BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

25 April 2013

Leksionari: Memmbaca Alkitab dengan Hati


LEKSIONARI:
Membaca Alkitab dengan Hati

Selama ini orang menganggap khotbah sebagai “mahkota” ibadah. Dampaknya, yang kerap kemudian dilupakan dan diabaikan adalah pembacaan Alkitab. Padahal pembacaan Alkitab adalah dasar dari khotbah dan bukan sebaliknya. Pembacaan Alkitab yang menggunakan metode leksionari bertujuan menyadarkan jemaat, bahwa Alkitab adalah bagian terpenting dalam praktek liturgis kita. Yang dimaksud dengan Lektionari (lectionary, lectionarium) adalah Daftar Bacaan Alkitab.
BERMULA DARI IBADAH YAHUDI
Kekristenan tidak bisa terlepas dari keyahudian. Unsur-unsur keyahudian mewarnai tidak hanya pada Kitab Suci kita tetapi juga pada aspek liturgis/tata ibadah. Pengenalan akan liturgi dalam ibadah Yahudi menjadi penting dalam memahami posisi pembacaan Alkitab.   
Pola ibadah Sinagoge pada awalnya berlangsung sebagai berikut:
  1. Pendarasan Mazmur
  2. Pembacaan shema (dengarlah), yaitu pengakuan iman Israel sebagaimana yang tertulis dalam Ulangan 6:4-9; 11:13-21 dan Bilangan 15:37-41.
  3. Doa yang disebut syemoneh ‘ezreh (delapan belas ucapan berkat).
  4. Pembacaan Taurat (sedarim) dengan mengikuti jadwal (siklus, lectio) tertentu. Setidaknya ada dua siklus: Siklus Babilonia yang membuat seluruh Taurat selesai dibaca dalam satu tahun, dan Siklus Palestina di mana seluruh Taurat selesai dibaca dalam tiga tahun.
  5. Pembacaan kitab Para Nabi (haptaroth) yang diikuti–sekalipun tidak mutlak–dengan penjelasan atasnya. Pemilihan kitab Para Nabi tidak ditentukan seperti jadwal pembacaan Kitab Taurat.
  6. Pengucapan berkat sebagai penutup ibadah.
Pembacaan kitab-kitab itu dilakukan secara bergantian oleh ”awam”. Pada umumnya dilakukan oleh 10 orang laki-laki berusia 13 tahun ke atas yang disebut Minyan. Ibadah Sinagoge dapat disebut tipe ibadah ”awam.” Sebab dalam ibadah itu, jemaat tidak hanya pasif mendengarkan pembacaan kitab, melainkan diberi kesempatan untuk turut serta menyampaikan pemahamannya atas teks yang dibaca tersebut (seperti PA).
PENGGUNAAN LEKSIONARI DALAM KEHIDUPAN GEREJA
Praktek ibadah gereja kemudian melanjutkan pola ibadah Yahudi dengan penyesuaian-penyesuaian. Pembacaan Alkitab sebagai dasar ibadah terus dilanjutkan dengan perubahan susunan. Susunan yang mulai baku dalam ibadah Yahudi diubah menjadi seperti berikut:
 
Leksionari Gereja
Leksionari Yahudi
1. Perjanjian Lama
1. Sedarim (Taurat)
2. Surat Rasuli

3. Mazmur
2. Mazmur
4. Injil
3. Haphtaroth (Kitab Para Nabi)
Pola semacam ini menempatkan Injil sebagai bacaan yang termulia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan perbedaannya dengan ibadah Yahudi. Pembacaan lainnya disusun sedemikian rupa sehingga menopang, memerkuat, memerlengkapi, bahkan bergantung pada Injil yang dibacakan (itulah sebabnya Injil dibacakan oleh klerus/imam).
Konsili Vatikan II (1962 – 1965), melakukan revisi terhadap leksionari, menghasilkan Ordo Lectionum Missae (OLM, 25 Mei 1969). Gereja berbahasa Inggris menggunakan OLM sebagai dasar ibadah Minggu. Atas dorongan dari Gerakan Oikumene dan ketidakpuasan terhadap OLM, Gereja-gereja Barat Non Katolik membentuk komisi revisi leksionari, menghasilkan The Lectionary yang dipergunakan oleh Gereja-gereja Anglikan, Lutheran, dan Presbyterian. Dalam perkembangannya, revisi leksionari yang dilakukan Gereja Barat Non Katolik menghasilkan Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL digunakan secara oikumenis oleh berbagai aliran gereja, seperti: Gereja Anglikan dengan Book of Common Prayer, Gereja Lutheran dengan Book of Worship, Gereja Presbyterian dengan Worshipbook.

Tahun 2000, PGI menggunakan CL sebagai dasar penyusunan Buku Almanak (Agenda) Kristen Indonesia. Seiring dengan mulai dilakukan pembacaan Alkitab secara tematis di lingkungan GKJ, publikasi PGI ini mendorong GKJ untuk mulai menata pembacaan Alkitab dalam ibadah secara bersama dan berpola. Sementara itu, sejak tahun 1992 sebenarnya CL direvisi dan menghasilkan Revised Common Lectionary (RCL), yang secara berangsur-angsur RCL digunakan sebagai Daftar Bacaan Alkitab terbaru di kalangan Gereja Protestan. RCL ini kemudian dipakai oleh GKJ sebagai Daftar Bacaan Alkitab dalam Ibadah Minggu (Khotbah Jangkep).

LEKTOR: MEMBACA DENGAN HATI
Pembaca bacaan Alkitab disebut sebagai Lektor. Lektor sangat perlu untuk  mempersiapkan diri dengan baik. Menurut salah seorang bapa Gereja kita, Agustinus, pembacaan Alkitab sebagai sacramentum audible (sakramen yang dapat terdengar) dan sacramentum verbum visibile (sabda yang dapat terlihat). Jadi seorang Lektor adalah juga pelaksana sakramen kudus! Lektor diharapkan mampu membaca Alkitab dengan hati, bacaannya mampu menggerakkan orang lain untuk semakin menghayati cinta kasih Allah. Darmawidjaya, seorang ahli Alkitab gereja Katholik memberikan 4 metode membaca Alkitab;
1.      Pembacaan biasa, pembacaan yang berangkat dari keinginan untuk tahu atau untuk belajar.
2.      Pembacaan merenung, pembacaan yang berangkat dari pengertian, bacaan telah didalami dan diamini.
3.      Pembacaan berdoa, pembacaan bertujuan menyapa, menggerakkan, membahagiakan, menarik hati para pendengarnya.
4.      Pembacaan cinta, membaca dengan gairah cinta kasih (passion).

LEKSIONARI: MEMBANGUN JEMAAT MENCINTAI ALKITAB
Penggunaan pola ibadah dengan bacaan leksinari pada prinsipnya bertujuan untuk membangun jemaat supaya semakin mencintai Alkitab sebagai Firman Tuhan dengan cara yang baru. Dengan cara itu hendak dicapai maksud;
           1. Anggota jemaat berperan serta secara aktif dalam pembacaan Alkitab dalam ibadah.
  1. Anggota jemaat diajak mempersiapkan kebaktian dan pemahaman terhadap Firman Tuhan dengan  terlebih dahulu membaca Firman Tuhan dari keempat bacaan yang tersedia.
  2. Anggota jemaat diajak untuk mampu melihat hubungan suatu teks dengan teks lain, dan pada pihak lain anggota jemaat juga diajak bersikap jeli dan kritis untuk melihat perbedaan-perbedaan teologis yang dikemukakan oleh keempat bacaan leksionari tersebut.
  3. Anggota jemaat makin terlatih untuk menyikapi suatu khotbah yang bermutu dan sungguh-sungguh dipersiapkan secara matang, serta mampu disampaikan secara etis, relevan dan bertanggungjawab.
  4. Anggota jemaat terdorong untuk membaca Alkitab secara berkesinambungan melalui pembacaan Alkitab secara leksionaris setiap hari (daily readings), sehinggga mereka makin menyerap nilai-nilai firman Tuhan dalam kehidupan dan pergumulan mereka.
 PEMBACAAN LEKSIONARI DI GKJ
Tahun 2009 Sinode GKJ mulai memakai leksionari untuk menyusun khotbah jangkep dan Gereja-gereja menanggapi dengan beragam; ada yang menggunakan langsung dalam palayanan ibadah, ada yang masih menimbang-nimbang hal baru tersebut, ada pula yang tidak mau menggunakan dengan alasan; sulit untuk mengkaitkan teks-teks bacaan, ibadah menjadi lama, tidak ada panduan praktis dari sinode, menyerupai katholik, dll.

PEMBACAAN LEKSIONARI DI GKJ CILACAP
Sejak April 2010, Majelis GKJ Cilacap memutuskan untuk memulai menggunakan pola ibadah dengan pembacaan Alkitab Leksionaris. Keputusan pemnggunaan tata ibadah leksionaris didasari semangat kebersamaan dengan gereja-gereja di Sinode GKJ maupun dengan gereja-gereja anggota PGI dan bahkan gereja-gereja dunia (WCC). Selain demi kebersamaan gereja, juga tujuan dasar  mengajak seluruh jemaat GKJ Cilacap untuk mencintai Alkitab dengan seutuhnya. Keputusan penggunaan pola ibadah leksionaris ini tentu masih sangat minim pengalaman, karena itu masih sangat terbuka kemungkinan untuk menjadikan ibadah kita kepada Tuhan menjadi semakin baik.

KESAN DAN PESAN MEMBANGUN
Kurang lebih 4 (empat) bulan kita sudah mencoba untuk menggunakan pola ibadah baru, yakni pola ibadah leksionari. Tentu banyak hal berbeda dalam menanggapi hal baru ini, tidak perlu mencari kesalahan pihak lain dan hanya berpegang pada kebenaran sendiri. Dalam keberbedaan kita justru dibangun dan diperkaya. Oleh karena itu, segala kesan dan pesan membangun dari jemaat GKJ Cilacap akan diterima sebagai bahan pertimbangan agar supaya ibadah kita, khususnya ibadah leksionaris, semakin mendekatkan kita kepada Allah dan mengerti kehendaknya. Terima kasih masukannya. GBU.

Pentakosta: Hari Pengucapan Syukur


PENTAKOSTA:
Hari Pengucapan Syukur “
Oleh: Pdt. Yosafat AW, S.Si, M.Min

I.    MENILIK PENTAKOSTA GKJ CILACAP
Hari raya gerejawi sudah barang tentu disambut dan dirayakan dengan penuh sukacita. Pun dengan Pentakosta, salah satu hari raya gerejawi yang dirayakan setelah Paskah dan Kenaikan Yesus. Pentakosta dalam tradisi GKJ sering disebut sebagai hari raya Undhuh-undhuh, hal itu didasarkan pada Pentakosta Yahudi sebagai hari raya Panen. Pada hari Pentakosta jemaat mempersembahkan hasil bumi, peternakan, dll.
Hal semacam itu rupanya juga merambah dalam kehidupan jemaat GKJ Cilacap, meski hampir tidak ada jemaat yang berkerja sebagai petani atau peternak. Namun karena semangat kreatifitas dalam menyelenggarakan tradisi undhuh-undhuh maka jemaat berduyun-duyun mencari ataupun membeli hasil bumi dan ternak dari para pedagang yang kemudian dipersembahkan ke gereja. Persembahan hasil bumi maupun ternak (membeli dari pedagang) terkumpul melimpah sehingga muncul pertanyaan bagaimana majelis menggunakan persembahan tersebut untuk mendukung operasional gereja?
Lelang, menjadi pilihan untuk menghabiskan dan “mengubah” bentuk persembahan hasil bumi supaya praktis digunakan. Cara lelang pada masanya juga menimbulkan tanggapan sinis sebagian jemaat; “Persembahan kok jadi ajang pamer, yang punya uang saja yang bisa persembahan”. Tanggapan tersebut direspon dengan mencari bentuk lain supaya bisa melibatkan sebanyak-banyaknya jemaat untuk dapat berpartisipasi dalam persembahan undhuh-undhuh. Koin menjadi pilihan lain untuk melibatkan sebanyak mungkin jemaat. Koin dengan nilai Rp.2000 dan Rp.5000 “dijual” melalui blok-blok untuk ditukar dengan makanan pada saat Pentakosta atau Undhuh-undhuh. Ternyata sitem kin-pun tidak kalah seru mendapat tanggapan sinis; “Aku sudah beli banyak koin kok tidak dapat makanan, percuma membeli koin” ada pula yang protes “Koin tahun lalu kok muncul di tahun ini, bagaimana ini panitia?”
Hari Raya yang seharusnya menumbuhkan semangat persaudaraan dan sukacita justru berubah menjadi hari yang mengecewakan dan penuh amarah, apakah ini menjadi tujuan kita merayakannya? Tentu bukan itu tujuan kita merayakannya, namun hal diatas adalah realita, kenyataan yang terjadi di jemaat kita. Ketika mau mengucap syukur didahului “dredah” apakah membuat sejahtera kehidupan bersama? Oleh sebab itu marilah kita mencari suatu bentuk yang tepat dalam kita merayakan Pentakosta supaya kita dijauhkan dari sikap nggrundhel dan tidak damai.

II.    MENILIK SEKELUMIT SEJARAH PENTAKOSTA
Kata "pentakosta" berasal dari kata Yunani “pentekostes" (yang bersangkutan dengan kata Sansekarta: panca). Kata Yunani itu berarti "yang kelimapuluh", yakni hari yang kelimapuluh. Pentakosta adalah suatu perayaan dari agama Yahudi dahulu (dan sekarang) yang diambil alih (dengan dirubah maknanya) oleh agama kristen. Umat Kristen baru pada pertengahan atau akhir 2 Masehi mulai merayakan Pentakosta sebagai perayaan Kristen. Pesta itu menjadi perayaan peringatan akan turunnya Roh Kudus atas jemaat Kristen di Yerusalem, sebagaimana yang diceritakan Kis 2, pada hari kelimapuluh sesudah Yesus (pada hari Paskah) bangkit dari alam maut. Dalam Perjanjian Lama perayaan Pentakosta disebut "hari raya panen" (Pengk 23:16). Kemudian dinamakan "pesta/perayaan pekan-pekan (Kel. 34:22; Im 23:15-17; Ul 16:10; 2Taw 8:13).

A. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama
Dalam Imamat 23:16 "lima puluh hari" mulai dihitung dari persembahan berkas jelai pada permulaan hari raya Paskah. Dimana Paskah dalam PL adalah hari raya untuk memperingati kuasa Tuhan atas pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama diumumkan sebagai:
1.      Hari Pertemuan Kudus (Imamat 23:21)
      Pada hari tersebut tidak boleh dilakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus (Imamat 23:21). Pada saat imam mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan memperoleh keselamatan (Imamat 23:17-20).
  
2.      Hari Bersukaria (Ulangan 16:15)
      Pada hari itu orang Israel saleh mengungkapkan rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia 5:24).
        Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hari raya Pentakosta dalam tradisi Perjanjian Lama adalah hari dimana seluruh umat Israel mengucap syukur atas berkat Tuhan yang dilimpahkan kepada umat melalui pekerjaannya (hasil pertanian & ternak).

B. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, Hari Pentakosta berubah maknanya setelah terjadi peristiwa yang mengherankan, dimana Roh Kudus turun memenuhi para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 2:1-13).
Sesudah kebangkitan dan kenaikan Kristus (sekitar tahun 30M), persis pada hari Pentakosta yang diperingati seperti dalam zaman PL, murid-murid berkumpul di sebuah rumah di Yerusalem, dan Roh Kudus turun atas mereka Selanjutnya, para rasul mulai berkata-kata dalam berbagai bahasa asing dari orang-orang yang juga berkumpul di Yerusalem. Sehingga orang banyak yang sedang berkumpul itu dapat mengerti karena para rasul berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kisah Rasul 2:5-13).

III.    MEMAKNAI PENTAKOSTA DI GKJ CILACAP
Ada rentang waktu yang sangat jauh antara Pentakosta mula-mula dengan Pentakosta saat ini, tentu banyak perubahan dan kita bisa menggali makna lebih dalam serta mewujudkan sesuai konteks jemaat.

A.     Konteks Jemaat
Kota Cilacap, oleh pemerintah maupun Sinode GKJ, dipetakan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Komposisi jemaat GKJ Cilacap tidak jauh dari pemetaan tersebut. Sebagian besar jemaat GKJ Cilacap berprofesi sebagai karyawan perusahaan/industri dan sebagian lainnya bekerja dalam bidang jasa (guru, kontrakstor, wirausaha,dll). Dalam konteks inilah jemaat tumbuh dan berkembang bersama dalam keluarga besar GKJ Cilacap. Jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris, tidak bekerja sebagai petani dan peternak.

B.     Program Pelayanan
Pentakosta selama ini oleh Majelis dan jemaat dijadikan sebagai kesempatan untuk lebih menggumuli makna  persembahan sebagai ungkapan syukur, hingga berbagai teknis persembahan ditempuh guna mencapai tujuan tersebut. Mulai dari persembahan natura/hasil bumi dan ternak yang kemudian dilelang, dengan koin penukar sampai dengan cara umum yaitu membagikan amplop khusus.
Teknis persembahan pada saat Pentakosta atau Undhuh-undhuh ditujukan untuk mengumpulkan persembahan semaksimal mungkin. Apakah tujuan dan target itu tercapai, tentu bergantung bagaimana cara pandang kita. Namun paling tidak untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak dapat diukur dari jumlah persembahan yang terkumpul. Persembahan jemaat merupakan sumber utama untuk menopang segala kebutuhan gereja bagi pelayanan bersama.
 Saat ini program pelayanan GKJ Cilacap sedang berlangsung dan membutuhkan dukungan dana dari seluruh jemaat. Mengingat akan kebutuhan dalam pelayanan, apakah dimungkinkan jika Pentakosta tahun ini kita jadikan sebagai kesempatan untuk mengucap syukur secara lebih maksimal dibanding dengan waktu-waktu sebelumnya?

C.     Memaknai Pentakosta di GKJ Cilacap: Sebuah Usulan
Memperhatikan perayaan Pentakosta di GKJ Cilacap yang selama ini dilakukan, kita dapat memperhatikan beberapa hal;
1.   Perayaan Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap, secara umum, sudah berjalan cukup baik.
2.   Tujuan dan target diadakannya perayaan Pentakosta selama ini masih dapat dimaksimalkan.
3.   Adanya persoalan yang mengarah pada perselisihan terkait dengan lelang dan bazaar, koin penukar, maupun persembahan yang didapat dari pembelian kepada pedagang (parcel buah & makanan). Hal-hal tersebut agak mengganggu suasana sukacita hari raya.
Dari pokok-pokok perhatian diatas rasanya kita perlu untuk memikirkan cara atau teknis yang diharapkan dapat mengatasi persoalan yang muncul.


Dengan semangat tersebut kita mencoba menuangkan beberapa pikiran yang mungkin bisa kita sepakati menjadi model atau cara yang lebih tepat dan sesuai konteks bagi jemaat GKJ Cilacap untuk merayakan Pentakosta. Beberapa pemikiran sebagai usul diantaranya;
1.      Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur.
Mengingat Pentakosta adalah sebagai masa akhir Paskah, hari bahagia karena kebangkitan Yesus Kristus, maka kita jadikan Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur kepada Tuhan atas segala berkat yang telah dilimpahkan kepada kita. Di hari Pentakosta/undhuh-undhuh kita mengungkapkan betapa kita mengucapkan syukur atas pengorbanan Tuhan Yesus yang telah menebus dosa-dosa kita, bahkan bukan hanya itu saja kita mengucap syukur atas berkat jasmani maupun rohani yang telah diberikan kepada kita.

2.      Pentakosta sebagai Hari Memberikan yang Asli.
Memperhatikan bahwa jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris maka ada baiknya jika kita mengkaji ulang pengucapan syukur dalam bentuk natura/hasil bumi, apalagi jika didapat dari membeli kepada pedagang. Mungkin kita perlu mendalami apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam 2 Kor. 8:12 “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu”. Berdasarkan Firman tersebut kita diingatkan untuk memberikan berdasarkan yang ada pada kita, bukan berdasarkan apa yang tidak ada pada kita.
Konteks jemaat GKJ Cilacap adalah sebagai karyawan maupun penyedia jasa sehingga bukan suatu keharusan mempersembahkan hasil bumi/natura. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa hasil bumi/natura tetap menjadi persembahan karena memang memiliki kebun atau sawah. Pentakosta sebagai hari untuk memberikan yang asli/otentik  yang ada pada kita. Misalnya, jika kita sebagai karyawan, pegawai, atau wirasawasta  maka yang asli/otentik dari kita adalah materi/uang. Jika ada jemaat berprofesi sebagai petani atau nelayan maka pemberian yang otentik tentulah hasil bumi atau ikan laut, dsb.

 3.      Pentakosta sebagai Hari Memberi dengan Patut/Pantas
Jika kita ditanya: “Apakah persembahan syukur kita sudah patut atau pantas selama ini?” Tentu yang mampu menjawab dengan tepat dan benar adalah diri kita sendiri, sesuai pemahaman masing-masing tentang apa itu persembahan syukur. Ada satu ayat yang bisa menolong kita untuk menjawab pertanyaan diatas. Ulangan 16:16b – 17; “Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa, tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu."  Mungkin bagi beberapa orang Firman ini ditanggapi dengan sinis, karena terkait pengalaman pribadi mereka, namun mau tidak mau itu adalah Firman Allah. Bukan perkataan manusia ataupun melekat pada sosok pribadi tertentu. Firman tersebut mengingatkan dan mengajarkan kepada kita bahwa;
Pertama, persembahan atau ucapan syukur adalah suatu hal yang perlu dipersiapkan sejak sebelum menghadap Tuhan/beribadah. Sering terjadi bahwa kita mencari-cari pecahan uang terkecil dalam dompet untuk dipersembahkan dalam ibadah atau PA, hal tersebut menjadi salah satu indikasi/tanda yang menunjukkan ketidaksiapan kita menghadap hadirat Tuhan. Kesungguhan dalam mempersiapkan dapat ditempuh dengan cara mengalokasikan (menyisihkan/dipething) persembahan sebagai anggaran pengeluaran pribadi/rumah tangga. Dengan cara tersebut akan menjadikan kita lebih siap dalam mengucap syukur kapanpun.
Kedua, persembahan hendaknya sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepada kita. Seberapa persembahan syukur kita dikatakan sesuai, sedikit atau banyak? Sedikit atau banyak jumlah angka persembahan tentu bukanlah ukuran kepatutan/kepantasan. Kita tentu sepakat bahwa ukurannya adalah memakai ukuran kita masing-masing, sebab masing-masing kitalah yang bisa mengukur dan merasakan berkat Tuhan secara pribadi. Mungkin muncul pertanyaan; “Apakah Alkitab memberikan ukuran kepatutan/kepantasan dalam hal persembahan?”.
      Jika pertanyaan itu sangat dinantikan jawabnya, secara umum kita bisa merujuk pada ukuran kepatutan/kepantasan yang umum digunakan dalam tradisi Perjanjian lama dan Perjanjian Baru.   
       Ukuran kepatutan/kepantasan persembahan dalam tradisi PL adalah persembahan persepuluhan. Persepuluhan dapat dipahami  sebagai ukuran minimal kepatutan persembahan kepada Tuhan. Imamat 27:30 “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.” Dan Maleakhi 3:10 “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”.
      Kedua Firman tersebut mengingatkan bahwa segala hasil/pendapatan/income yang kita terima sepersepuluhnya (10%) adalah milik Tuhan sebagai persembahan. Bahkan Tuhan Allah menantang kita; “ujilah Aku”, bahwa Ia akan mencurahkan berkat kepada setiap orang yang datang dengan persembahan perpuluhan.
      Adapun ukuran kepatutan/kepantasan dalam PB adalah “seluruh tubuh”, semuanya, menyeluruh, totalitas. Roma 12:1: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati”. Lukas 21:3-4;  “Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."
      Kedua Firman tersebut mengajarkan nahwa kepatutan/kepantasan tidak hanya sepersepuluh dari milik kita tetapi 100%. Hal tersebut tentu tidak hanya dipahami secara lahiriah bahwa seluruh milik kita harus kita jual dan dipersembahkan, tetapi lebih kepada pemahaman memberi dengan iklas, lahir batin, jasmani rohani iklas.
Pentakosta tahun ini mari kita jadikan moment/kesempatan bagi kita masing-masing secara jujur dan sungguh-sungguh mengukur kepatutan/kepantasan persembahan syukur kita atas berkat-berkat yang telah Tuhan berikan kepada kita.

IV.     PEMBUKA DISKUSI: SEBAGAI PENUTUP
1.      Bagaimanakah pengalaman saudara menghayati Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap?
2.      Bagaimanakah tanggapan saudara terhadap tiga (3) pemikiran tentang usulan pemaknaan Pentakosta? (yaw-20.04.12)

04 Juli 2011

KATEKISASI DI KLENTENG LAM TJENG KIONG CILACAP


“KATEKISASI DI KLENTENG LAM TJENG KIONG CILACAP”

Pdt. Yosafat Ari Wibowo, S.Si, M.Min

“Pak, apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”, begitu pertanyaan salah seorang peserta katekisasi kepada pak Agus Suyono ketua Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap. Pertanyaan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat bagus dari ketua Klenteng yang juga mempunyai studio foto “Matahari” jalan A.Yani tersebut. “Pertanyaan yang bagus sekali, kalau tidak kenal maka tidak sayang” demikian pak Agus menanggapi pertanyaan yang cukup kritis tersebut dengan tersenyum.

Pertanyaan salah satu murid katekisasi tersebut mungkin mewakili pertanyaan banyak orang yang belum memahami tentang kehidupan seputar Klenteng. Pertanyaan itu tentu muncul berdasarkan pengamatan terhadap simbol-simbol dan aktifitas umat ketika berada di Klenteng. Ada banyak patung, kurang lebih ada sekitar 200 buah patung di Klenteng ini. Aktifitas umat Klenteng yang bersujud dan berdoa di depan patung tersebut juga memunculkan pertanyaan apakah mereka menyembah patung.

Pertanyaan diatas dilontarkan pada saat terjadi percakapan antara murid katekisasi sidhi GKJ Cilacap dengan pengurus Klenteng berlangsung pada hari Selasa 14 Juni 2011 jam 18.00 bertempat di Klenteng Lam Tjeng Kiong jalan R.E. Martadinata Cilacap. Percakapan yang hangat tersebut merupakan bagian dalam proses katekisasi sidhi khususnya dalam menambah pemahaman keberbagaian agama. Tambahan wawasan tersebut sangat tepat karena diberikan langsung oleh sumber utama yang mengimani dan menjalani ajaran agama lain tersebut. Perkunjungan di Klenteng diawali dengan dialog bersama pengurus Klenteng di ruang pertemuan. Kurang lebih satu jam dialog diakhiri dan dilanjutkan meninjau tempat doa dan ritual umat Klenteng.

Kegiatan katekisasi di Klenteng tersebut mempunyai maksud dan tujuan agar murid katekisasi mempunyai pemahaman yang bernar dan obyektif menyangkut agama-agama yang ada di sekitar mereka. Penanaman nilai-nilai pluralitas atau keberagaman juga menjadi tujuan dari kegiatan tersebut. Melalui pemahaman yang obyektif serta penanaman nilai-nilai keberagaman sejak dini maka harapan dikemudian hari para murid katekisasi akan mempunyai sikap hidup yang inklusif atau terbuka dengan beragam perbedaan yang ada dalam masyarakat. Sikap hidup inklusif akan menjauhkan mereka dari segala macam bentuk provokasi yang menjadikan sebagai pribadi yang fanatik yang merusak.

MENGENAL KLENTENG LAM TJENG KIONG

Kentheng Lam Tjeng Kiong Cilacap diperkirakan telah ada sejak 120 tahun yang lalu, hal ini didasarkan pada sebuah peninggalan Joli yaitu sebuah tempat yang menyerupai tandu untuk meletakkan patung seorang suci atau dewa, joli ini bertuliskan tahun 1899. Jika Joli tersebut dibuat pada tahun 1899 maka keberadaan Klenteng dipastikan lebih tua sebab logikanya Joli dibuat setelah Klenteng itu berdiri. Tidak diketahui dengan pasti kapan tanggal berdirinya Klenteng ini.

Klenteng di jalan R.E. Martadinata tersebut dikenal dengan nama Klenteng Lam Tjeng Kiong. Nama Klenteng ini mempunyai arti yang baik dan harapannya klenteng ini berfungsi sesuai namanya. Lam berarti selatan, Tjeng berarti bersih atau suci, dan Kiong berarti istana. Lam Tjeng Kiong bisa diartikan sebagai Istana Selatan yang Bersih atau Suci, sesuai dengan namanya memang Klenteng ini pun menghadap ke arah selatan. Tujuan dan harapan keberadaan Klenteng ini adalah sebagai penangkal segala sesuatu yang kotor dan jahat. Sesuatu yang kotor bisa berarti orang-orang jahat, kejadian alam yang merusak (tsunami) ataupun roh dan kuasa jahat. Dengan demikian keberadaan klenteng Lam Tjeng Kiong ini ingin menyingkirkan atau melawan segala kekuatan-kekuatan yang kotor, jahat dan merusak kehidupan.

RITUAL UMAT KLENTENG

Ketika meninjau ruang-ruang doa dalam Klenteng banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh murid katekisasi sebab memang sangat banyak “benda asing” bagi mereka. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah “Bagaimanakah cara umat Klenteng berdoa?”. Pertanyaan tersebut dijelaskan oleh pak Ichwan, salah seorang pengurus harian Klenteng. Dari penjelasan pak Ichwan diperoleh keterangan yang cukup menolong para murid katekisasi untuk memahami rituan dan doa oleh umat Klenteng.

Ketika umat hendak berdoa di Klenteng hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan sarana doa diantaranya hio (dupa/kemenyan berbentuk stik/lidi), air putih, persembahan (buah, minyak goreng, dll). Sarana doa tersebut bisa disiapkan dari rumah atau bisa dibeli di Klenteng. Pembelian sarana doa juga tergolong unik, setiap orang yang mau membeli mengambil sarana doa yang diinginkan dan membayar sendiri di kotak yang telah disiapkan. Jadi tidak ada orang yang menjaga barang-barang tersebut, dalam hal ini kejujuran diri menjadi kunci pokok.

Setelah umat mempersiapkan sarana doa kemudian umat menuju ke altar Ti Kong, yaitu altar yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Ti Kong atau Tuhan Yang Maha Esa dipercaya sebagai Dewa segala dewa, Dewa (Tuhan) Yang Maha Esa. Menurut keterangan pak Ichwan Ti Kong adalah satu-satunya pihak pertama dan utama yang disembah oleh umat Klenteng. “Jadi kami ini menyembah Tuhan Yang Maha Esa, bukan menyembah patung atau berhala”, demikian kata pak Ichwan.

Ritual dilanjutkan oleh umat dengan menuju ruang doa menurut kebutuhan mereka masing-masing. Ada tiga (3) ruang doa dibelakang Altar Ti Kong, masing-masing dengan nuansa khas yang menunjukkan keberadaan tiga (3) ajaran agama yang ada di Klenteng yaitu Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Itu sebabnya Klenteng juga disebut sebagai Tempat Ibadah Tri Darma (TITD) dimana tiga (3) ajaran agama menyatu di Klenteng. Namun biasanya umat Klenteng akan berdoa dan memohon pertolongan para dewa di tiga tempat doa yang ada. Setiap Klenteng pasti ada yang disebut sebagai dewa tuan rumah, masing-masing Klenteng dewa tuan rumahnya berbeda-beda. Di Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap yang menjadi dewa tuan rumah adalah Hian Tian Siang Te, yang dipercaya sebagai dewa laut yang memberikan pertolongan kepada manusia yang hidupnya berhubungan dengan laut.

Umat yang berdoa memohon pertolongan kepada para dewa biasanya menanyakan tentang pergumulan dan keberuntungan hidupnya, misalnya tentang kesehatan, jodoh, pekerjaan, dan keluarga. Cara untuk mengetahui jawaban dari pergumulan umat dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya;

Sio pe, cara ini menggunakan dua (2) bilah kayu yang berbentuk biji jambu monyet yang terbelah. Untuk mengetahui jawaban pertanyaan umat melemparkan dua (2) bilah kayu ke lantai. Jika dua bilah kayu tersebut tertutup berarti permohonan ditolak. Jika yang satu tertutup dan satu lagi terbuka berarti permohonan diperbolehkan. Dan jika kedua bilah kayu tertutup berarti masih belum ada jawaban.

Ciam Sie atau bambu peramal, terbuat dari batang bambu berbentuk stik menyerupai sumpit pipih dan masing-masing ada nomornya. Fungsi ciam sie adalah untuk mengetahui jawaban pergumulan dan pertanyaan umat. ada dua (2) macam jenis ciam sie, berwarna terang dan gelap. Ciam sie terang untuk mengetahui peruntungan hidup dan ciam sie berwarna gelap untuk mengetahui obat atau kesehatan. Caranya mengetahuinya umat mengambil tabung bambu yang berisi ciam sie dan kemudian dikocok hingga sebuah ciam sie jatuh dari tabung bambu. Nomor yang tertera dalam ciam sie digunakan untuk mengambil gulungan kertas bernomor yang telah ada jawabannya.

Tang Sin, adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk kerasukan dewa hingga melaluinya seseorang bisa berkomunikasi dengan dewa untuk menanyakan jawaban dari suatu pergumulan. Tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan menjadi tang sin, meski ada beberapa orang yang mampu tetapi hanya satu orang yang dipilih untuk menjadi tang sin sebuah klenteng.

Setelah umat menyelesaikan ritual dan doa dengan menggunakan ketiga cara tersebut diatas biasanya mereka mengakhiri ritual di klenteng dengan memberikan sesaji atau dana kebajikan baik berupa sembako, minyak ataupun uang. Semua pemberian dari umat tersebut pada prinsipnya untuk menjadi sarana operasional, pemeliharaan dan pengembangan klenteng.

KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA

Terkait dengan pertanyaan murid katekisasi tentang apakah umat klenteng umat penyembah patung dan berhala, lebih lanjut pak Agus menjelaskan sesungguh dugaan sebagian banyak orang yang menilai bahwa mereka menyembah patung atau berhala adalah dugaan yang salah. Umat Klenteng pada prinsipnya menyembah TUHAN Yang Maha Esa, hal ini terbukti bahwa ketika umat berdoa di Klenteng altar yang dituju pertama kali adalah Altar untuk Ti Kong (Tuhan Yang Maha Esa). Mereka berdoa dan memberikan sesaji/persembahan kepada Ti Kong.

Umat klenteng memahami dan mempercayai bahwa Ti Kong adalah Tuhan Yang Maha Esa, Kuasa dan Suci serta tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia sehingga umat membutuhkan perantara untuk dapat sampai kepada Ti Kong. Agar permohonan sampai kepada Ti Kong umat klenteng mempercayai adanya dewa-dewa atau orang-orang suci yang akan menyampaikan permohonannya mereka kepada Ti Kong.

Dari penjelasan tersebut muncul pertanyaan dari murid katekisasi, “Antara Ti Kong dan dewa-dewa manakah yang lebih utama untuk disembah dalam kehidupan umat klenteng?”. Ketua klenteng tersebut menjelaskan bahwa Ti Kong adalah yang disembah umat klenteng, adapun dewa-dewa adalah dihormati sebagai orang-orang suci yang dekat dengan Ti Kong yang akan menjadi perantara dan menolong mereka untuk mendapatkan berkat dari Ti Kong. Jadi sesungguhnya umat klenteng adalah penganut paham monotheisme yaitu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat klenteng tidak menganut paham politheisme yaitu paham yang mempercayai dan menyembah berbagai tuhan.

Ditambahkan oleh pak Agus Suyono, Klenteng disebut juga Tempat Ibadah Tri Darma (TITD). Tri berarti tiga (3) dan Darma berarti ajaran, Klenteng adalah tempat menyatunya tiga (3) ajaran yaitu agama Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Ketiga ajaran tersebut sepakat untuk berjalan bersama, harapannya sampai selamanya, dengan tetap menghargai kekhasan masing-masing. Setiap umat yang berdoa ke Klenteng pasti akan melakukan ritual dan doa pada setiap ruang dari ketiga agama tersebut.

KEPERCAYAAN TERHADAP DEWA-DEWA

Ada sekitar 200 dewa yang dipercaya oleh umat dan masing-masing dibuat replika atau gambaran berupa patung. Dewa tuan rumah di klenteng ini adalah Hian Tian Siang Te (dewa laut). Beberapa dewa lain adalah, Hok Tek Ceng Sin (dewa bumi), Po Seng Tay Te (dewa pelindung), Sin Long Tay Te (dewa obat), Kam Sin Te Kan (dewa kewibawaan), Cu Sen Niang Niang (dewa kelahiran), Tian Ho Shen Mo (dewa nelayan), dll.

Dalam kepercayaan umat klenteng, dewa-dewa dahulu kala adalah manusia yang hidup bijaksana dan sangat baik kepada sesamanya. Oleh kebaikannya mereka banyak orang yang merasa tertolong dan terlindungi sehingga mereka selalu menghormati meskipun mereka sudah meninggal penghormatan tersebut tetap ada. Penghormatan terus menerus secara turun temurun pada akhirnya dipercayai sebagai orang-orang suci yang kemudian disebut sebagai dewa. Dewa-dewa ini menjadi pengantara umat untuk memperoleh berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa atau Ti Kong.

Ketika masih menjadi manusia dewa-dewa tersebut hidupnya sangat dekat dengan manusia sehingga dewa-dewa memahami betul bagaimana pergumulan manusia. Karena itu dewa-dewa tersebut mampu menyampaikan dengan benar pergumulan dan harapan manusia.

Hok Tek Ceng Sin dipercaya sebagai dewa yang terdekat dengan manusia. Hok Tek Ceng Sin dahulu adalah seorang pejabat yang bernama Thio Hok Tek yang lahir pada tahun 1134 SM. Ia hidup pada jaman dinasti Chao pada masa pemerintahan Kaisar Chao Bu Ong. Hok Tek Ceng Sin seorang yang pandai dan b ijaksana serta berhati mulia. Ketika menjabat sebagai menteri urusan pemungutan pajak, ia selalu bertindak bijaksana dan tidak memberatkan rakyat, sehingga rakyatpun sangat menghormatinya. Setelah ia meninggal dunia pada usia 102 tahun, penggantinya adalah seorang yang berwatak kejam, selalu bertindak kasar dalam menarik pajak, sehingga rakyat menderita dan banyak yang pergi meninggalkan kampong. Dalam masa penderitaan itu mereka sangat mendambakan seorang bijak dan welas asih seperti Hok Tek Ceng Sin. Dalam keadaan susah dan menderita rakyat tidak pernah melupakan kebaikan Thio Hok Tek. Dari sinilah kemudian muncul gelar Hok Tek Ceng Sin. Dalam mengenang kebaikan dan mengharapkan pemimpin seperti Thio Hok Tek maka rakyat membuat rumah-rumahan kecil dan di dalamnya diberi tulisan Hok Tek Ceng Sin. Ketika rakyat berdoa dan percaya akan kemuliaan Hok Tek Ceng Sin maka banyak dari mereka yang terhindar dari malapetaka. Akhirnya mereka sepakat untuk membangun klenteng sebagai tanda terima kasih atas kebaikan dan berkah Hok Tek Ceng Sin.

Kisah Hok Tek Ceng Sin adalah salah satu legenda seorang manusia bijak dan berhati mulia yang pada akhirnya diberi gelar sebagai dewa bumi yang dekat dengan manusia. Begitu juga dengan dewa-dewa lain kisahnya juga sama yakni ketika menjadi manusia mereka adalah orang-orang yang sangat baik, hingga umat memberikan gelar dewa karena kebaikannya.

BARONG SAI SEBAGAI GAMBARAN RAJA YANG AKAN DATANG

Sebagian besar orang sangat mengenal kesenian Barong Sai, yaitu kesenian yang berupa tarian dengan menggunakan patung atau topeng yang berwujud singa dan ular naga. Barong Sai telah menjadi identitas yang menyatu dengan keberadaan klenteng. Hampir dapat dipastikan setiap klenteng mempunyai grup kesenian Barong Sai yang sering digunakan untuk memeriahkan acara-acara keagamaan.

Kesenian Barong Sai adalah kesenian yang dipergunakan untuk mengingatkan seluruh rakyat bahwa akan datang saatnya terwujud pemerintahan seorang raya yang membawa kemakmuran dan keamanan. Dalam kesenian Barong Sai ada gambara dua (2) hewan yang menggambarkan sosok raja yang akan datang. Barong Sai berujud singa, yang menggambarkan seorang raja yang akan datang sebagai raja yang mampu membuat aturan-aturan yang baik sehingga tercipta keamanan. Sedangkan Liong berujud ular naga, yang menggambarkan raja yang akan datang sebagai raja yang kuat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.

Demikianlah setiap kali kesenian Barong Sai di arak keliling selalu mengajak rakyat maupun umat untuk mengingat bahwa akan datang pada saatnya raja yang mampu membebaskan dari segala macam bentuk penderitaan. Jadi umat klenteng masih menantikan datangnya seorang raja yang berkuasa yang mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan.

WARUNG KEJUJURAN

Ada hal menarik di klenteng ini yaitu adanya sebuah warung yang menjadi sarana mendidik umat untuk bersikap jujur. Warung kejujuran demikian mereka mengatakan. Warung ini menyediakan berbagai keperluan dan sarana doa bagi umat yang beribadah di klenteng. Warung ini tidak ada yang menunggu. Setiap barang sudah ada harganya dan umat yang mau membeli bisa langsung membayarkan di kotak yang telah disediakan. Jika terjadi ketidakjujuran hal tersebut adalah tanggungjawab orang tersebut terhadap Ti Kong ataupun dewa-dewa. Warung kejujuran ini sebagai media untuk membuktikan bahwa penanaman nilai kejujuran dalam hati umat tersebut betul-betul dilakukan.

KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN

Beberapa pengurus klenteng menjelaskan bahwa kehidupan mereka selama pemerintahan Orde baru bisa dikatakan mati suri. Selama kurang lebih 32 tahun kehidupan klenteng dan aktifitas umat selalu diamati oleh penguasa waktu itu. Mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya sebatas di dalam tembok klenteng. Sekian puluh tahun kehidupan klenteng sangat sulit untuk berkembang akibatnya ada mata rantai yang terputus menyangkut segala sesuatu yang terkait dengan klenteng. Informasi ataupun literatur yang berhubungan dengan klenteng sangat sulit ditemukan sehingga menyebabkan klenteng dan umatnya sebagai warga kelas dua.

Sangat berbeda ketika jaman Orde lama ataupun Orde Reformasi, kehidupan klenteng dan umat cenderung lebih leluasa dan bebas melakukan aktifitas hidupnya. Secara khusus ketika Gus Dur menjadi Presiden RI dampak yang dirasakan klenteng dan umatnya sangat luar biasa. Mereka merasakan hak-haknya sama dengan warga Negara yang lain. Lebih dari itu bahwa mereka mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mengekspresikan kesenian yang bernuansa Tiong Hoa. Oleh jasa-jasa Gus Dur itulah umat klenteng menyebut Gus Dur sebagai Bapak kaum Tiong Hoa.

Sejak dibukanya sekat yang memisahkan klenteng dengan dunia luar oleh Gus Dur maka kehidupan umat klenteng mulai masuk dalam tatasan social kemasyarakatan secara lebih luas dan terbuka. Kesempatan mereka untuk mempunyai hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya mendorong mereka untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Secara khusus masyarakat di sekitar klenteng yang hidup pra sejahtera.

Umat klenteng memandang bahwa masyarakat di luar kepercayaan mereka adalah sebagai saudara. Seperti dikatakan oleh pak Agus, “Orang-orang yang ada di empat penjuru mata angin adalah saudara kami”.

KLENTENG DALAM PANDANGAN GEREJA KRISTEN JAWA

Setelah mendengar penjelasan dari pak Agus dan pengurus klenteng tentang kehidupan seputar klenteng pasti kita mendapatkan sesuatu yang baru yang jelas berbeda dengan pemahaman iman GKJ. Sadar atau tidak sadar dalam benak kita mungkin telah menilai mereka secara salah, seperti yang terucap pada pertanyaan murid katekisasi di atas; “apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”.

Klenteng dan umatnya dalam pandangan GKJ adalah sesama kita yang berbeda kepercayaan. GKJ juga mengajarkan bahwa kita membuka diri untuk mau bekerjasama dengan agama dan kepercayaan lain guna menghadirkan damai sejahtera. Bersamaan dengan itu kita tetap harus mempunyai keyakinan iman terhadap apa yang kita imani, namun tanpa harus menghakimi pihak lain. Penghakiman adalah hak Allah, kita tidak boleh mengambil hak Allah dengan cara kita menghakimi orang atau kepercayaan lain.

Kita perlu memperhatikan apa yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Surat Roma 3:29-30;

Atau adakah Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain!. Artinya, kalau ada satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman.

Tulisan Rasul Paulus diatas mengingatkan kita untuk tidak boleh mengklaim Allah sebagai milik pribadi. Allah adalah juga milik bangsa-bangsa dengan berbagai macam keberagaman budaya dan kepercayaannya. Hanya Allah yang berwenang menilai dan menghakimi segala yang hidup. (yaw).

11 Juni 2011

PENTAKOSTA DALAM SEJARAH

" PENTAKOSTA DALAM SEJARAH "

SIMBOL DAN MAKNA

Pentakosta artinya hari kelima puluh (sesudah paskah). Pentakosta dirayakan sebagai hari turunnya Roh Kudus dan hari kelahiran gereja.


Warna liturg
i untuk hari Pentakosta: hijau.

Symbol : burung merpati (7ekor), atau lidah api (7buah) dan seekor burung merpati yang menukik.

Warna dasar : merah

Warna merpati : perak

Warna lidah api : kuning pada tepinya

Arti:

Ketujuh ekor burung merpati atau ketujuh lidah api melambangkan ke tujuh Roh Allah (Why. 4:5) membentuk lingkaran yang menghadirkan kekekalan. Kewtujuh ekor burung merpati atau ketujuh lidah api itu juga melambangkan tujuh buah karunia Roh Kudus (Why. 5:12 atau Yes. 12:2-3). Merpati yang menukik dan lidah api menunjuk pada peristiwa pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta.

SEJARAH HARI RAYA PENTAKOSTA

Hari raya Turunnya Roh Kudus disebut juga hari raya Pentakosta. Kata Pentakosta berasal dari kata Yunani “pentekoste” yang berarti hari ke limapuluh. Dalam Perjanjian baru hari raya ini dikenal dan beberapa kali disebut. Pertama dalam I Korintus 16:8, dimana rasul Paulus menulis, bahwa ia tinggal di Efesus sampai hari raya Pentakosta. Selanjutnya dalam Kisah Rasul 20:16, dimana Lukas katakan, bahwa rasul Paulus bermaksud untuk berada di Yerusalem pada hari raya Pentakosta.

Mengapa paulus dan Lukas menyebut hari raya ini dengan nama Pentakosta? Jawabannya diberikan dalam karya2 Yahudi, khususnya yang ditulis sesudah pembuangan ke Babel. Dalam Imamat 23:10-14 ditetapkan, bahwa pada musim panen dipersembahkan buah-buah sulung, seikat banyaknya, sebagai korban, dan harus diserahkan kepada imam untuk dijadikan korban-bakaran. Dari ayat2 yang mendahului perikop ini (ay.5-8) nyata, bahwa persembahan ini berlangsung pada hari raya Paskah. Mulai dari tanggal ini (Paskah) harus dihitung, menurut ayat2 yang mengikutinya (ay.15-22), selama tujuh minggu penuh. Pada hari sesudah Sabat, yaitu hari kelimapuluh, ditetapkan bahwa orang2 Yahudi harus mempersembahkan buah sulung sebagai korban-timangan, yang terdiri dari dua ketul roti yang beragi dari panen gandum. Korban ini berbeda dengan makanan yang terdiri dari roti yang tidak beragi, yang biasa dimakan pada hari raya Paskah.

Pada korban buah sulung yang akhir ini ditambahkan tujuh ekor anak-domba yang berumur satu tahun, seekor lembu muda dan dua ekor domba jantan sebagai korban-bakaran, seekor kambing jantan dan dua ekor anak-domba sebagai korban penghapus dosa, dan makanan serta minuman sebagai korban-bakaran. Demikianlah bunyi peraturan2 yang ditetapkan untuk merayakan hari raya Pentakosta.

Penghitungan tanggal Pentakosta sebagai hari yang kelimapuluh menurut pembagian tahun Israel dijelaskan lebih lanjut dalam kitab Ulangan (baca Ul.16:9-17). Hari raya Paskah dirayakan dengan sederhana dan dalam suasana khidmat, hari raya Pentakosta sebaliknya, yaitu dengan gembira.

Dari uraian diatas nyata, bahwa kedua hari raya itu erat hubungannya. Hari raya pentakosta sebenarnya adalah akhir dari hari raya Paskah Yahudi. Memang benar, bahwa pada perayaan pentakosta lebih menonjol sifat hari raya ini sebagai hari raya panen. Tetapi hari raya Paskah juga mempunyai hari raya panen.

Yang membedakan hari raya Paskah dengan hari raya Pentakosta ialah, bahwa hari raya Paskah tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan peringatan akan keluarnya bangsa Israel dari mesir. Sedangkan hari raya Pentakosta adalah tetap hari raya panen, walaupun sedikit banyak hari raya Paskah turut mewarnai hari raya Pentakosta.

PENTAKOSTA DI INDONESIA

Hari raya Pentakosta masuk ke Indonesia dari para pekabar Injil dari badan2 zending. Merujuk pada sejarah Pentakosta Yahudi bahwa hari itu adalah hari raya panen, maka oleh sebagian gereja-gereja di Indonesia hari raya ini tersebut mempunyai persamaan dengan masyarakat indonesia yaitu masyarakat agraris. Sehingga pada kemudian hari sebagian gereja-gereja di Indonesia memperingati Pentakosta dengan membawa persembahan yang berupa hasil bumi dan ternak. Hari raya ini dipakai sebagai kesempatan untuk mempersembahkan seluruh hasil cipta dan karya jemaat kepada Allah penguasa semesta Allah.

Dari Eropa hariraya Pentakosta dimasukkan oleh badan2 sending ke gereja2 di Indonesia, sehingga ia telah dikenal dalam kehidupan gereja di Indonesia.

Demikian sekilas sejarah hari raya Pentakosta yang mewarnai kehidupan gereja Tuhan di bumi ini. (yaw – dari berbagai sumber)

25 Maret 2011

"SUPAYA SEMUA HIDUP DALAM DAMAI SEJAHTERA""

“Supaya Semua Hidup Dalam Damai Sejahtera”

Lukas 10:1-12

Proses Pemanggilan Pendeta II di GKJ Cilacap sedang berlangsung dengan berbagai tanggapan dan harapan. Salah satu yang menjadi perbincangan hangat adalah tentang kesiapan Pendeta I, Pdt. Yosafat AW (Pdt. YAW). Salah satu pertanyaan yang terlontar: “Apakah Pdt. YAW sudah siap dan iklas didampingi oleh Pendeta II nantinya?”. Pertanyaan ini wajar, mengingat jika dalam satu komunitas ada dua “pemimpin” biasanya muncul konflik. Konflik…bukankah ini suatu yang bisa terjadi dimana saja dan dipicu oleh siapa saja, sebab itu perlu kedewasaan dan penguasaan diri semua pihak, pun dalam keluarga besar GKJ Cilacap. Tujuan yang hendak kita capai dalam proses pemanggilan pendeta II adalah supaya semua hidup dalam damai sejahtera, bukan kekacauan dan perpecahan.

Belajar dari Lukas 10:1-12, Tuhan Yesus menunjuk tujuh puluh (70) orang murid dan mengutus mereka berdua-dua ke setiap kota dan tempat yang hendak dikunjungiNya. Pengutusan ke banyak kota dan tempat tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa cukup luas dan banyak “tuaian” yang harus “dituai”. “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah…supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu(ay.2)”, Firman tersebut menyatakan bahwa banyak orang yang perlu mendapat perhatian dan pelayanan keselamatan namun sangat terbatas pelayan yang ada. Sebab itu Tuhan Yesus menambah dan melibatkan murid-muridNya (70 orang) untuk menyatakan Injil Kerajaan Allah yaitu Damai Sejahtera bagi lebih banyak orang di banyak tempat.

Tujuan Tuhan Yesus mengutus tujuh puluh (70) orang murid ke setiap kota dan tempat sangat jelas, yaitu supaya setiap orang mendapat dapat merasakan Kerajaan Allah yakni damai sejahtera. “Damai sejahtera bagi rumah ini” (ay.5) dan “Kerajaan Allah sudah dekat”(ay.9) merupakan berita yang harus dibawa oleh murid-murid Yesus sambil mereka menyatakan kemuliaan Tuhan dengan menyembuhkan penyakit-penyakit yang ada.

Sebuah pertanyaan menarik, mengapa Tuhan Yesus mengutus tujuh puluh (70) murid secara berdua-dua? Berdua-dua mereka diutus untuk menyatakan Kerajaan Allah yakni Damai Sejahtera, karena itu selama mengemban tugas pengutusan secara berdua-dua mereka terlebih dahulu belajar bagaimana bisa hidup damai sejahtera dengan rekan sepelayanannya. Jika mereka berdua mampu hidup damai maka dengan sendirinya mereka sudah memberitakan Kerajaan Allah yakni Damai Sejahtera dari Allah.

Pengutusan murid-murid secara berdua-dua tidak akan mengalami kegagalan jika mereka tetap mengutamakan berita yang harus mereka sampaikan yaitu supaya semua hidup dalam damai sejahtera. Jika selama dalam pelayanan pengutusan mereka memikirkan kepentingan pribadi tentulah bukan damai sejahtera yang mereka bawa tetapi perselisihan. Sangat mungkin dalam melaksanakan tugas pengutusan dan pelayanan mereka mempunyai tata cara atau tehnik yang berbeda, misalnya; jalur mana yang akan ditempuh untuk pergi ke kota yang hendak dituju, bisa berbeda dan bisa jadi timbul konflik antar mereka berdua.

Rencana pemanggilan pendeta II di GKJ Cilacap dilaksanakan berdasarkan kenyataan bahwa “tuaian”, yakni lingkup kebutuhan pelayanan dan jumlah jemaat yang terus berkembang namun dengan “pekerja” yang terbatas. Oleh karena itu jika Tuhan melalui jemaatNya di GKJ Cilacap berkehendak menambah pelayan jemaat, pendeta, sudah semestinya mendapat dukungan dan doa. Pdt. YAW menyadari akan keterbatasannya dalam pelayanan karena itu suatu sukacita jika Tuhan melalui jemaatNya berkenan menambahkan rekan sepelayanan. Kehadiran dan keberadaan dua (2) pendeta jemaat menjadi ujian bagi kita semua untuk tetap berpegang pada tujuan agar semua hidup dalam damai sejahtera.

Satu pertanyaan baru bagi kita, “Apakah kita siap untuk menerima dan memfasilitasi pelayanan dua (2) orang pendeta dengan tetap mengusahakan hidup dalam damai sejahtera?”. Kiranya Tuhan menolong kita. (yaw).