BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

26 November 2009

TAIZE: IBADAH MEDITATIF


TAIZE: IBADAH DOA MEDITATIF

Sabtu 11 April 2009 menjadi satu hari yang menjadi awal dari pengalaman iman baru bagi jemaat GKJ Cilacap. Khususnya dalam hal peribadatan jemaat, yang selama ini mengenal dua model ibadah yaitu model konvensional dan model ekspresif. Ibadah Konvensional merupakan ibadah yang kita kenal pada ibadah-ibadah minggu dengan menggunakan liturgi baku yang dikeluarkan oleh sinode. Sedangkan Ibadah Ekspresif akrab dengan apa yang sering kita sebut sebagai Kebaktian Penyegaran Rohani (KPR) yang menekankan ekspresi-ekspresi yang meluap-luap seiring jiwa pemuda.

Adapun Ibadah Meditaif atau yang sering disebut sebagai ibadah Taize memberikan ruang baru bagi jemaat yang menginginkan alternatif di luar kedua model yang sudah ada tersebut. Ibadah ini lebih menekankan pujian-pujian dan doa-doa melalui suasana hening sebagai cara untuk menghayati kehadiran Tuhan hingga seseorang mampu "mengalami Allah", artinya, lebih dari sekedar mengenal tetapi merasakan dengan sungguh kehadiran Allah dalam diri seseorang.

Pada hari Sabtu 11 April 2009 yang lalu GKJ Cilacap sudah mengadakan ibadah ini dan mendapat sambutan cukup baik, ada sekitar 150 orang yang menghadiri kebaktian tersebut. Harapan dari jemaat yang hadir, ibadah ini bisa diadakan secara berkala dan rutin di GKJ Cilacap sebagai bagian dari alternatif ibadah untuk mengembangkan penghayatan iman jemaat kepada Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Jumat 27 Nopember 2009, ibadah Meditatif ini akan dilaksanakan kembali untuk menjawab kerinduan jemaat akan model-model ibadah yang kreatif dan inovatif. Dipersilakan kita untuk mendukung acara tersebut dengan menghadiri ibadah meditatif itu pada jumat jam 18.00 WIB. Selamat beribadah, Tuhan memberkati.

“SEKILAS MENGENAI IBADAH MEDITATIF”

Ibadah meditatif lebih di kenal dengan ibadah Taize yang diambil nama tempat komunitas ibadadah meditatif ini berasal. Bruder Roger Schutz mendirikan Komunitas Taizé sebagai suatu usaha untuk menemukan cara-cara mengatasi perpecahan antara orang-orang Kristen dan pertengkaran dalam keluarga bangsa manusia. Kini, Taizé merupakan sebuah tempat pertemuan ratusan ribu kaum muda dari tiap benua untuk berdoa dan menyiapkan diri bagi karya membangun perdamaian, dan kepercayaan di dunia.
Pada tahun 1940, ketika berusia 25 tahun, Perang Dunia II mulai berkecamuk. Selama beberapa tahun, ia telah mencita-citakan dalam dirinya akan terbentuk sebuah komunitas biarawan yang mengabdikan diri kepada pendamaian. Ia meninggalkan Swiss, negara kelahirannya, dan menetap di Burgundy, Prancis, tempat asal ibunya di tengah-tengah peperangan sedang berkecamuk. Kemudian hari ia menulis, “Semakin seorang beriman ingin menghayati panggilan Allah, yang mutlak, semakin penting berbuat demikian di tengah-tengah penderitaan manusia.”
Sementara ia mencari sebuah rumah, ia tiba di kota Cluny, yang peranannya dalam sejarah monastisisme diketahuinya, dan di dekatnya ia menemukan sebuah rumah yang dijual, di desa Taizé. Seorang perempuan tua menyambutnya, dan ketika ia mengungkapkan rencananya, perempuan itu mengatakan, “Tinggallah di sini; kami sangat terpencil.” Baginya, hal tersebut seperti suara Allah yang berbicara kepadanya melalui suara perempuan tua itu. Ia tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu di tempat-tempat lain yang dikunjunginya.
Taizé hanya 2 km. dari garis demarkasi yang pada waktu itu membagi Prancis menjadi dua. Di rumah yang dibelinya, ia menyembunyikan pelarian-pelarian politik, yang kebanyakan orang Yahudi, yang melarikan diri dari daerah yang diduduki Nazi. Ia tinggal di Taizé dari 1940-1942. Seorang diri, ia berdoa tiga kali sehari dalam sebuah gereja kecil, seperti yang kelak akan dilakukan oleh komunitas yang hendak didirikannya. Ketika Gestapo berkali-kali mengunjungi rumahnya, ia terpaksa meninggalkan Prancis sejak bulan-bulan akhir 1942 sampai akhir 1944.
Tahun 1944, ketika kembali ke Prancis, Bruder Roger ditemani oleh tiga bruder yang pertama. Tahun 1949, tujuh orang bruder yang perdana menyatakan tekad hidup membiara selama hayat dikandung badan: hidup selibat, penerimaan atas tugas pelayanan dari prior, pemilikan bersama atas barang-barang jasmani dan rohani. Bruder Roger menjadi prior (kepala biara). Dari tahun ke tahun, Komunitas Taizé bertambah besar. Tahun 1961, saudara-saudara Katolik dapat masuk. Sekarang ada sekitar 100 bruder, orang-orang Katolik dan Protestan, berasal dari 30-an negara.
Oleh keberadaannya sendiri, komunitas itu menjadi tanda rekonsiliasi di kalangan orang-orang Kristen yang terpecah-pecah, di kalangan bangsa-bangsa yang terpisah-pisah. Komunitas Taizé diistilahkan oleh Bruder Roger sebagai “perumpamaan persatuan.”
Rekonsiliasi antara orang-orang Kristen merupakan pusat panggilan Taizé, tetapi tidak pernah dilihat sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Demikian halnya agar orang-orang Kristen menjadi ragi rekonsiliasi, ragi saling percaya antara bangsa-bangsa, ragi perdamaian di atas bumi.
Sejak tahun 1957-1958, Taizé menyambut kaum dewasa muda dalam jumlah yang kian bertambah besar, dari berbagai belahan Eropa, juga benua-benua lain. Hingga sekarang, setahun sekali dari hampir 100 bangsa yang berbeda-beda mengikuti pertemuan-pertemuan antarbenua. Selama bertahun-tahun, ratusan ribu anak muda berkumpul di Taizé dengan tema utama: pembatinan hidup dan solidaritas manusiawi. Selama satu minggu doa, dan bertukar pendapat dengan kaum muda yang lain, mereka mempersiapkan diri untuk melaksanakan tanggung jawab dalam situasi-situasi di mana mereka tinggal: pemahaman yang lebih besar dalam tentang doa, visi yang lebih universal tentang Gereja, kepedulian terhadap hak-hak manusia, kesadaran internasional, kepercayaan kepada orang asing, perhatian yang lebih besar akan perdamaian dan bagi rasa antarbudaya.
Kidung-kidung Taizé dapat dengan mudah dikenali. Kidung-kidung tersebut dinyanyikan terus-menerus dalam banyak bahasa, dan hal itu merupakan cara untuk mengungkapkan kenyataan dasariah, yang dengan cepat ditangkap oleh pikiran dan kemudian secara bertahap merasuki seluruh pribadi.

Musik Taizé
Pemimpin musik Taizé adalah Jacques Berthier (1923-1994), dia adalah seorang komponis dan organis di gereja St. Ignatius (Paris). Pada tahun 1975, berthier dan kawan-kawannya membuat lagu berdasarkan pola :
- Berulang-ulang
- Frasa musik yang pendek, secara khusus : nyanyian respon, kanon, rangkaian doa-doa, dan chant (nyanyian yang mudah dan pendek), yang memiliki melodi yang mudah diingat.

Liturgi Taizé
Liturgi Taizé adalah ucapan sekaligus musik pada waktu yang bersamaan “Tidak ada yang lebih nyaman untuk berkomuni dengan orang yang tinggal dengan Allah dengan cara doa yang meditatif, bernyanyi terus-menerus tanpa akhir, dan berlangsung dengan kesunyian yang menyatukan hati.”
Elemen-elemen yang digunakan dalam pelayanan ibadah Taizé:
 Mazmur-mazmur : Introitus – pembacaan Mazmur.
 Pembacaan : Perjanjian Lama; Injil; Surat-surat; bacaan pendek.
 Lagu : Respon; himne.
 Doa : Syafaat; persembahan; doa bebas; berkat.

Kegiatan-kegiatan Taizé
Setiap hari mereka berkumpul untuk berdoa bersama sebanyak 3 kali sehari. Pada petang hari, diadakan nyanyian dan doa, setelah itu para saudara tetap tinggal di Gereja untuk mendengarkan mereka yang ingin berbicara tetang masalah pribadi atau bertanya sesuatu.
Setiap Sabtu malam diadakan doa kebaktian Tuhan, sebuah pesta cahaya.
Pada hari Jumat malam, Gereja terbuka untuk siapa saja yang ingin berdoa, di tengah gereja terdapat patung salib yang besar. Orang yang datang untuk berdoa, duduk di sekelilingnya dalam keheningan sebagai suatu cara berserah diri kepada Tuhan.

08 November 2009

Pdt. Y. SUKARDI DI MATAKU


Pdt. Y. SUKARDI DI MATAKU

Pdt. Yosafat AW, S.Si

Pak Kardi, begitu saya memanggil Pendeta Yohanes Sukardi dalam pergaulan sehari-hari di klasis Banyumas Selatan. Memperhatikan sosok Pendeta Sukardi kita menemukan sosok pendeta dengan tubuh yang…maaf…tidak begitu tinggi namun memiliki kondisi fisik yang sehat, tambun namun gempal, padat dan berisi. Dengan fisik yang seperti itu hampir tidak pernah saya dengar kalau pak Kardi sakit atau terganggu kesehatannya. Tentu hal itu tidak lepas dari usaha keras dan hati-hati pak Kardi dalam menjaga stamina tubuh supaya tidak drop. Pikir saya, akan kerepotan jikalau pak Kardi jatuh sakit, sebab siapa yang akan mendampingi secara intensif Pendeta yang tetap setia hidup tanpa pendamping selama belasan tahun setelah Tuhan memanggil istri tercintanya. Keadaan yang demikian semakin membuat saya kagum dengan sosok pak Kardi, dalam pelayanan kepada Tuhan di jemaat GKJ Adireja selama belasan tahun tanpa didampingi seseorang yang mungkin bisa diajak berbagi beban. Begitupun perannya sebagai ayah sekaligus ibu bagi ke-3 buah hatinya (Andra-Ana-Aning), suatu pekerjaan yang tidak ringan tetapi itu semua mampu dilakukan oleh pak Kardi dengan kuat, sekuat tubuhnya yang padat dan gempal. Terlepas dari itu semua saya meyakini bahwa Roh Allah turut campur dalam seluruh perjalanan hidup yang dipilih oleh pak Kardi sebagai “single parent” bagi ketiga anaknya maupun bagi jemaat GKJ Adireja.

Dalam kebersamaan di Klasis Banyumas Selatan, bagi saya, pak Kardi bukanlah tipe pendeta yang “jaim” (jaga image), sederhana dan apa adanya, itu yang terekam dalam benak saya. Tidak ada yang berlebihan dari sosok pak Pendeta yang suka naik bus ini, dari tutur kata maupun dari tingkah lakunya menyiratkan sosok pribadi pendeta yang betul-betul “menep”. Pribadi yang demikian semakin menambah kenyamanan ketika seseorang berkomunikasi dengannya, tidak ada ambisi untuk dihormati sebagai Pendeta senior. Hal sebaliknya, pak Kardi selalu berusaha membangkitkan kepercayaan diri para pendeta muda untuk memiliki keberanian mengeluarkan pendapatnya. Panggilan yang sering diucapkan oleh pak Kardi: “Pak Pendhito…”, bagi saya ini sapaan untuk mendorong rasa percaya diri para pendeta muda yang masih diliputi pergumulan dan pertanyaan: ”aku bisa dadi pendhito ora to?”.

Keluwesan pak Kardi juga Nampak dalam menyelesaikan konflik atapun selisih paham dalam pergaulan di klasis Banyumas Selatan, selalu berusaha menempatkan diri di tengah sebagai usaha untuk menjembatani dua pihak yang bersitegang. Proporsional dalam menyelesaikan masalah dengan mendengar dari pihak-pihak terkait. Tapi terkadang pak Pendeta ini juga bisa keluar “siungnya” jika ada hal-hal prinsip dilanggar. Pribadi pak Pendeta yang supel bergaul dengan semua golongan ini menjadikannya sebagai seorang pendeta yang “jago” dalam membangun relasi dan jejaring. Sebagian besar teman-teman di Klasis Banyumas Selatan mengakui pak Pendeta Sukardi sebagai pribadi yang pandai mencari dana bagi pengembangan jemaat ataupun yayasan pendidikan. Sikap supel, rendah hati dan sederhana membuat pak Kardi dipercaya di dalam pendistribusian bantuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Rasanya terlalu dilebih-lebihkan kalau mata saya hanya memandang pak Pendhito Kardi dari sisi yang membuat kita mengacungi jempol. Agar pandangan mata saya tidak dikatakan “abnormal” karena hanya melihat kelebihan pak Kardi saja, maka saya juga sampaikan kekurangan pak Kardi yang tertangkap oleh pandangan mata saya dan terekam secara dominan dalam benak saya.

Saya mengakui kelebihan-kelebihan pak Kardi sebagaimana saya sebutkan di atas; ketegarannya, kesetiaannya, keluwesannya, kesupelannya, dan kesederhanaannya. Namun saya melihat pada sosok pak Pendeta yang suka membangkitkan percaya diri orang ini, justru dalam diri pak Pendeta Sukardi ini masih ada juga rasa tidak percaya diri. Khususnya ketika dalam pembicaraan-pembicaraan informal jikalau terjadi gelak tawa…selalu pak Kardi menutupi mulutnya supaya giginya yang ompong tidak kelihatan...dalam benak saya berkata sambil tertawa: “ora usah isin pak Kardi, mbok’o ditutupi kabeh podho ngerti yen pak Kardi kuwi uwis ompong”.

Rewel dan gugup kalau membonceng motor, ini hal yang sering membuat saya nggrundel karena dengan rewelnya pak Kardi telah mengurangi ketenangan dan kenyamanan saya dalam berkendara menikmati laju sepeda motor. Ketika motor sudah melaju kencang punggung saya ditepuk-tepuk pak Kardi sambil berkata: “alon-alon wae pak Pendhito…”, dengan terpaksa saya memperlambat laju motor yang menurut saya melaju lambat. Tapi saya tidak mau mendengar pak Kardi untuk satu hal ini, saya ndableg, sedikit demi sedikit kecepatan motor sengaja saya tambah sampai nyaman menurut saya meski saya tahu pak Kardi takut dan miris. Untuk hal ini saya mohon maaf pak Pendhito Kardi…saya merasa bersalah untuk kesengajaan itu. Tapi rasa bersalah saya serta merta hilang ketika pak Kardi bercerita kepada pak Pdt. Semuel : “mbonceng pak pendhito Yosi, Purbalingga – Cilacap 1 jam, lha piye maneh…tak nikmati wae”. Terima kasih pak Kardi akhirnya telah menikmati motor yang “berlari”.

Mungkin itu secuil kesan saya terhadap pak Kardi selama kurang lebih 9 tahun dalam pelayanan di Klasis banyumas Selatan. Kini pak Pendhito Kardi memasuki masa emeritus, harapan saya status baru sebagai Pendeta Emiritus tidak mengurangi kebersamaan yang selama ini telah terjalin dalam keluarga besar Klasis Banyumas Selatan. Saya juga berharap dengan memasuki masa emeritus tetap berkenan menjadi tempat “jujugan” kami yang masih harus “ngangsu kawruh” lebih banyak lagi.

Akhirnya, atas kesan yang ungkapkan diatas jikalau ada hal yang tidak berkenan dihati pak pendhito saya mohon maaf. Dan selanjutnya saya juga mengucapkan selamat memasuki masa emeritus, selamat berbahagia, dan tetap berkarya. Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja memberkati Pak Pendhito Yohanes Sukardi dan anak-anak. Amin. (yaw)


04 November 2009

"KALENDER MASEHI"

KALENDER MASEHI

Tiap tanggal 1 Januari orang-orang di berbagai belahan dunia akan bersorak sorai merayakan pergantian tahun. Setelah 365 hari yang telah kita lalui, kita akan menyambut 365 hari yang baru. Harapan-harapan dilambungkan untuk menyongsong hari yang baru. Doa-doa diucapkan. Tahun baru tlah tiba!

Namun, di balik kegembiraan tahun baru, pernahkah terlintas di benak kita pertanyaan-pertanyaan seputar kalender? Misalnya, tahukah anda mengapa satu tahun lamanya 365 hari dan setelah itu datang tahun baru membawa 365 hari yang baru, atau tahukah anda sejak kapan kalender yang kita gunakan sekarang ini mulai digunakan pertama kalinya dan siapa yang menciptakannya?

Setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat) yang terbagi ke dalam 12 bulan. Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.

Pada duabelas bulan tersebut, setiap harinya istimewa. Hari-hari tertentu merupakan sebuah perayaan atau peringatan bagi sekelompok orang. Di negara kita misalnya, setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan negara kita. Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal. Pada tanggal 1 Januari, tahun baru kita rayakan. Jika digabungkan hari perayaan atau hari peringatan di seluruh dunia, kemungkinan besar setiap harinya merupakan hari perayaan atau peringatan.

Tanggal-tanggal seperti ini adalah bagian dari sistem penanggalan Gregorian atau lebih kita kenal di Indonesia sebagai sistem penanggalan masehi. Selain resmi digunakan sehari-hari di negara kita, sistem penanggalan Gregorian ini merupakan sistem penanggalan internasional.

Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari. Revolusi Bumi mengelilingi Matahari tiap tahunnya mengakibatkan Matahari terlihat dari Bumi bergerak melintasi bola langit. Padahal, sebenarnya Bumi bergerak mengitari Matahari maka kita melihat Matahari diproyeksikan pada medan bintang yang berbeda-beda. Lintasan Matahari semu selama setahun ini kemudian disebut ekliptika. Mudahnya, bayangkan saja bintang-bintang di langit. Bintang-bintang tampak terbit dan tenggelam setiap harinya. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh rotasi Bumi terhadap sumbunya, bukan karena Bumi yang diam dan dikelilingi oleh bintang-bintang, seperti yang dikira orang-orang zaman dahulu selama berabad-abad.

Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan ekliptika tempat Matahari melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret. Sistem penanggalan dengan acuan Matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau kalender syamsiah. Oleh karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam kalender Gregorian lamanya 365 hari.

Tetapi, sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya merupakan reformasi dari sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya. Kalender Gregorian pada mulanya adalah kalender yang digunakan oleh bangsa Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus Matahari (solar calendar) seperti sekarang ini. Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari duabelas bulan seperti sekarang, tetapi terdiri dari sepuluh bulan (Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, December) dengan jumlah hari sepanjang tahun adalah 304 hari.

Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma pertama kalinya atau “from the founding of the city (of Rome)”, yang diterjemahkan dari bahasa Romawi “ab urbe condita”. Selain itu awal tahun atau tahun baru dirayakan setiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari seperti sekarang.

Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi kalender yang terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulannya masih menyesuaikan dengan siklus peredaran Bulan mengitari Bumi, rata-rata adalah 29,5 hari. Raja Romawi, Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari diantara bulan Desember dan Maret. Dengan demikian didapat tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada tahun 450 SM Februari dipindahkan ke posisinya sekarang ini, di antara Januari dan Maret.

Tetapi, tahun dengan 354 hari tidak sesuai dengan periode Bumi mengelilingi Matahari yang telah diketahui waktu itu, yaitu 365,242199 hari. Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi tersebut tidak sesuai sekitar sebelas hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini menjadi sekitar sebulan. Untuk mengakali hal ini, kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan setiap dua tahun sekali. Tidak berapa lama kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Romawi kuno.

Pada 46 SM, Julius Caesar mereformasi kalender dengan memerintahkan bahwa panjang satu tahun haruslah 365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan pertimbangan dari seorang ahli astronomi dari Alexandria bernama Sosigenes. Ini mengakibatkan beberapa hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari. Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada urutan ganjil memiliki 31 hari dan bulan yang berada pada urutan genap memiliki 30 hari, dengan bulan Februarinya berjumlah 29 hari. Selain itu, pada tahun 44 SM bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk menghormati Julius Caesar.

Dengan demikian, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan siklus Bulan mengelilingi Bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari. Kalender Julian, demikian kalender ini disebut, tidak lagi bersifat lunar calendar (kalender Qamariyah) karena ketidaksesuaiannya dengan siklus Bulan.

Tetapi permasalahan tidak serta merta selesai setelah reformasi kalender Julian. Masih ada perbedaan sekitar seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang tahun sebenarnya (pergerakan semu Matahari sepanjang tahun). Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan sebesar satu hari. Dalam waktu beberapa puluh tahun, kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan dengan musim lebih besar lagi. Dengan demikian, kalender Julian tidak lagi sesuai dengan pergantian musim, padahal tujuan utama reformasi Julian adalah menyesuaikan dengan musim. Reformasi Julian jadinya hanya menunda ketidaksesuaian tersebut, seperti yang terjadi pada kalender Romawi kuno, lebih lama saja.

Untuk mengakali perbedaan dengan musim tersebut, dengan pertimbangan lain lagi dari Sosigenes, setiap empat tahun sekali akan ditambahkan satu hari pada bulan Februari. Tahun seperti inilah yang kemudian kita kenal sebagai tahun kabisat. Maka, pada tahun kabisat tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari sehingga jumlah hari satu tahunnya menjadi 366 hari. Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahunnya adalah 365,25 hari dan menjadi cukup dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.

Namun, Februari yang kita kenal sekarang terdiri dari 28 hari. Terdapat cerita menarik mengenai perubahan Februari dari 29 hari menjadi 28 hari, meskipun tidak diyakini kebenarannya. Tahun 8 SM bulan Sextilis diganti namanya menjadi Augustus untuk menghormati kaisar Augustus yang memerintah Romawi setelah Julius Caesar. Pada masa kekuasaannya, ia mengambil satu hari dari bulan Februari untuk ditambahkan ke bulan Agustus, sehingga bulan Agustus pun kemudian terdiri dari 31 hari, bukan 30 hari lagi seperti sebelumnya. Dengan jumlah hari yang sama antara Juli dan Agustus, walaupun namanya dijadikan nama bulan setelah bulan Juli, ia tidak lagi merasa inferior terhadap Julius Caesar.

Setelah didapat panjang tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun sebenarnya dengan solusi tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belumlah cukup sangat akurat sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama dapat tetap mengakibatkan ketidaksesuaian dengan musim. Dengan “kesalahan” yang besarnya hanya 0,007801 hari tiap tahunnya, dalam kurun waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim (panjang tahun sebenarnya) sekitar satu hari.

Pada tahun 1582 kalender Julian telah memiliki ketidaksesuaian dengan musim sebesar 10 hari. Untuk mengatasi hal ini, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah. Pertama, ia memutuskan bahwa tanggal 4 Oktober tahun 1582 akan langsung diikuti dengan tanggal 15 Oktober 1582, bukan tanggal 5 Oktober 1582. Kedua, untuk mencegah ketidaksesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga menetapkan bahwa tiga dari empat tahun abad (tahun yang berakhiran dengan 00, misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat. Dengan peraturan tahun kabisat yang dulu, setiap empat tahun sekali, tahun yang habis dibagi empat akan menjadi tahun kabisat. Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat. Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 2000, yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.

Tetapi, peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan. Memang negara-negara dengan mayoritas umat Katholik dengan segera mengubah penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah direformasi Paus Gregorius, tetapi tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan lainnya. Pada banyak negara kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai tahun 1918 masih digunakan oleh Rusia. Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan yang mana yang digunakan, yang Julian atau Gregorian. Demikianlah kisah kalender yang kita gunakan sehari-hari kini. Menarik mengetahui bahwa manusia dapat “mensiasati waktu”.

(Sumber: http://langitselatan.com/2007/06/08/kalender-masehi/)