJUJURAN

Ada hal menarik di klenteng ini yaitu adanya sebuah warung yang menjadi sarana mendidik umat untuk bersikap jujur. Warung kejujuran demikian mereka mengatakan. Warung ini menyediakan berbagai keperluan dan sarana doa bagi umat yang beribadah di klenteng. Warung ini tidak ada yang menunggu. Setiap barang sudah ada harganya dan umat yang mau membeli bisa langsung membayarkan di kotak yang telah disediakan. Jika terjadi ketidakjujuran hal tersebut adalah tanggungjawab orang tersebut terhadap Ti Kong ataupun dewa-dewa. Warung kejujuran ini sebagai media untuk membuktikan bahwa penanaman nilai kejujuran dalam hati umat tersebut betul-betul dilakukan.

KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Beberapa pengurus klenteng menjelaskan bahwa kehidupan mereka selama pemerintahan Orde baru bisa dikatakan mati suri. Selama kurang lebih 32 tahun kehidupan klenteng dan aktifitas umat selalu diamati oleh penguasa waktu itu. Mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya sebatas di dalam tembok klenteng. Sekian puluh tahun kehidupan klenteng sangat sulit untuk berkembang akibatnya ada mata rantai yang terputus menyangkut segala sesuatu yang terkait dengan klenteng. Informasi ataupun literatur yang berhubungan dengan klenteng sangat sulit ditemukan sehingga menyebabkan klenteng dan umatnya sebagai warga kelas dua.

Sangat berbeda ketika jaman Orde lama ataupun Orde Reformasi, kehidupan klenteng dan umat cenderung lebih leluasa dan bebas melakukan aktifitas hidupnya. Secara khusus ketika Gus Dur menjadi Presiden RI dampak yang dirasakan klenteng dan umatnya sangat luar biasa. Mereka merasakan hak-haknya sama dengan warga Negara yang lain. Lebih dari itu bahwa mereka mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mengekspresikan kesenian yang bernuansa Tiong Hoa. Oleh jasa-jasa Gus Dur itulah umat klenteng menyebut Gus Dur sebagai Bapak kaum Tiong Hoa.

Sejak dibukanya sekat yang memisahkan klenteng dengan dunia luar oleh Gus Dur maka kehidupan umat klenteng mulai masuk dalam tatasan social kemasyarakatan secara lebih luas dan terbuka. Kesempatan mereka untuk mempunyai hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya mendorong mereka untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Secara khusus masyarakat di sekitar klenteng yang hidup pra sejahtera.

Umat klenteng memandang bahwa masyarakat di luar kepercayaan mereka adalah sebagai saudara. Seperti dikatakan oleh pak Agus, “Orang-orang yang ada di empat penjuru mata angin adalah saudara kami”.

KLENTENG DALAM PANDANGAN GEREJA KRISTEN JAWA

Setelah mendengar penjelasan dari pak Agus dan pengurus klenteng tentang kehidupan seputar klenteng pasti kita mendapatkan sesuatu yang baru yang jelas berbeda dengan pemahaman iman GKJ. Sadar atau tidak sadar dalam benak kita mungkin telah menilai mereka secara salah, seperti yang terucap pada pertanyaan murid katekisasi di atas; “apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”.

Klenteng dan umatnya dalam pandangan GKJ adalah sesama kita yang berbeda kepercayaan. GKJ juga mengajarkan bahwa kita membuka diri untuk mau bekerjasama dengan agama dan kepercayaan lain guna menghadirkan damai sejahtera. Bersamaan dengan itu kita tetap harus mempunyai keyakinan iman terhadap apa yang kita imani, namun tanpa harus menghakimi pihak lain. Penghakiman adalah hak Allah, kita tidak boleh mengambil hak Allah dengan cara kita menghakimi orang atau kepercayaan lain.

Kita perlu memperhatikan apa yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Surat Roma 3:29-30;

Atau adakah Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain!. Artinya, kalau ada satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman.

Tulisan Rasul Paulus diatas mengingatkan kita untuk tidak boleh mengklaim Allah sebagai milik pribadi. Allah adalah juga milik bangsa-bangsa dengan berbagai macam keberagaman budaya dan kepercayaannya. Hanya Allah yang berwenang menilai dan menghakimi segala yang hidup. (yaw).

11 Juni 2011

PENTAKOSTA DALAM SEJARAH

" PENTAKOSTA DALAM SEJARAH "

SIMBOL DAN MAKNA

Pentakosta artinya hari kelima puluh (sesudah paskah). Pentakosta dirayakan sebagai hari turunnya Roh Kudus dan hari kelahiran gereja.


Warna liturg
i untuk hari Pentakosta: hijau.

Symbol : burung merpati (7ekor), atau lidah api (7buah) dan seekor burung merpati yang menukik.

Warna dasar : merah

Warna merpati : perak

Warna lidah api : kuning pada tepinya

Arti:

Ketujuh ekor burung merpati atau ketujuh lidah api melambangkan ke tujuh Roh Allah (Why. 4:5) membentuk lingkaran yang menghadirkan kekekalan. Kewtujuh ekor burung merpati atau ketujuh lidah api itu juga melambangkan tujuh buah karunia Roh Kudus (Why. 5:12 atau Yes. 12:2-3). Merpati yang menukik dan lidah api menunjuk pada peristiwa pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta.

SEJARAH HARI RAYA PENTAKOSTA

Hari raya Turunnya Roh Kudus disebut juga hari raya Pentakosta. Kata Pentakosta berasal dari kata Yunani “pentekoste” yang berarti hari ke limapuluh. Dalam Perjanjian baru hari raya ini dikenal dan beberapa kali disebut. Pertama dalam I Korintus 16:8, dimana rasul Paulus menulis, bahwa ia tinggal di Efesus sampai hari raya Pentakosta. Selanjutnya dalam Kisah Rasul 20:16, dimana Lukas katakan, bahwa rasul Paulus bermaksud untuk berada di Yerusalem pada hari raya Pentakosta.

Mengapa paulus dan Lukas menyebut hari raya ini dengan nama Pentakosta? Jawabannya diberikan dalam karya2 Yahudi, khususnya yang ditulis sesudah pembuangan ke Babel. Dalam Imamat 23:10-14 ditetapkan, bahwa pada musim panen dipersembahkan buah-buah sulung, seikat banyaknya, sebagai korban, dan harus diserahkan kepada imam untuk dijadikan korban-bakaran. Dari ayat2 yang mendahului perikop ini (ay.5-8) nyata, bahwa persembahan ini berlangsung pada hari raya Paskah. Mulai dari tanggal ini (Paskah) harus dihitung, menurut ayat2 yang mengikutinya (ay.15-22), selama tujuh minggu penuh. Pada hari sesudah Sabat, yaitu hari kelimapuluh, ditetapkan bahwa orang2 Yahudi harus mempersembahkan buah sulung sebagai korban-timangan, yang terdiri dari dua ketul roti yang beragi dari panen gandum. Korban ini berbeda dengan makanan yang terdiri dari roti yang tidak beragi, yang biasa dimakan pada hari raya Paskah.

Pada korban buah sulung yang akhir ini ditambahkan tujuh ekor anak-domba yang berumur satu tahun, seekor lembu muda dan dua ekor domba jantan sebagai korban-bakaran, seekor kambing jantan dan dua ekor anak-domba sebagai korban penghapus dosa, dan makanan serta minuman sebagai korban-bakaran. Demikianlah bunyi peraturan2 yang ditetapkan untuk merayakan hari raya Pentakosta.

Penghitungan tanggal Pentakosta sebagai hari yang kelimapuluh menurut pembagian tahun Israel dijelaskan lebih lanjut dalam kitab Ulangan (baca Ul.16:9-17). Hari raya Paskah dirayakan dengan sederhana dan dalam suasana khidmat, hari raya Pentakosta sebaliknya, yaitu dengan gembira.

Dari uraian diatas nyata, bahwa kedua hari raya itu erat hubungannya. Hari raya pentakosta sebenarnya adalah akhir dari hari raya Paskah Yahudi. Memang benar, bahwa pada perayaan pentakosta lebih menonjol sifat hari raya ini sebagai hari raya panen. Tetapi hari raya Paskah juga mempunyai hari raya panen.

Yang membedakan hari raya Paskah dengan hari raya Pentakosta ialah, bahwa hari raya Paskah tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan peringatan akan keluarnya bangsa Israel dari mesir. Sedangkan hari raya Pentakosta adalah tetap hari raya panen, walaupun sedikit banyak hari raya Paskah turut mewarnai hari raya Pentakosta.

PENTAKOSTA DI INDONESIA

Hari raya Pentakosta masuk ke Indonesia dari para pekabar Injil dari badan2 zending. Merujuk pada sejarah Pentakosta Yahudi bahwa hari itu adalah hari raya panen, maka oleh sebagian gereja-gereja di Indonesia hari raya ini tersebut mempunyai persamaan dengan masyarakat indonesia yaitu masyarakat agraris. Sehingga pada kemudian hari sebagian gereja-gereja di Indonesia memperingati Pentakosta dengan membawa persembahan yang berupa hasil bumi dan ternak. Hari raya ini dipakai sebagai kesempatan untuk mempersembahkan seluruh hasil cipta dan karya jemaat kepada Allah penguasa semesta Allah.

Dari Eropa hariraya Pentakosta dimasukkan oleh badan2 sending ke gereja2 di Indonesia, sehingga ia telah dikenal dalam kehidupan gereja di Indonesia.

Demikian sekilas sejarah hari raya Pentakosta yang mewarnai kehidupan gereja Tuhan di bumi ini. (yaw – dari berbagai sumber)

25 Maret 2011

"SUPAYA SEMUA HIDUP DALAM DAMAI SEJAHTERA""

“Supaya Semua Hidup Dalam Damai Sejahtera”

Lukas 10:1-12

Proses Pemanggilan Pendeta II di GKJ Cilacap sedang berlangsung dengan berbagai tanggapan dan harapan. Salah satu yang menjadi perbincangan hangat adalah tentang kesiapan Pendeta I, Pdt. Yosafat AW (Pdt. YAW). Salah satu pertanyaan yang terlontar: “Apakah Pdt. YAW sudah siap dan iklas didampingi oleh Pendeta II nantinya?”. Pertanyaan ini wajar, mengingat jika dalam satu komunitas ada dua “pemimpin” biasanya muncul konflik. Konflik…bukankah ini suatu yang bisa terjadi dimana saja dan dipicu oleh siapa saja, sebab itu perlu kedewasaan dan penguasaan diri semua pihak, pun dalam keluarga besar GKJ Cilacap. Tujuan yang hendak kita capai dalam proses pemanggilan pendeta II adalah supaya semua hidup dalam damai sejahtera, bukan kekacauan dan perpecahan.

Belajar dari Lukas 10:1-12, Tuhan Yesus menunjuk tujuh puluh (70) orang murid dan mengutus mereka berdua-dua ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungiNya. Pengutusan ke banyak kota dan tempat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa cukup luas dan banyak “tuaian” yang harus “dituai”. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah…supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu(ay.2)”, Firman tersebut menyatakan bahwa banyak orang yang perlu mendapat perhatian dan pelayanan keselamatan namun sangat terbatas pelayan yang ada. Sebab itu Tuhan Yesus menambah dan melibatkan murid-muridNya (70 orang) untuk menyatakan Injil Kerajaan Allah yaitu Damai Sejahtera bagi lebih banyak orang di banyak tempat.

Tujuan Tuhan Yesus mengutus tujuh puluh (70) orang murid ke setiap kota dan tempat sangat jelas, yaitu supaya setiap orang mendapat dapat merasakan Kerajaan Allah yakni damai sejahtera. “Damai sejahtera bagi rumah ini” (ay.5) dan “Kerajaan Allah sudah dekat”(ay.9) merupakan berita yang harus dibawa oleh murid-murid Yesus sambil mereka menyatakan kemuliaan Tuhan dengan menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada.

Sebuah pertanyaan menarik, mengapa Tuhan Yesus mengutus tujuh puluh (70) murid secara berdua-dua? Berdua-dua mereka diutus untuk menyatakan Kerajaan Allah yakni Damai Sejahtera, karena itu selama mengemban tugas pengutusan secara berdua-dua mereka terlebih dahulu belajar bagaimana bisa hidup damai sejahtera dengan rekan sepelayanannya. Jika mereka berdua mampu hidup damai maka dengan sendirinya mereka sudah memberitakan Kerajaan Allah yakni Damai Sejahtera dari Allah.

Pengutusan murid-murid secara berdua-dua tidak akan mengalami kegagalan jika mereka tetap mengutamakan berita yang harus mereka sampaikan yaitu supaya semua hidup dalam damai sejahtera. Jika selama dalam pelayanan pengutusan mereka memikirkan kepentingan pribadi tentulah bukan damai sejahtera yang mereka bawa tetapi perselisihan. Sangat mungkin dalam melaksanakan tugas pengutusan dan pelayanan mereka mempunyai tata cara atau tehnik yang berbeda, misalnya; jalur mana yang akan ditempuh untuk pergi ke kota yang hendak dituju, bisa berbeda dan bisa jadi timbul konflik antar mereka berdua.

Rencana pemanggilan pendeta II di GKJ Cilacap dilaksanakan berdasarkan kenyataan bahwa “tuaian”, yakni lingkup kebutuhan pelayanan dan jumlah jemaat yang terus berkembang namun dengan “pekerja” yang terbatas. Oleh karena itu jika Tuhan melalui jemaatNya di GKJ Cilacap berkehendak menambah pelayan jemaat, pendeta, sudah semestinya mendapat dukungan dan doa. Pdt. YAW menyadari akan keterbatasannya dalam pelayanan karena itu suatu sukacita jika Tuhan melalui jemaatNya berkenan menambahkan rekan sepelayanan. Kehadiran dan keberadaan dua (2) pendeta jemaat menjadi ujian bagi kita semua untuk tetap berpegang pada tujuan agar semua hidup dalam damai sejahtera.

Satu pertanyaan baru bagi kita, “Apakah kita siap untuk menerima dan memfasilitasi pelayanan dua (2) orang pendeta dengan tetap mengusahakan hidup dalam damai sejahtera?”. Kiranya Tuhan menolong kita. (yaw).

07 Maret 2011

RABU ABU DAN MASA PRA-PASKAH


Dalam agama kristen tradisi barat (termasuk Katolik Roma dan Protestan), Rabu Abu adalah hari pertama masa Pra-Paskah. Ini terjadi pada hari Rabu, 40 hari sebelum Paskah tanpa menghitung hari-hari Minggu atau 44 hari (termasuk Minggu) sebelum hari Jumat Agung..

Pada hari ini umat yang datang ke Gereja dahinya diberi tanda salib dari abu sebagai simbol upacara ini. Simbol ini mengingatkan umat akan ritual Israel kuno di mana seseorang menabur abu di atas kepalanya atau di seluruh tubuhnya sebagai tanda kesedihan, penyesalan dan pertobatan (misalnya seperti dalam Kitab Ester 4:1, 3). Dalam Mazmur 102:10 penyesalan juga digambarkan dengan "memakan abu": "Sebab aku makan abu seperti roti, dan mencampur minumanku dengan tangisan." Biasanya pemberian tanda tersebut disertai dengan ucapan, "Bertobatlah dan percayalah pada Injil."

Pada abad ke-4, Paskah dihitung sejak Jumat Agung, sehingga akhir masa Pra-Paskah adalah Kamis Putih. Awal masa Pra-Paskah ditentukan dengan menghitung mundur sebanyak 40 hari tanpa memperhitungkan hari Minggu. Namun Gereja dan umat Kristen pada abad tersebut merayakan awal masa Pra-Paskah tetap pada hari Minggu Pra-Paskah pertama, sehingga tidak genap 40 hari tetapi 36 hari. Baru pada abad ke-6, masa Pra-Paskah dimulai sejak hari Rabu (baru disebut sebagai “Rabu Abu” pada abad ke-13. Ingat: Gereja pecah menjadi Protestan dan Katolik pada abad ke-16 atau tahun 1517).

Angka 40 diambil dari beberapa kisah Alkitab, yaitu sebagai lambang masa pengujian dan persiapan. 40 hari lamanya Musa berada di Gunung Sinai (Kel 34:28); 40 tahun lamanya umat Israel di padang gurun; 40 hari penduduk Niniwe berpuasa menyesali dosa (Yun 3:1-10); 40 hari Tuhan Yesus berpuasa sebelum memulai karya-Nya (Mat 4:2). Berdasarkan kisah-kisah tersebut, Gereja menyusun masa persiapan Paskah.

Rabu Abu menjadi hari pertama pembukaan masa Pra-Paskah, masa di mana kita diajak untuk menghayati makna pertobatan, introspeksi diri, pendekatan diri kepada Tuhan, dan berpuasa. Penggunaan abu sebagai lambang dari kefanaan manusia (Kej 3:19; 18:27), penyesalan dan pertobatan (Yos 7:6; 2 Sam 13:19; Est 4:3; Ayb 2:12; Yes 58:5-7; Yeh 27:30; Dan 9:3; Yun 3:6; bnd. Yl 2:12-13; Mrk 1:15) berangsur-angsur baru terjadi pada akhir abad ke-11 hingga ke-13 dan terbatas sebagai ritus/ibadah.

APA ITU RABU ABU?

Rabu Abu adalah permulaan Masa Prapaskah, yaitu masa pertobatan, pemeriksaan batin dan berpantang guna mempersiapkan diri untuk Kebangkitan Kristus dan Penebusan dosa kita.

Mengapa pada Hari Rabu Abu kita menerima abu di kening kita? Sejak lama, bahkan berabad-abad sebelum Kristus, abu telah menjadi tanda tobat. Misalnya, dalam Kitab Yunus dan Kitab Ester. Ketika Raja Niniwe mendengar nubuat Yunus bahwa Niniwe akan ditunggangbalikkan, maka turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu. (Yunus 3:6). Dan ketika Ester menerima kabar dari Mordekhai, anak dari saudara ayahnya, bahwa ia harus menghadap raja untuk menyelamatkan bangsanya, Ester menaburi kepalanya dengan abu (Ester 4C:13). Bapa Pius Parsch, dalam bukunya "The Church's Year of Grace" menyatakan bahwa "Rabu Abu Pertama" terjadi di Taman Eden setelah Adam dan Hawa berbuat dosa. Tuhan mengingatkan mereka bahwa mereka berasal dari debu tanah dan akan kembali menjadi debu. Oleh karena itu, imam atau diakon membubuhkan abu pada dahi kita sambil berkata: "Ingatlah, kita ini abu dan akan kembali menjadi abu" atau "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil".

Dalam upacara kuno, orang-orang Kristen yang melakukan dosa berat diwajibkan untuk menyatakan tobat mereka di hadapan umum. Pada Hari Rabu Abu, Uskup memberkati kain kabung yang harus mereka kenakan selama empat puluh hari serta menaburi mereka dengan abu. Kemudian sementara umat mendaraskan Tujuh Mazmur Tobat, orang-orang yang berdosa berat itu diusir dari gereja, sama seperti Adam yang diusir dari Taman Eden karena ketidaktaatannya. Mereka tidak diperkenankan masuk gereja sampai Hari Kamis Putih setelah mereka memperoleh rekonsiliasi dengan bertobat sungguh-sungguh selama empat puluh hari. Sesudah itu semua umat, baik umum maupun mereka yang baru saja memperoleh rekonsiliasi, bersama-sama mengikuti ibadah untuk menerima abu.

Sekarang semua umat menerima abu pada Hari Rabu Abu. Yaitu sebagai tanda untuk mengingatkan kita untuk bertobat, tanda akan ketidakabadian dunia, dan tanda bahwa satu-satunya Keselamatan ialah dari Tuhan Allah kita.

APA ITU MASA PRAPASKAH?

Masa Prapaskah adalah masa pertumbuhan jiwa kita. Kadang-kadang jiwa kita mengalami masa-masa kering di mana Tuhan terasa amat jauh. Masa Prapaskah akan mengubah jiwa kita yang kering itu. Masa Prapaskah juga membantu kita untuk mengatasi kebiasaan-kebiasaan buruk seperti mementingkan diri sendiri dan suka marah.

Banyak orang mengikuti retret setiap tahun. Retret itu semacam penyegaran jiwa. Kita membebaskan diri dari segala beban dan segala rutinitas sehari-hari. Tujuannya agar kita dapat meluangkan waktu untuk memikirkan dan mendengarkan Tuhan. Kita boleh menganggap Masa Prapaskah sebagai suatu Retret Agung selama 40 hari. Yaitu saat untuk mengusir semua kekhawatiran dan ketakutan kita supaya kita dapat memusatkan diri pada Sahabat kita dan mempererat hubungan kita dengan-Nya. Sahabat itu, tentu saja, adalah Tuhan. Kita dapat mempererat hubungan kita dengan-Nya dengan berbicara kepada-Nya dan mendengarkan-Nya. Cara lain yang juga baik adalah dengan membaca bagaimana orang lain membangun persahabatan dengan Tuhan di masa silam.

Akhirnya, hanya ada dua kata untuk menyimpulkan apa itu Masa Prapaskah, yaitu: "NIAT" dan "USAHA". Misalnya saja kita berniat untuk lebih mengasihi sesama, kita juga berniat untuk tidak lagi menyakiti hati sesama. Salah satu alasan mengapa kita gagal memenuhi niat kita itu adalah karena kita kurang berusaha. Kitab Suci mengatakan "roh memang penurut, tetapi daging lemah". Di sinilah peran Masa Prapaskah, yaitu membangun karakter yang kuat. Kita berusaha untuk menguasai tubuh dan pikiran kita dengan berlatih menguasai diri dalam hal-hal kecil. Oleh karena itulah kita melakukan silih selama Masa Prapaskah. Kita berpantang permen atau rokok atau pun pantang menonton program TV yang paling kita sukai. Dengan berpantang kita belajar mengendalikan diri. Jika kita telah mampu menguasai diri dalam hal-hal kecil, kita dapat meningkatkannya pada hal-hal yang lebih serius.

Berlatih menguasai diri baru sebagian dari usaha. Tidaklah cukup hanya berhenti melakukan suatu kebiasaan buruk, tetapi kita juga harus memulai suatu kebiasaan baik untuk menggantikan kebiasaan buruk kita itu. Misalnya saja membaca Kitab Suci setiap hari dan berdoa secara teratur. Jadi jangan hanya duduk diam saja, LAKUKAN SESUATU. Mulailah Hari Rabu Abu dengan menerima abu yang telah diberkati, lalu kemudian memulai hidup baru bagi jiwa kita!

MENGAPA MASA PRAPASKAH BERLANGSUNG SELAMA 40 HARI?

Pada awalnya, empat puluh hari masa tobat dihitung dari hari Sabtu sore menjelang Hari Minggu Prapaskah I sampai dengan peringatan Perjamuan Malam Terakhir pada hari Kamis Putih; sesudah itu dimulailah Misteri Paskah. Sekarang, Masa Prapaskah terbagi atas dua bagian. Pertama, empat hari dari Hari Rabu Abu sampai Hari Minggu Pra-paskah I. Kedua, tiga puluh enam hari sesudahnya sampai Hari Minggu Palma. Masa Prapaskah bagian kedua adalah masa Mengenang Sengsara Tuhan.

Makna empat puluh hari dapat ditelusuri dari kisah Musa yang sebagai wakil Hukum (Taurat) dan Elia yang sebagai wakil Nabi. Musa berbicara dengan Tuhan di gunung Sinai dan Elia berbicara dengan Tuhan di gunung Horeb, setelah mereka menyucikan diri dengan berpuasa selama empat puluh hari (Keluaran 24:18, IRaja-raja 19:8). Setelah dibaptis, Tuhan Yesus mempersiapkan diri untuk tampil di hadapan umum juga dengan berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun. Di sana Ia dicobai setan dengan serangan pertamanya yaitu rasa lapar. Serangan yang sama digunakannya juga untuk mencobai kita agar kita gagal berpantang dan berpuasa dengan godaan keinginan daging. Kemudian setan berusaha membujuk Yesus untuk menjatuhkan diri-Nya agar malaikat-malaikat dari surga datang untuk menatang-Nya. Setan mencobai kita juga dengan kesombongan, padahal kesombongan sangat berlawanan dengan semangat doa dan meditasi yang dikehendaki Tuhan. Untuk ketiga kalinya Setan berusaha membujuk Yesus dengan janji akan menjadikan Yesus sebagai penguasa jagad raya. Setan mencobai kita dengan keserakahan serta ketamakan harta benda duniawi, padahal Tuhan menghendaki kita beramal kasih dan menolong sesama kita.

Selama Masa Prapaskah selayaknya kita hidup sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran. (Efesus 5:8-9).

MENGAPA KITA BERPUASA?

Ada banyak tujuan seseorang berpuasa mulai dari tujuan "sepele" (pengin langsing) sampai pada tujuan ketajaman spiritual. Paling tidak ada beberapa tujuan da manfaat seseorang berpuasa, diantaranya;

1. Berpuasa mempertajam mata rohani kita - membantu kita melihat apa yang Tuhan lihat.

2. Berpuasa berarti semakin serupa dengan Kristus, yang sering kali berpuasa.

3. Berpuasa adalah cara yang baik guna mengingatkan kita untuk berdoa, sebagai ganti makan.

4. Berpuasa membantu kita mengurangi berat badan dan merasa tetap bugar.

5. Berpuasa berarti menghemat uang (membeli lebih sedikit makanan!)

6. Berpuasa berarti menghemat waktu (melewatkan waktu makan!) di mana semua orang serba sibuk dan tidak punya waktu luang.

7. Berpuasa membuat kita merasa bahagia (jika kita melewatkan hari puasa dengan berhasil.)

8. Berpuasa meningkatkan rasa disiplin diri sehingga kita dapat berbuat lebih banyak kebaikan kepada sesama.

RABU ABU DAN MASA PRA-PASKAH GKJ CILACAP

Tahun ini tepatnya besok hari Rabu tanggal 09 Maret 2011 kita kembali di undang untuk merayakan ibadah Rabu Abu. Kita akan memasuki masa Prapaskah untuk menghayati akan kefanaan kita dan menghayati pengorbanan Yesus Kristus Sang Juru Selamat. Selama masa Pra-Paskah diseyogyakan setiap jemaat mengambil bagian dalam puasa dan berpantang menurut cara dan teknis masing-masing. Bagaimanakah saudara akan mengambil sikap dalam menyambut masa prapaskah tahun ini?

Kiranya Tuhan menolong saudara. AMIN.

Pdt. Yosafat AW, S.Si, M.Min

*Dari berbagai sumber.