BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

30 Mei 2009

Pentakosta GKJ Cilacap

PENTAKOSTA:

Memelihara Lingkungan dan Merayakan Perbedaan“

Oleh: Pdt. Yosafat AW, SSi

“ Waduh…pangling aku, tak kira bukan pak Pendeta” ucapan itu terlontar dari belasan jemaat pada waktu menjelang ibadah Minggu Pentakosta 31 Mei 2009 di GKJ Cilacap. Rupanya jemaat tidak menyangka kalau yang mereka lihat itu adalah pendetanya. Selidik punya selidik ternyata mereka abai terhadap sosok yang memakai baju sorjan lurik dan sorban ala Kiai Sadrah. Memakai sorjan dan sorban ternyata nyaman juga, selain tidak ribet (dibanding jas dan toga) sorjan juga menunjukkan kesederhanaan sebagai pakaian rakyat kebanyakan pada jamannya. Setelah mereka mengetahui bahwa pria ber-sorjan dan ber-sorban itu adalah pendetanya, barulah mereka memberikan apresiasinya atas penampilan busana yang dipakai dalam ibadah Pentakosta.

Ibadah Pentakosta kali ini memang lain daripada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya tahun-tahun sebelumnya jemaat GKJ Cilacap menyambut dan merayakan Pentakosta dengan lebih banyak disibukkan dengan berbagai macam persembahan. Mulai dari tunai, bazaar makanan dan hasil bumi dan ternak, dan juga persembahan melalui pembelian koin yang selanjutnya bisa ditukar dengan berbagai jenis makanan sesuai dengan nilai koin yang tertera. Terkadang kegiatan “persembahan” tersebut diwarnai dredah atau keributan diantara sebagian jemaat terkait dengan masalah metode dan teknis persembahan dalam rangka Pentakosta ini. Justru hal prinsip dalam perayaan Pentakosta sering terabaikan oleh jemaat. Menurut pemahaman saya Pentakosta adalah hari dimana kita seharusnya merayakan perbedaan (Roh Kudus tercurah atas segala bangsa) dan hari dimana kita peduli kepada pemeliharaan lingkungan (Pentakosta di PL merupakan pesta panen, dihasilkan oleh lingkungan yang terpelihara). Oleh sebab itu pada perayaan Pentakosta tahun ini, GKJ Cilacap menggali makna yang “hilang” dalam perayaan Pentakosta tersebut. Selanjutnya makna yang “hilang” itu kita gunakan sebagai bahan pembinaan bagi jemaat tentang bagaimana mereka menghargai lingkungan dan menerima perbedaan yang ada.

Pembinaan makna penting Pentakosta bagi jemaat GKJ Cilacap kita sampaikan melalui rangkaian dan unsure-unsur liturgi yang dipakai dalam kebaktian. Ibadah diawali oleh para orang penari yang memasuki ruang ibadah dengan membawa “simbol-simbol kehidupan” bagi manusia; yaitu air, tanah, api, udara dan rumpun padi. Tarian yang dipakai adalah Tari Merak yang telah dimodifikasi. Mengapa tari merak? Merak mewakili spesies unggas/burung (meski tidak bisa terbang) yang juga pernah dilepaskan oleh Nuh (merpati) dari bahtera dan merpati tersebut kembali dengan membawa sehelai daun zaitun yang segar, tanda bahwa air sudah surut dan ada kehidupan (Kej 8:11). Kemudian dijelaskan tentang makna dari masing-masing simbol tersebut yang berguna bagi manusia tetapi sekaligus dapat menjadi kekuatan yang luar biasa menghancurkan ketika manusia tidak bersahabat dengan lingkungan.

Lagu-lagu dan litani yang dipakai dalam kebaktian tersebut juga mengandung makna penghargaan terhadap segala makhluk yang bernafas dan penghargaan akan keunikan manusia. Lagu yang dinyanyikan pun tidak saja diambil dari buku nyanyian rohani, tapi juga dari populer diantaranya “Lestari Alamku” (Gombloh) dan “Heal The World” (Michael Jackson). Demikian juga lagu dari Ebiet G Ade “Berita Kepada Kawan” kita pakai sebagai background dalam penayangan video yang saya rangkai dari hasil download via internet. Video yang saya rangkai bertemakan tentang keserakahan dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan dan akhirnya tuaiannya adalah bencara alam dan bencara kemanusiaan. Saya merasakan jemaat sangat antusias dalam mengikuti ibadah Pentakosta kali ini, tidak ada kebosanan dan tetap semangat dengan liturgi kreatif yang saya siapkan. Dan pada akhir ibadah, semangat mereka semakin bertambah, mereka menyanyikan dengan antusias sekali. Lagu dari Michael Jackson mengakhiri ibadah Pentakosta yang penuh dengan semangat curahan Roh Kudus ini, “Heal The World”.

“Luar biasa pak Pendeta, ibadah kali ini memberikan warna baru dalam peribadahan kita”, komentar ibu Nur Ciptaningsih. Dan komentar pak Heru; “wah kalo sering-sering begini (ibdah dengan liturgi kreatif) ibdah di gereja semakin anget dan sumuk”. Dan terlihat memang kursi-kursi di dalam gereja dan tambahan kursi sewaan di luar gedung gereja terisi semua bahkan sampai pada duduk di taman depan gereja. Ada sekitar 450 orang jemaat yang hadir dalam ibadah Pentakosta minggu ini, biasanya kehadiran jemaat dalam ibadah Minggu pagi sekitar 250-300 orang. Dengan perhatian dan tanggapan yang baik dalam ibadah-ibadah kreatif yang akhir-akhir ini diselenggarakan di GKJ Cilacap mendorong majelis dan jemaat untuk semakin bersatu dalam tugas-tugas pelayanan bersama.

Menilik dari sejarah Pentakosta di dalam Perjanjian Lama dan Pentakosta dalam Perjanjian Baru, paling tidak kita bisa belajar tentang dua (2) hal, yaitu;

1. Perayaan Pentakosta dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan pesta panen, dimana hasil panen tersebut menjadi sarana bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Manusia bisa berhasil panen kalau kondisi alam dan lingkungan terjaga dengan baik serta dipelihara. Panen akan gagal jikalau manusia tidak bersahabat dengan alam atau bahkan merusak alam ini. Dengan demikian perayaan Pentakosta mengandung arti bahwa umat yang merayakan Pentakosta harus mau memperhatikan dan memelihara alam sebagai penghasil rejeki/makanan bagi manusia. Konsekuensi dari hal itu adalah umat harus mulai menghargai dan memelihara alam lingkungan pemberian Tuhan ini, bahkan umat Tuhan yang merayakan Pentakosta wajib untuk memulihkan alam pemberian Tuhan ini jikalau ditemukan kerusakan di dalamnya.

2. Perayaan Pentakosta dalam Perjanjian Baru berkaitan dengan perayaan perbedaan. Pada peristiwa Pentakosta para rasul mendapat karunia Roh Kudus sehingga mereka mampu berbicara dalam berbagai bahasa (segala bahasa di dunia waktu itu, Kisah Rasul 2:9-11). Hal ini menunjukkan bahwa Allah memperhatikan semua bangsa yang hadir di Yerusalem waktu itu, Allah menghargai dan menerima segala perbedaan yang ada di antara manusia. Lebih dari itu curahan Roh Kudus diberikan kepada segala bangsa yang hadir pada waktu itu. Oleh karena itu, jemaat yang merayakan Pentakosta harus berbuat hal yang sama, yakni merayakan dan menghargai perbedaan yang ada dalam jemaat Tuhan (khususnya di GKJ Cilacap).

Berpijak dari makna diatas (menurut saya) maka perayaan Pentakosta pada hari Minggu 31 Mei 2009 kita memadukan dua (2) makna tersebut dalam liturgi ibadah. Ibadah Pentakosta kali ini diwarnai dengan hal yang terkait dengan lingkungan (ekologi) dan keberagaman (heterogenitas). Semuanya itu akan bermuara pada satu tujuan yang mulia yaitu memulihkan ciptaan Allah melalui keberagaman jemaat yang diikat oleh curahan kuasa Roh Kudus. Selamat Hari Pentakosta. AMIN.


SEKILAS TENTANG PENTAKOSTA

Kata "pentakosta" berasal dari kata Yunani "pentekostes" (yang bersangkutan dengan kata Sansekarta: panca). Kata Yunani itu berarti "yang kelimapuluh", yakni hari yang kelimapuluh. Pentakosta adalah suatu perayaan dari agama Yahudi dahulu (dan sekarang) yang diambil alih (dengan dirubah maknanya) oleh agama kristen. Umat Kristen baru pada pertengahan atau akhir 2 Masehi mulai merayakan Pentakosta sebagai perayaan Kristen. Pesta itu menjadi perayaan peringatan akan turunnya Roh Kudus atas jemaat Kristen di Yerusalem, sebagaimana yang diceritakan Kis 2, pada hari kelimapuluh sesudah Yesus (pada hari Paskah) bangkit dari alam maut.Dalam Perjanjian Lama perayaan Pentakosta disebut "hari raya panen" (Pengk 23:16). Dan inilah nama yang tertua. Kemudian dinamakan "pesta/perayaan pekan-pekan (Pengk 34:22; Im 23:15-17; Ul 16:10; 2Taw 8:13).


A. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama

Dalam Imamat 23:16 "lima puluh hari" mulai dihitung dari persembahan berkas jelai pada permulaan hari raya Paskah. Dimana Paskah dalam PL adalah hari raya untuk memperingati kuasa Tuhan atas pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir.

Pada hari ke-50 setelah Paskah dirayakanlah Hari Pentakosta. Karena 50 hari = 7 minggu, hari itu juga disebut "khag syavu'ot" / Hari Raya Tujuh Minggu (Keluaran 34:22, Ulangan 16:9). Hari Pentakosta tersebut menandakan selesainya menuai jelai yang dihitung mulai dari sejak pertama kalinya menyabit gandum (Ulangan 16:9), dan waktu imam mengunjukkan berkas tuaian itu "pada hari sesudah Sabat itu" (Imamat 23:11). Hari Pentakosta disebut juga "khag haqqatsir" / Hari Raya Menuai dan "yon habbikkurim" / Hari Buah Bungaran (Keluaran 23:16, Bilangan 28:26). Hari Pentakosta tidak hanya dirayakan pada zaman Pentateukh, bahkan hingga zaman Salomo pun Hari Pentakosta masih dirayakan (2 Tawarikh 8:13) sebagai hari raya kedua dari ketiga pesta tahunan (bandingkan Ulangan 16:16). Tiga hari raya besar yang diperingati bangsa Israel adalah: Hari Raya Roti Tidak Beragi (Paskah), Hari Raya Tujuh Minggu (Pentakosta), dan Hari Raya Pondok Daun.

Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama diumumkan sebagai:

1. Hari Pertemuan Kudus (Imamat 23:21)

Pada hari tersebut tidak boleh dilakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus (Imamat 23:21). Pada hari itu dua buah roti bakar, yang dibuat dari tepung halus yang baru dan beragi, diunjukkan oleh imam di hadapan Allah, pada saat imam mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan memperoleh keselamatan (Imamat 23:17-20).

2. Hari Bersukaria (Ulangan 16:15)

Pada hari itu orang Israel saleh mengungkapkan rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia 5:24).


B. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru

Dalam PB, Hari Pentakosta berubah maknanya setelah terjadi peristiwa yang mengherankan, dimana Roh Kudus turun memenuhi para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 2:1-13). Sesudah kebangkitan dan kenaikan Kristus (sekitar tahun 30M), persis pada hari Pentakosta yang diperingati seperti dalam zaman PL, murid-murid berkumpul di sebuah rumah di Yerusalem, dan Roh Kudus turun atas mereka dengan tanda-tanda yang dapat didengar dan dilihat: "tiupan angin keras" dan "lidah-lidah seperti nyala api" (Kisah Rasul 2:2-3). Selanjutnya, para rasul mulai berkata-kata dalam berbagai bahasa asing dari orang-orang yang juga berkumpul di Yerusalem. Sehingga orang banyak yang sedang berkumpul itu dapat mengerti karena para rasul berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kisah Rasul 2:5-13).

Kedatangan Roh Kudus adalah pemenuhan nubuat Yohanes (Lukas 3:15-16) dan janji Yesus Kristus (Lukas 24:49). Petrus menyatakannya sebagai penggenapan nubuat Nabi Yoel (Kisah Rasul 2:16-21) dan suatu bukti dari kebangkitan Kristus sendiri (Kisah Rasul 2:32-36). Ia mempersatukan orang-orang yang percaya menjadi satu kelompok, memberinya suatu pemersatu yang sebelumnya tidak mereka miliki, dan memberi mereka keberanian untuk menghadapi ancaman dan siksaan (Kisah Rasul 2:4,Kisah Rasul 4:8,31, Kisah Rasul 6:8-15). Selanjutnya, peristiwa turunnya Roh Kudus inilah yang diperingati oleh orang-orang Kristen sebagai Hari Pentakosta. Kita juga sering menyebut perayaan Pentakosta sebagai hari Kelahiran Gereja.

22 Mei 2009

Gereja Kristen Jawa Nusakambangan riwayatmu kini.


“ GEREJA KRISTEN J
AWA (GKJ) NUSAKAMBANGAN RIWAYATMU KINI “

Oleh: Pdt. Yosafat AW, S.Si

Sungguh sangat memprihatinkan melihat sebuah gedung gereja yang sama sekali tidak terpelihara. Keprihatinan semakin mendalam ketika kita masuk ke dalam gedung gereja ini, ternyata telah menjadi tempat untuk menumpuk berkakas yang tidak dipakai dan barang rongsok alias beralih fungsi jadi gudang. Ironis sekali, ketika banyak gereja kesulitan mendapatkan ijin beribadah dan mendirikan bangunan justru di “pulau penjara” ini sebuah gedung gereja yang telah puluhan tahun ada dibiarkan “hilang” dari komunitas GKJ dan gereja-gereja di Indonesia. Itulah yang terjadi dengan kondisi gedung gereja eks GKJ Nusakambangan yang dahulu pernah menjadi bagian dari keluarga besar Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa. GKJ Nusakambangan, mau kemanakah engkau?

Nusakambangan atau yang juga dikenal sebagai “pulau penjara” adalah sebuah pulau yang berada di sebelah selatan kota Cilacap, pulau ini masuk dalam wilayah kelurahan tambakreja kecamatan Cilacap Selatan kabupaten Cilacap. Lebar pulau ini antara 6 – 8 km dan panjang pulau ini kurang lebih 30 km membujur dari arah timur ke arah barat. Kondisi alam di Nusakambangan bergunung-gunung dengan hutan tropis yang masih perawan. Tumbuhan dan Satwa liar di Nusakambangan memiliki ciri khas tersendiri disbanding dengan hutan tropis di bagian wilayah Indonesia yang lain. Macan kumbang Nusakambangan dan pohon Plalar menjadi salah ciri khas pulau ini yang juga dilindungi oleh undang-undang.

Semenjak ditetapkan sebagai pulau penjara oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1908, pulau ini menyimpan banyak misteri bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Kesan seram dan sangar disandang oleh pulau ini begitu ditetapkan khusus sebagai tempat pembinaan bagi narapidana kelas berat. Sebagai tempat yang sulit di akses dan “terasing” membuat orang berpikir hal yang terburuk terjadi pada para narapidana di Nusakambangan. Selain kesan seram dan sangar, Nusakambangan juga menimbulkan kekaguman sebagian penduduk Indonesia. Keindahan alam yang masih asli menarik hati orang untuk bisa menikmatinya dari dekat. Ekologi pulau Nusakambangan sangat terjaga berkat ditetapkannya Nusakambangan sebagai pulau yang tertutup bagi masyarakat, sehingga tangan-tangan yang haus “mengubah” pulau ini bisa dieliminir.

Ketika semakin banyak narapidana yang dikirim ke pulau ini, maka kebutuhan pengamanan atas merekapun juga bertambah. Para penjaga dan pembina narapidana (sipir) ditambah untuk memperkuat pengawasan atas narapidana, para sipir penjara ini membawa serta keluarga mereka. Diantara para sipir dan keluarganya tersebut terdapat beberapa jemaat Kristen, karena itu untuk pemeliharaan iman dibangunlah persekutuan yang akhirnya juga didirikan sebuah gedung gereja di pulau Nusakambangan tepatnya terletak di wilayah Candi, Batu – Nusakambangan. Jemaat ini pada mulanya dilayani oleh GKJ Cilacap dan Klasis Banyumas Selatan, namun akhirnya menjadi jemaat yang dewasa dengan nama GKJ Nusakambangan. Setelah menjadi gereja dewasa GKJ Nusakambangan kemudian dilayani oleh Ds. Suparno sebagai pendeta utusan di Klasis banyumas Selatan. Ds. Supano inilah yang selanjutnya melayani jemaat GKJ Nusakambangan yang sebagian besar terdiri dari para sipir penjara beserta keluarganya, termasuk pula para narapidana yang beragama Kristen. Karena pelayanan Ds. Suparno kepada Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Nusakambangan, maka masyarakat Cilacap lebih mengenal Ds. Suparno dengan sebutan sebagai “pendeta maling”. GKJ Nusakambangan mencapai puncak pelayanan ketika masa “panen raya” umat Tuhan di Indonesia. Setelah G30S PKI berakhir di Indonesia, ribuan tahanan politik dikirim ke Nusakambangan. Banyak diantara mereka yang masuk menjadi agama Kristen atas dorongan pemerintah waktu itu bahwa setiap penduduk Indonesia harus beragama.

Namun setelah tahanan politik dibebaskan sekitar tahun 1979 LP-LP di Nusakambangan mulai banyak yang kosong. Tahun 1980 an, dari 9 LP yang ada di Nusakambangan 5 diantaranya sudah ditutup sehingga hanya 4 LP yang masih difungsikan. Seiring ditutupnya separuh lebih LP di Nusakambangan maka dengan sendirinya juga ada pengurangan sipir penjara. Hal ini juga berdampak kepada menurunnya anggota jemaat GKJ Nusakambangan yang memang hampir semua adalah sipir penjara. Pada kisaran tahun 1980 an ini juga pelayanan di GKJ Nusakambangan mulai berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali. Hingga kini, GKJ Nusakambangan sudah sekitar 30 tahun “hilang” dari keluarga besar Sinode GKJ. Belum ditemukan data-data historis mengenai kapan “berakhirnya” GKJ Nusakambangan. Saat ini saya masih mencari data-data yang menyangkut keberadaan dan kejelasan status GKJ Nusakambangan. Mungkin Klasis Banyumas Selatan atau mungkin Sinode GKJ bisa menolong untuk melengkapi “pencarian” GKJ Nusakambangan.

Berangkat dari keprihatinan setiap kali saya melakukan pelayanan di LP-LP Nusakambangan, maka saya mengajak dan mendorong jemaat GKJ Cilacap untuk “ngurusi” gedung gereja eks GKJ Nusakambangan. Hingga akhirnya gayung bersambut, dalam rangka kegiatan MPDK II tahun 2009 ini Majelis GKJ Cilacap menyetujui panitia MPDK bersama dengan jemaat mengadakan kerja bakti di gedung gereja tersebut berikut pula mendanai kebutuhan yang diperlukan. Sungguh luar biasa sambutan jemaat untuk turut dalam kegiatan membersihkan “bagian dari Sinode GKJ” tersebut. Ada sekitar 75 orang yang ikut, terdiri dari anak-anak, pemuda dan remaja, warga dewasa dan para warga adiyuswo (nenek yang sudah 75 tahun ikut pula…semangat mbah!).

Setelah kami mengurus perijinan yang diperlukan, pada hari Minggu 17 Mei 2009 jam 09.00 WIB kita bertolak dari dermada Wijayapura Cilacap menuju dermaga Sodong Nusakambangan yang selanjutnya kami menuju lokasi daerah Candi, Batu Nusakambangan. Sesampai di lokasi tidak sedikit yang mengerutkan dahi bahkan ada yang meneteskan air mata karena melihat kondisi fisik gedung gereja eks GKJ Nusakambangan. Mbah Warno (75 th) bergumam: “Dhuh Gusti, nyuwun pangapura…dene padaleman Paduka kados mekaten”. Mungkin mbah Warno merasa sedih dan bersalah sebab mengenang kejayaan GKJ Nusakambangan pada jamannya sangat berbeda dengan apa yang di depan matanya sekarang. Ibu Ari Kustono juga tak tahan berkomentar: “waduh pak, ternyata sangat besar dan megah ya, sayang kalau dibiarkan kaya gini”. Ibu Ari Kustono mungkin punya pikiran dan keinginan untuk mengembalikan kejayaan masa lalu GKJ Nusakambangan seperti nampak pada bangunan yang dilihatnya yang kini sudah tidak terpelihara. Dari dua komentar yang saya rasa juga perasaan dan harapan 75 peserta bahkan mewakili jemaat GKJ Cilacap atau bahkan mungkin Sinode GKJ. Hal itu mendorong kami untuk menata rencana menyangkut “hidupnya” GKJ Nusakambangan ke depan.

Rumput, alang-alang, dan semak belukar yang tingginya mencapai 4 meter sudah mengelilingi dan menutupi sebagian bangunan gedung gereja eks GKJ Nusakambangan tersebut. Terlebih lagi rasa prihatin semakin mendalam ketika kami membuka pintu dan masuk ke dalam gedung gereja. plafon eternity yang jebol menyambut kami, kayu-kayu keropos menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi rayap dan tembok yang sudah terkelupas dan rapuh. Begitu pula tumpukan arsip-arsip usang dari LP Batu Nusakambangan tercecer dari lemari dan berserakan di lantai. Juga barang-barang yang tidak terpakai oleh LP Batu seperti; kayu-kayu bekas usuk dan reng, drum-drum bekas oli, dan barang rongsokan disimpan di dalam gedung gereja ini.

Tidak cukup waktu sehari yang kami luangkan untuk “mempercantik” gedung gereja ini. Sampai akhir kerja bakti kami hanya mampu menyelesaikan 15 % pekerjaan di gedung gereja eks GKJ Nusakambangan ini. Akhirnya pada jam 15.00 WIB kami kembali menyeberang menuju Cilacap dengan perasaan sukacita karna kami bisa memberikan sedikit sentuhan untuk gedung gereja yang terbengkelai ini, namun kami juga pulang masih membawa harapan untuk melanjutkan bakti kami melalui pemeliharaan gedung gereja tersebut.

Berawal dari rasa prihatin yang kemudian kami wujudkan dalam pemeliharaan fisik gedung gereja eks GKJ Nusakambangan ini, maka menyertai pula kerinduan dan keinginan dari saya dan beberapa rekan majelis dan angota jemaat untuk lebih serius “menarik kembali” asset yang sangat berharga ini demi kemajuan pelayanan di GKJ Cilacap khususnya dan Klasis Banyumas Selatan serta Sinode GKJ pada umumnya. Sudah terencana oleh kami langkah-langkah untuk mewujudkan kerinduan tersebut. Beberapa langkah yang sudah kami rencanakan saat ini adalah;

1. Kembali ke Nusakambangan untuk menyelesaikan pembersihan area gedung gereja dengan turut mengajak tenaga professional lapangan. Diantaranya 5 orang dengan pemotong rumput dan alaangh-alang. Menyemprotkan cairan “Roundup” untuk mengatasi tumbuhnya rumput dan alang-alang liar.

2. Bernegosiasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu Nusakambangan (sebagai penanggung jawab bangunan fisik gereja saat ini) dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengusahakan agar gedung gereja eks GKJ Nusakambangan tersebut dapat difungsikan kembali sebagaimana adanya sebuah gereja. Termasuk kemungkinan kalau sampai di renovasi apakah boleh dipergunakan oleh jemaat Kristen yang kebetulan mengadakan pelayanan ke LP-LP di Nusakambangan.

3. Menelusur dan mencari sumber-sumber sejarah GKJ Nusakambangan, diantaranya; wawancara dengan para pelaku sejarah GKJ Nusakambangan yang masih tersisa, mencari dokumen-dokumen di Klasis Banyumas Selatan ataupun di Sinode GKJ.

4. Mencari mitra yang peduli dan terpanggil untuk menjadi donator bagi pemeliharaan dan pemulihan kembali “Rumah Tuhan”.

5. Memohon doa dan restu dari Majelis GKJ Cilacap, Bapelklas Banyumas Selatan, dan Sinode GKJ. Jika dirasakan perlu syukur bisa membentuk “Tim Pencari” GKJ Nusakambangan. Begitu pula kami bersyukur kalau kepedulian itu diwujudkan dalam penyediaan dana ataupun sekedar mencarikan mitra yang terpanggil untuk “memelihara” GKJ Nusakambangan tersebut.

Setelah Daud menetap di rumahnya, berkatalah ia kepada nabi Natan: "Lihatlah, aku ini diam dalam rumah dari kayu aras, padahal tabut perjanjian TUHAN itu ada di bawah tenda-tenda."

( 1 Tawarikh 17:1)

Firman Tuhan diatas merupakan ungkapan isi hati Daud setelah memperhatikan bahwa TUHAN tidak punya “tempat tinggal” yang layak. Istana raja yang sangat megah dan mewah sudah selesai dibangun dan ditempati oleh Daud, namun hal itu justru membuat Daud merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Ada pikiran dan perasaan yang mengganggu dalam hati Daud. Masakan dirinya tinggal di dalam istana yang sangat megah dan mewah, sedangkan ia membiarkan Tuhan “tinggal” di bawah tenda.

Perasaan yang sama mungkin juga menghinggapi kita saat ini, setelah kita memperhatikan “Rumah Tuhan” di Nusakambangan ini. Adakah kita juga punya kerinduan untuk memberikan hal terbaik dari kita untuk “saudara dan bagian” kita di Nusakambangan ini?

GKJ Nusakambangan, mau kemanakah engkau?

GKJ Nusakambangan, dimanakah “saudaramu” kini?