BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

26 November 2009

TAIZE: IBADAH MEDITATIF


TAIZE: IBADAH DOA MEDITATIF

Sabtu 11 April 2009 menjadi satu hari yang menjadi awal dari pengalaman iman baru bagi jemaat GKJ Cilacap. Khususnya dalam hal peribadatan jemaat, yang selama ini mengenal dua model ibadah yaitu model konvensional dan model ekspresif. Ibadah Konvensional merupakan ibadah yang kita kenal pada ibadah-ibadah minggu dengan menggunakan liturgi baku yang dikeluarkan oleh sinode. Sedangkan Ibadah Ekspresif akrab dengan apa yang sering kita sebut sebagai Kebaktian Penyegaran Rohani (KPR) yang menekankan ekspresi-ekspresi yang meluap-luap seiring jiwa pemuda.

Adapun Ibadah Meditaif atau yang sering disebut sebagai ibadah Taize memberikan ruang baru bagi jemaat yang menginginkan alternatif di luar kedua model yang sudah ada tersebut. Ibadah ini lebih menekankan pujian-pujian dan doa-doa melalui suasana hening sebagai cara untuk menghayati kehadiran Tuhan hingga seseorang mampu "mengalami Allah", artinya, lebih dari sekedar mengenal tetapi merasakan dengan sungguh kehadiran Allah dalam diri seseorang.

Pada hari Sabtu 11 April 2009 yang lalu GKJ Cilacap sudah mengadakan ibadah ini dan mendapat sambutan cukup baik, ada sekitar 150 orang yang menghadiri kebaktian tersebut. Harapan dari jemaat yang hadir, ibadah ini bisa diadakan secara berkala dan rutin di GKJ Cilacap sebagai bagian dari alternatif ibadah untuk mengembangkan penghayatan iman jemaat kepada Allah di dalam Tuhan Yesus Kristus. Jumat 27 Nopember 2009, ibadah Meditatif ini akan dilaksanakan kembali untuk menjawab kerinduan jemaat akan model-model ibadah yang kreatif dan inovatif. Dipersilakan kita untuk mendukung acara tersebut dengan menghadiri ibadah meditatif itu pada jumat jam 18.00 WIB. Selamat beribadah, Tuhan memberkati.

“SEKILAS MENGENAI IBADAH MEDITATIF”

Ibadah meditatif lebih di kenal dengan ibadah Taize yang diambil nama tempat komunitas ibadadah meditatif ini berasal. Bruder Roger Schutz mendirikan Komunitas Taizé sebagai suatu usaha untuk menemukan cara-cara mengatasi perpecahan antara orang-orang Kristen dan pertengkaran dalam keluarga bangsa manusia. Kini, Taizé merupakan sebuah tempat pertemuan ratusan ribu kaum muda dari tiap benua untuk berdoa dan menyiapkan diri bagi karya membangun perdamaian, dan kepercayaan di dunia.
Pada tahun 1940, ketika berusia 25 tahun, Perang Dunia II mulai berkecamuk. Selama beberapa tahun, ia telah mencita-citakan dalam dirinya akan terbentuk sebuah komunitas biarawan yang mengabdikan diri kepada pendamaian. Ia meninggalkan Swiss, negara kelahirannya, dan menetap di Burgundy, Prancis, tempat asal ibunya di tengah-tengah peperangan sedang berkecamuk. Kemudian hari ia menulis, “Semakin seorang beriman ingin menghayati panggilan Allah, yang mutlak, semakin penting berbuat demikian di tengah-tengah penderitaan manusia.”
Sementara ia mencari sebuah rumah, ia tiba di kota Cluny, yang peranannya dalam sejarah monastisisme diketahuinya, dan di dekatnya ia menemukan sebuah rumah yang dijual, di desa Taizé. Seorang perempuan tua menyambutnya, dan ketika ia mengungkapkan rencananya, perempuan itu mengatakan, “Tinggallah di sini; kami sangat terpencil.” Baginya, hal tersebut seperti suara Allah yang berbicara kepadanya melalui suara perempuan tua itu. Ia tidak pernah mendengar kata-kata seperti itu di tempat-tempat lain yang dikunjunginya.
Taizé hanya 2 km. dari garis demarkasi yang pada waktu itu membagi Prancis menjadi dua. Di rumah yang dibelinya, ia menyembunyikan pelarian-pelarian politik, yang kebanyakan orang Yahudi, yang melarikan diri dari daerah yang diduduki Nazi. Ia tinggal di Taizé dari 1940-1942. Seorang diri, ia berdoa tiga kali sehari dalam sebuah gereja kecil, seperti yang kelak akan dilakukan oleh komunitas yang hendak didirikannya. Ketika Gestapo berkali-kali mengunjungi rumahnya, ia terpaksa meninggalkan Prancis sejak bulan-bulan akhir 1942 sampai akhir 1944.
Tahun 1944, ketika kembali ke Prancis, Bruder Roger ditemani oleh tiga bruder yang pertama. Tahun 1949, tujuh orang bruder yang perdana menyatakan tekad hidup membiara selama hayat dikandung badan: hidup selibat, penerimaan atas tugas pelayanan dari prior, pemilikan bersama atas barang-barang jasmani dan rohani. Bruder Roger menjadi prior (kepala biara). Dari tahun ke tahun, Komunitas Taizé bertambah besar. Tahun 1961, saudara-saudara Katolik dapat masuk. Sekarang ada sekitar 100 bruder, orang-orang Katolik dan Protestan, berasal dari 30-an negara.
Oleh keberadaannya sendiri, komunitas itu menjadi tanda rekonsiliasi di kalangan orang-orang Kristen yang terpecah-pecah, di kalangan bangsa-bangsa yang terpisah-pisah. Komunitas Taizé diistilahkan oleh Bruder Roger sebagai “perumpamaan persatuan.”
Rekonsiliasi antara orang-orang Kristen merupakan pusat panggilan Taizé, tetapi tidak pernah dilihat sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Demikian halnya agar orang-orang Kristen menjadi ragi rekonsiliasi, ragi saling percaya antara bangsa-bangsa, ragi perdamaian di atas bumi.
Sejak tahun 1957-1958, Taizé menyambut kaum dewasa muda dalam jumlah yang kian bertambah besar, dari berbagai belahan Eropa, juga benua-benua lain. Hingga sekarang, setahun sekali dari hampir 100 bangsa yang berbeda-beda mengikuti pertemuan-pertemuan antarbenua. Selama bertahun-tahun, ratusan ribu anak muda berkumpul di Taizé dengan tema utama: pembatinan hidup dan solidaritas manusiawi. Selama satu minggu doa, dan bertukar pendapat dengan kaum muda yang lain, mereka mempersiapkan diri untuk melaksanakan tanggung jawab dalam situasi-situasi di mana mereka tinggal: pemahaman yang lebih besar dalam tentang doa, visi yang lebih universal tentang Gereja, kepedulian terhadap hak-hak manusia, kesadaran internasional, kepercayaan kepada orang asing, perhatian yang lebih besar akan perdamaian dan bagi rasa antarbudaya.
Kidung-kidung Taizé dapat dengan mudah dikenali. Kidung-kidung tersebut dinyanyikan terus-menerus dalam banyak bahasa, dan hal itu merupakan cara untuk mengungkapkan kenyataan dasariah, yang dengan cepat ditangkap oleh pikiran dan kemudian secara bertahap merasuki seluruh pribadi.

Musik Taizé
Pemimpin musik Taizé adalah Jacques Berthier (1923-1994), dia adalah seorang komponis dan organis di gereja St. Ignatius (Paris). Pada tahun 1975, berthier dan kawan-kawannya membuat lagu berdasarkan pola :
- Berulang-ulang
- Frasa musik yang pendek, secara khusus : nyanyian respon, kanon, rangkaian doa-doa, dan chant (nyanyian yang mudah dan pendek), yang memiliki melodi yang mudah diingat.

Liturgi Taizé
Liturgi Taizé adalah ucapan sekaligus musik pada waktu yang bersamaan “Tidak ada yang lebih nyaman untuk berkomuni dengan orang yang tinggal dengan Allah dengan cara doa yang meditatif, bernyanyi terus-menerus tanpa akhir, dan berlangsung dengan kesunyian yang menyatukan hati.”
Elemen-elemen yang digunakan dalam pelayanan ibadah Taizé:
 Mazmur-mazmur : Introitus – pembacaan Mazmur.
 Pembacaan : Perjanjian Lama; Injil; Surat-surat; bacaan pendek.
 Lagu : Respon; himne.
 Doa : Syafaat; persembahan; doa bebas; berkat.

Kegiatan-kegiatan Taizé
Setiap hari mereka berkumpul untuk berdoa bersama sebanyak 3 kali sehari. Pada petang hari, diadakan nyanyian dan doa, setelah itu para saudara tetap tinggal di Gereja untuk mendengarkan mereka yang ingin berbicara tetang masalah pribadi atau bertanya sesuatu.
Setiap Sabtu malam diadakan doa kebaktian Tuhan, sebuah pesta cahaya.
Pada hari Jumat malam, Gereja terbuka untuk siapa saja yang ingin berdoa, di tengah gereja terdapat patung salib yang besar. Orang yang datang untuk berdoa, duduk di sekelilingnya dalam keheningan sebagai suatu cara berserah diri kepada Tuhan.

08 November 2009

Pdt. Y. SUKARDI DI MATAKU


Pdt. Y. SUKARDI DI MATAKU

Pdt. Yosafat AW, S.Si

Pak Kardi, begitu saya memanggil Pendeta Yohanes Sukardi dalam pergaulan sehari-hari di klasis Banyumas Selatan. Memperhatikan sosok Pendeta Sukardi kita menemukan sosok pendeta dengan tubuh yang…maaf…tidak begitu tinggi namun memiliki kondisi fisik yang sehat, tambun namun gempal, padat dan berisi. Dengan fisik yang seperti itu hampir tidak pernah saya dengar kalau pak Kardi sakit atau terganggu kesehatannya. Tentu hal itu tidak lepas dari usaha keras dan hati-hati pak Kardi dalam menjaga stamina tubuh supaya tidak drop. Pikir saya, akan kerepotan jikalau pak Kardi jatuh sakit, sebab siapa yang akan mendampingi secara intensif Pendeta yang tetap setia hidup tanpa pendamping selama belasan tahun setelah Tuhan memanggil istri tercintanya. Keadaan yang demikian semakin membuat saya kagum dengan sosok pak Kardi, dalam pelayanan kepada Tuhan di jemaat GKJ Adireja selama belasan tahun tanpa didampingi seseorang yang mungkin bisa diajak berbagi beban. Begitupun perannya sebagai ayah sekaligus ibu bagi ke-3 buah hatinya (Andra-Ana-Aning), suatu pekerjaan yang tidak ringan tetapi itu semua mampu dilakukan oleh pak Kardi dengan kuat, sekuat tubuhnya yang padat dan gempal. Terlepas dari itu semua saya meyakini bahwa Roh Allah turut campur dalam seluruh perjalanan hidup yang dipilih oleh pak Kardi sebagai “single parent” bagi ketiga anaknya maupun bagi jemaat GKJ Adireja.

Dalam kebersamaan di Klasis Banyumas Selatan, bagi saya, pak Kardi bukanlah tipe pendeta yang “jaim” (jaga image), sederhana dan apa adanya, itu yang terekam dalam benak saya. Tidak ada yang berlebihan dari sosok pak Pendeta yang suka naik bus ini, dari tutur kata maupun dari tingkah lakunya menyiratkan sosok pribadi pendeta yang betul-betul “menep”. Pribadi yang demikian semakin menambah kenyamanan ketika seseorang berkomunikasi dengannya, tidak ada ambisi untuk dihormati sebagai Pendeta senior. Hal sebaliknya, pak Kardi selalu berusaha membangkitkan kepercayaan diri para pendeta muda untuk memiliki keberanian mengeluarkan pendapatnya. Panggilan yang sering diucapkan oleh pak Kardi: “Pak Pendhito…”, bagi saya ini sapaan untuk mendorong rasa percaya diri para pendeta muda yang masih diliputi pergumulan dan pertanyaan: ”aku bisa dadi pendhito ora to?”.

Keluwesan pak Kardi juga Nampak dalam menyelesaikan konflik atapun selisih paham dalam pergaulan di klasis Banyumas Selatan, selalu berusaha menempatkan diri di tengah sebagai usaha untuk menjembatani dua pihak yang bersitegang. Proporsional dalam menyelesaikan masalah dengan mendengar dari pihak-pihak terkait. Tapi terkadang pak Pendeta ini juga bisa keluar “siungnya” jika ada hal-hal prinsip dilanggar. Pribadi pak Pendeta yang supel bergaul dengan semua golongan ini menjadikannya sebagai seorang pendeta yang “jago” dalam membangun relasi dan jejaring. Sebagian besar teman-teman di Klasis Banyumas Selatan mengakui pak Pendeta Sukardi sebagai pribadi yang pandai mencari dana bagi pengembangan jemaat ataupun yayasan pendidikan. Sikap supel, rendah hati dan sederhana membuat pak Kardi dipercaya di dalam pendistribusian bantuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Rasanya terlalu dilebih-lebihkan kalau mata saya hanya memandang pak Pendhito Kardi dari sisi yang membuat kita mengacungi jempol. Agar pandangan mata saya tidak dikatakan “abnormal” karena hanya melihat kelebihan pak Kardi saja, maka saya juga sampaikan kekurangan pak Kardi yang tertangkap oleh pandangan mata saya dan terekam secara dominan dalam benak saya.

Saya mengakui kelebihan-kelebihan pak Kardi sebagaimana saya sebutkan di atas; ketegarannya, kesetiaannya, keluwesannya, kesupelannya, dan kesederhanaannya. Namun saya melihat pada sosok pak Pendeta yang suka membangkitkan percaya diri orang ini, justru dalam diri pak Pendeta Sukardi ini masih ada juga rasa tidak percaya diri. Khususnya ketika dalam pembicaraan-pembicaraan informal jikalau terjadi gelak tawa…selalu pak Kardi menutupi mulutnya supaya giginya yang ompong tidak kelihatan...dalam benak saya berkata sambil tertawa: “ora usah isin pak Kardi, mbok’o ditutupi kabeh podho ngerti yen pak Kardi kuwi uwis ompong”.

Rewel dan gugup kalau membonceng motor, ini hal yang sering membuat saya nggrundel karena dengan rewelnya pak Kardi telah mengurangi ketenangan dan kenyamanan saya dalam berkendara menikmati laju sepeda motor. Ketika motor sudah melaju kencang punggung saya ditepuk-tepuk pak Kardi sambil berkata: “alon-alon wae pak Pendhito…”, dengan terpaksa saya memperlambat laju motor yang menurut saya melaju lambat. Tapi saya tidak mau mendengar pak Kardi untuk satu hal ini, saya ndableg, sedikit demi sedikit kecepatan motor sengaja saya tambah sampai nyaman menurut saya meski saya tahu pak Kardi takut dan miris. Untuk hal ini saya mohon maaf pak Pendhito Kardi…saya merasa bersalah untuk kesengajaan itu. Tapi rasa bersalah saya serta merta hilang ketika pak Kardi bercerita kepada pak Pdt. Semuel : “mbonceng pak pendhito Yosi, Purbalingga – Cilacap 1 jam, lha piye maneh…tak nikmati wae”. Terima kasih pak Kardi akhirnya telah menikmati motor yang “berlari”.

Mungkin itu secuil kesan saya terhadap pak Kardi selama kurang lebih 9 tahun dalam pelayanan di Klasis banyumas Selatan. Kini pak Pendhito Kardi memasuki masa emeritus, harapan saya status baru sebagai Pendeta Emiritus tidak mengurangi kebersamaan yang selama ini telah terjalin dalam keluarga besar Klasis Banyumas Selatan. Saya juga berharap dengan memasuki masa emeritus tetap berkenan menjadi tempat “jujugan” kami yang masih harus “ngangsu kawruh” lebih banyak lagi.

Akhirnya, atas kesan yang ungkapkan diatas jikalau ada hal yang tidak berkenan dihati pak pendhito saya mohon maaf. Dan selanjutnya saya juga mengucapkan selamat memasuki masa emeritus, selamat berbahagia, dan tetap berkarya. Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja memberkati Pak Pendhito Yohanes Sukardi dan anak-anak. Amin. (yaw)


04 November 2009

"KALENDER MASEHI"

KALENDER MASEHI

Tiap tanggal 1 Januari orang-orang di berbagai belahan dunia akan bersorak sorai merayakan pergantian tahun. Setelah 365 hari yang telah kita lalui, kita akan menyambut 365 hari yang baru. Harapan-harapan dilambungkan untuk menyongsong hari yang baru. Doa-doa diucapkan. Tahun baru tlah tiba!

Namun, di balik kegembiraan tahun baru, pernahkah terlintas di benak kita pertanyaan-pertanyaan seputar kalender? Misalnya, tahukah anda mengapa satu tahun lamanya 365 hari dan setelah itu datang tahun baru membawa 365 hari yang baru, atau tahukah anda sejak kapan kalender yang kita gunakan sekarang ini mulai digunakan pertama kalinya dan siapa yang menciptakannya?

Setiap tahunnya kita lalui 365 kali pergantian hari (dan 366 hari jika tahun kabisat) yang terbagi ke dalam 12 bulan. Dimulai dengan Januari, diakhiri dengan Desember. Diantaranya terdapat Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan November.

Pada duabelas bulan tersebut, setiap harinya istimewa. Hari-hari tertentu merupakan sebuah perayaan atau peringatan bagi sekelompok orang. Di negara kita misalnya, setiap tanggal 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan negara kita. Setiap tanggal 25 Desember umat Kristiani di seluruh dunia merayakan Natal. Pada tanggal 1 Januari, tahun baru kita rayakan. Jika digabungkan hari perayaan atau hari peringatan di seluruh dunia, kemungkinan besar setiap harinya merupakan hari perayaan atau peringatan.

Tanggal-tanggal seperti ini adalah bagian dari sistem penanggalan Gregorian atau lebih kita kenal di Indonesia sebagai sistem penanggalan masehi. Selain resmi digunakan sehari-hari di negara kita, sistem penanggalan Gregorian ini merupakan sistem penanggalan internasional.

Sistem penanggalan Gregorian adalah sistem penanggalan yang berdasarkan pada siklus pergerakan semu Matahari melewati titik vernal equinok dua kali berturut-turut, yang lamanya rata-rata adalah 365, 242199 hari. Revolusi Bumi mengelilingi Matahari tiap tahunnya mengakibatkan Matahari terlihat dari Bumi bergerak melintasi bola langit. Padahal, sebenarnya Bumi bergerak mengitari Matahari maka kita melihat Matahari diproyeksikan pada medan bintang yang berbeda-beda. Lintasan Matahari semu selama setahun ini kemudian disebut ekliptika. Mudahnya, bayangkan saja bintang-bintang di langit. Bintang-bintang tampak terbit dan tenggelam setiap harinya. Hal ini tidak lain diakibatkan oleh rotasi Bumi terhadap sumbunya, bukan karena Bumi yang diam dan dikelilingi oleh bintang-bintang, seperti yang dikira orang-orang zaman dahulu selama berabad-abad.

Titik vernal equinok adalah titik semu pada lintasan ekliptika tempat Matahari melewati atau tepat berada pada garis ekuator langit (perpanjangan garis ekuator Bumi), yang terjadi sekitar tanggal 21 Maret. Sistem penanggalan dengan acuan Matahari seperti ini disebut juga solar calendar atau kalender syamsiah. Oleh karena penyesuaian dengan pergerakan semu Matahari inilah, satu tahun dalam kalender Gregorian lamanya 365 hari.

Tetapi, sistem penanggalan Gregorian dengan 365 hari seperti sekarang ini sebetulnya merupakan reformasi dari sistem penanggalan yang digunakan sebelumnya. Kalender Gregorian pada mulanya adalah kalender yang digunakan oleh bangsa Romawi kuno dan bukan berdasarkan pada siklus Matahari (solar calendar) seperti sekarang ini. Kalender aslinya dulu tidak terdiri dari duabelas bulan seperti sekarang, tetapi terdiri dari sepuluh bulan (Martius, Aprilis, Maius, Junius, Quintilis, Sextilis, September, October, November, December) dengan jumlah hari sepanjang tahun adalah 304 hari.

Permulaan tahun dalam kalender Romawi kuno dihitung sejak pendirian kota Roma pertama kalinya atau “from the founding of the city (of Rome)”, yang diterjemahkan dari bahasa Romawi “ab urbe condita”. Selain itu awal tahun atau tahun baru dirayakan setiap tanggal 1 Maret, bukan 1 Januari seperti sekarang.

Kemudian kalender ini dimodifikasi menjadi kalender yang terdiri dari 12 bulan dengan jumlah hari tiap bulannya masih menyesuaikan dengan siklus peredaran Bulan mengitari Bumi, rata-rata adalah 29,5 hari. Raja Romawi, Numa Pompilius kemudian memperkenalkan Februari dan Januari diantara bulan Desember dan Maret. Dengan demikian didapat tahun yang lamanya 354 hari. Kemudian pada tahun 450 SM Februari dipindahkan ke posisinya sekarang ini, di antara Januari dan Maret.

Tetapi, tahun dengan 354 hari tidak sesuai dengan periode Bumi mengelilingi Matahari yang telah diketahui waktu itu, yaitu 365,242199 hari. Pada setiap akhir tahun kalender yang dimodifikasi tersebut tidak sesuai sekitar sebelas hari dengan pergantian musim, dan setelah tiga tahun perbedaan dengan musim ini menjadi sekitar sebulan. Untuk mengakali hal ini, kalender segera dikoreksi dengan menambahkan satu bulan setiap dua tahun sekali. Tidak berapa lama kalender yang dikoreksi menimbulkan kebingungan dalam masyarakat Romawi kuno.

Pada 46 SM, Julius Caesar mereformasi kalender dengan memerintahkan bahwa panjang satu tahun haruslah 365 hari dan terdiri dari 12 bulan, berdasarkan pertimbangan dari seorang ahli astronomi dari Alexandria bernama Sosigenes. Ini mengakibatkan beberapa hari harus ditambahkan pada beberapa bulan agar panjang tahun yang semula 354 hari dapat menjadi 365 hari. Ia juga menetapkan bahwa bulan-bulan yang berada pada urutan ganjil memiliki 31 hari dan bulan yang berada pada urutan genap memiliki 30 hari, dengan bulan Februarinya berjumlah 29 hari. Selain itu, pada tahun 44 SM bulan Quintilis diubah namanya menjadi Juli untuk menghormati Julius Caesar.

Dengan demikian, jumlah hari dalam beberapa bulan tidak lagi bersesuaian dengan siklus Bulan mengelilingi Bumi yang lamanya rata-rata 29,5 hari. Kalender Julian, demikian kalender ini disebut, tidak lagi bersifat lunar calendar (kalender Qamariyah) karena ketidaksesuaiannya dengan siklus Bulan.

Tetapi permasalahan tidak serta merta selesai setelah reformasi kalender Julian. Masih ada perbedaan sekitar seperempat hari antara kalender Julian dengan panjang tahun sebenarnya (pergerakan semu Matahari sepanjang tahun). Jika dibiarkan terus, dalam kurun waktu empat tahun kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan sebesar satu hari. Dalam waktu beberapa puluh tahun, kalender Julian akan mengalami akumulasi perbedaan dengan musim lebih besar lagi. Dengan demikian, kalender Julian tidak lagi sesuai dengan pergantian musim, padahal tujuan utama reformasi Julian adalah menyesuaikan dengan musim. Reformasi Julian jadinya hanya menunda ketidaksesuaian tersebut, seperti yang terjadi pada kalender Romawi kuno, lebih lama saja.

Untuk mengakali perbedaan dengan musim tersebut, dengan pertimbangan lain lagi dari Sosigenes, setiap empat tahun sekali akan ditambahkan satu hari pada bulan Februari. Tahun seperti inilah yang kemudian kita kenal sebagai tahun kabisat. Maka, pada tahun kabisat tersebut Februari akan terdiri dari 30 hari sehingga jumlah hari satu tahunnya menjadi 366 hari. Dengan begitu, panjang rata-rata tiap tahunnya adalah 365,25 hari dan menjadi cukup dekat dengan tahun sebenarnya yang panjang rata-ratanya 365,242199 hari.

Namun, Februari yang kita kenal sekarang terdiri dari 28 hari. Terdapat cerita menarik mengenai perubahan Februari dari 29 hari menjadi 28 hari, meskipun tidak diyakini kebenarannya. Tahun 8 SM bulan Sextilis diganti namanya menjadi Augustus untuk menghormati kaisar Augustus yang memerintah Romawi setelah Julius Caesar. Pada masa kekuasaannya, ia mengambil satu hari dari bulan Februari untuk ditambahkan ke bulan Agustus, sehingga bulan Agustus pun kemudian terdiri dari 31 hari, bukan 30 hari lagi seperti sebelumnya. Dengan jumlah hari yang sama antara Juli dan Agustus, walaupun namanya dijadikan nama bulan setelah bulan Juli, ia tidak lagi merasa inferior terhadap Julius Caesar.

Setelah didapat panjang tahun rata-rata yang cukup dekat dengan panjang tahun sebenarnya dengan solusi tahun kabisat, rupanya panjang tahun ini belumlah cukup sangat akurat sehingga dalam kurun waktu yang cukup lama dapat tetap mengakibatkan ketidaksesuaian dengan musim. Dengan “kesalahan” yang besarnya hanya 0,007801 hari tiap tahunnya, dalam kurun waktu 128 tahun akan terdapat ketidaksesuaian dengan musim (panjang tahun sebenarnya) sekitar satu hari.

Pada tahun 1582 kalender Julian telah memiliki ketidaksesuaian dengan musim sebesar 10 hari. Untuk mengatasi hal ini, Paus Gregorius XIII mengambil dua langkah. Pertama, ia memutuskan bahwa tanggal 4 Oktober tahun 1582 akan langsung diikuti dengan tanggal 15 Oktober 1582, bukan tanggal 5 Oktober 1582. Kedua, untuk mencegah ketidaksesuaian dengan musim ini kembali terjadi, ia juga menetapkan bahwa tiga dari empat tahun abad (tahun yang berakhiran dengan 00, misalnya tahun 1600, 1700, dst) bukanlah tahun kabisat. Dengan peraturan tahun kabisat yang dulu, setiap empat tahun sekali, tahun yang habis dibagi empat akan menjadi tahun kabisat. Tetapi, dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Paus Gregorius ini maka tahun abad yang tidak habis dibagi 400 tidak akan menjadi tahun kabisat. Dengan demikian, tahun 1700, 1800, 1900 bukan tahun kabisat, sedangkan tahun 2000, yang habis dibagi 400, merupakan tahun kabisat.

Tetapi, peraturan dari Paus Gregorius ini tidak langsung diterapkan. Memang negara-negara dengan mayoritas umat Katholik dengan segera mengubah penanggalannya ke sistem penanggalan yang telah direformasi Paus Gregorius, tetapi tidak demikian pada negara-negara dengan mayoritas umat Kriten Protestan dan lainnya. Pada banyak negara kalender Julian masih digunakan, bahkan sampai tahun 1918 masih digunakan oleh Rusia. Sehingga dalam kurun waktu 1582-1918 tersebut, harus jelas penanggalan yang mana yang digunakan, yang Julian atau Gregorian. Demikianlah kisah kalender yang kita gunakan sehari-hari kini. Menarik mengetahui bahwa manusia dapat “mensiasati waktu”.

(Sumber: http://langitselatan.com/2007/06/08/kalender-masehi/)

30 Mei 2009

Pentakosta GKJ Cilacap

PENTAKOSTA:

Memelihara Lingkungan dan Merayakan Perbedaan“

Oleh: Pdt. Yosafat AW, SSi

“ Waduh…pangling aku, tak kira bukan pak Pendeta” ucapan itu terlontar dari belasan jemaat pada waktu menjelang ibadah Minggu Pentakosta 31 Mei 2009 di GKJ Cilacap. Rupanya jemaat tidak menyangka kalau yang mereka lihat itu adalah pendetanya. Selidik punya selidik ternyata mereka abai terhadap sosok yang memakai baju sorjan lurik dan sorban ala Kiai Sadrah. Memakai sorjan dan sorban ternyata nyaman juga, selain tidak ribet (dibanding jas dan toga) sorjan juga menunjukkan kesederhanaan sebagai pakaian rakyat kebanyakan pada jamannya. Setelah mereka mengetahui bahwa pria ber-sorjan dan ber-sorban itu adalah pendetanya, barulah mereka memberikan apresiasinya atas penampilan busana yang dipakai dalam ibadah Pentakosta.

Ibadah Pentakosta kali ini memang lain daripada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya tahun-tahun sebelumnya jemaat GKJ Cilacap menyambut dan merayakan Pentakosta dengan lebih banyak disibukkan dengan berbagai macam persembahan. Mulai dari tunai, bazaar makanan dan hasil bumi dan ternak, dan juga persembahan melalui pembelian koin yang selanjutnya bisa ditukar dengan berbagai jenis makanan sesuai dengan nilai koin yang tertera. Terkadang kegiatan “persembahan” tersebut diwarnai dredah atau keributan diantara sebagian jemaat terkait dengan masalah metode dan teknis persembahan dalam rangka Pentakosta ini. Justru hal prinsip dalam perayaan Pentakosta sering terabaikan oleh jemaat. Menurut pemahaman saya Pentakosta adalah hari dimana kita seharusnya merayakan perbedaan (Roh Kudus tercurah atas segala bangsa) dan hari dimana kita peduli kepada pemeliharaan lingkungan (Pentakosta di PL merupakan pesta panen, dihasilkan oleh lingkungan yang terpelihara). Oleh sebab itu pada perayaan Pentakosta tahun ini, GKJ Cilacap menggali makna yang “hilang” dalam perayaan Pentakosta tersebut. Selanjutnya makna yang “hilang” itu kita gunakan sebagai bahan pembinaan bagi jemaat tentang bagaimana mereka menghargai lingkungan dan menerima perbedaan yang ada.

Pembinaan makna penting Pentakosta bagi jemaat GKJ Cilacap kita sampaikan melalui rangkaian dan unsure-unsur liturgi yang dipakai dalam kebaktian. Ibadah diawali oleh para orang penari yang memasuki ruang ibadah dengan membawa “simbol-simbol kehidupan” bagi manusia; yaitu air, tanah, api, udara dan rumpun padi. Tarian yang dipakai adalah Tari Merak yang telah dimodifikasi. Mengapa tari merak? Merak mewakili spesies unggas/burung (meski tidak bisa terbang) yang juga pernah dilepaskan oleh Nuh (merpati) dari bahtera dan merpati tersebut kembali dengan membawa sehelai daun zaitun yang segar, tanda bahwa air sudah surut dan ada kehidupan (Kej 8:11). Kemudian dijelaskan tentang makna dari masing-masing simbol tersebut yang berguna bagi manusia tetapi sekaligus dapat menjadi kekuatan yang luar biasa menghancurkan ketika manusia tidak bersahabat dengan lingkungan.

Lagu-lagu dan litani yang dipakai dalam kebaktian tersebut juga mengandung makna penghargaan terhadap segala makhluk yang bernafas dan penghargaan akan keunikan manusia. Lagu yang dinyanyikan pun tidak saja diambil dari buku nyanyian rohani, tapi juga dari populer diantaranya “Lestari Alamku” (Gombloh) dan “Heal The World” (Michael Jackson). Demikian juga lagu dari Ebiet G Ade “Berita Kepada Kawan” kita pakai sebagai background dalam penayangan video yang saya rangkai dari hasil download via internet. Video yang saya rangkai bertemakan tentang keserakahan dan ketidakpedulian manusia terhadap lingkungan dan akhirnya tuaiannya adalah bencara alam dan bencara kemanusiaan. Saya merasakan jemaat sangat antusias dalam mengikuti ibadah Pentakosta kali ini, tidak ada kebosanan dan tetap semangat dengan liturgi kreatif yang saya siapkan. Dan pada akhir ibadah, semangat mereka semakin bertambah, mereka menyanyikan dengan antusias sekali. Lagu dari Michael Jackson mengakhiri ibadah Pentakosta yang penuh dengan semangat curahan Roh Kudus ini, “Heal The World”.

“Luar biasa pak Pendeta, ibadah kali ini memberikan warna baru dalam peribadahan kita”, komentar ibu Nur Ciptaningsih. Dan komentar pak Heru; “wah kalo sering-sering begini (ibdah dengan liturgi kreatif) ibdah di gereja semakin anget dan sumuk”. Dan terlihat memang kursi-kursi di dalam gereja dan tambahan kursi sewaan di luar gedung gereja terisi semua bahkan sampai pada duduk di taman depan gereja. Ada sekitar 450 orang jemaat yang hadir dalam ibadah Pentakosta minggu ini, biasanya kehadiran jemaat dalam ibadah Minggu pagi sekitar 250-300 orang. Dengan perhatian dan tanggapan yang baik dalam ibadah-ibadah kreatif yang akhir-akhir ini diselenggarakan di GKJ Cilacap mendorong majelis dan jemaat untuk semakin bersatu dalam tugas-tugas pelayanan bersama.

Menilik dari sejarah Pentakosta di dalam Perjanjian Lama dan Pentakosta dalam Perjanjian Baru, paling tidak kita bisa belajar tentang dua (2) hal, yaitu;

1. Perayaan Pentakosta dalam Perjanjian Lama berkaitan dengan pesta panen, dimana hasil panen tersebut menjadi sarana bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Manusia bisa berhasil panen kalau kondisi alam dan lingkungan terjaga dengan baik serta dipelihara. Panen akan gagal jikalau manusia tidak bersahabat dengan alam atau bahkan merusak alam ini. Dengan demikian perayaan Pentakosta mengandung arti bahwa umat yang merayakan Pentakosta harus mau memperhatikan dan memelihara alam sebagai penghasil rejeki/makanan bagi manusia. Konsekuensi dari hal itu adalah umat harus mulai menghargai dan memelihara alam lingkungan pemberian Tuhan ini, bahkan umat Tuhan yang merayakan Pentakosta wajib untuk memulihkan alam pemberian Tuhan ini jikalau ditemukan kerusakan di dalamnya.

2. Perayaan Pentakosta dalam Perjanjian Baru berkaitan dengan perayaan perbedaan. Pada peristiwa Pentakosta para rasul mendapat karunia Roh Kudus sehingga mereka mampu berbicara dalam berbagai bahasa (segala bahasa di dunia waktu itu, Kisah Rasul 2:9-11). Hal ini menunjukkan bahwa Allah memperhatikan semua bangsa yang hadir di Yerusalem waktu itu, Allah menghargai dan menerima segala perbedaan yang ada di antara manusia. Lebih dari itu curahan Roh Kudus diberikan kepada segala bangsa yang hadir pada waktu itu. Oleh karena itu, jemaat yang merayakan Pentakosta harus berbuat hal yang sama, yakni merayakan dan menghargai perbedaan yang ada dalam jemaat Tuhan (khususnya di GKJ Cilacap).

Berpijak dari makna diatas (menurut saya) maka perayaan Pentakosta pada hari Minggu 31 Mei 2009 kita memadukan dua (2) makna tersebut dalam liturgi ibadah. Ibadah Pentakosta kali ini diwarnai dengan hal yang terkait dengan lingkungan (ekologi) dan keberagaman (heterogenitas). Semuanya itu akan bermuara pada satu tujuan yang mulia yaitu memulihkan ciptaan Allah melalui keberagaman jemaat yang diikat oleh curahan kuasa Roh Kudus. Selamat Hari Pentakosta. AMIN.


SEKILAS TENTANG PENTAKOSTA

Kata "pentakosta" berasal dari kata Yunani "pentekostes" (yang bersangkutan dengan kata Sansekarta: panca). Kata Yunani itu berarti "yang kelimapuluh", yakni hari yang kelimapuluh. Pentakosta adalah suatu perayaan dari agama Yahudi dahulu (dan sekarang) yang diambil alih (dengan dirubah maknanya) oleh agama kristen. Umat Kristen baru pada pertengahan atau akhir 2 Masehi mulai merayakan Pentakosta sebagai perayaan Kristen. Pesta itu menjadi perayaan peringatan akan turunnya Roh Kudus atas jemaat Kristen di Yerusalem, sebagaimana yang diceritakan Kis 2, pada hari kelimapuluh sesudah Yesus (pada hari Paskah) bangkit dari alam maut.Dalam Perjanjian Lama perayaan Pentakosta disebut "hari raya panen" (Pengk 23:16). Dan inilah nama yang tertua. Kemudian dinamakan "pesta/perayaan pekan-pekan (Pengk 34:22; Im 23:15-17; Ul 16:10; 2Taw 8:13).


A. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama

Dalam Imamat 23:16 "lima puluh hari" mulai dihitung dari persembahan berkas jelai pada permulaan hari raya Paskah. Dimana Paskah dalam PL adalah hari raya untuk memperingati kuasa Tuhan atas pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir.

Pada hari ke-50 setelah Paskah dirayakanlah Hari Pentakosta. Karena 50 hari = 7 minggu, hari itu juga disebut "khag syavu'ot" / Hari Raya Tujuh Minggu (Keluaran 34:22, Ulangan 16:9). Hari Pentakosta tersebut menandakan selesainya menuai jelai yang dihitung mulai dari sejak pertama kalinya menyabit gandum (Ulangan 16:9), dan waktu imam mengunjukkan berkas tuaian itu "pada hari sesudah Sabat itu" (Imamat 23:11). Hari Pentakosta disebut juga "khag haqqatsir" / Hari Raya Menuai dan "yon habbikkurim" / Hari Buah Bungaran (Keluaran 23:16, Bilangan 28:26). Hari Pentakosta tidak hanya dirayakan pada zaman Pentateukh, bahkan hingga zaman Salomo pun Hari Pentakosta masih dirayakan (2 Tawarikh 8:13) sebagai hari raya kedua dari ketiga pesta tahunan (bandingkan Ulangan 16:16). Tiga hari raya besar yang diperingati bangsa Israel adalah: Hari Raya Roti Tidak Beragi (Paskah), Hari Raya Tujuh Minggu (Pentakosta), dan Hari Raya Pondok Daun.

Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama diumumkan sebagai:

1. Hari Pertemuan Kudus (Imamat 23:21)

Pada hari tersebut tidak boleh dilakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus (Imamat 23:21). Pada hari itu dua buah roti bakar, yang dibuat dari tepung halus yang baru dan beragi, diunjukkan oleh imam di hadapan Allah, pada saat imam mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan memperoleh keselamatan (Imamat 23:17-20).

2. Hari Bersukaria (Ulangan 16:15)

Pada hari itu orang Israel saleh mengungkapkan rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia 5:24).


B. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru

Dalam PB, Hari Pentakosta berubah maknanya setelah terjadi peristiwa yang mengherankan, dimana Roh Kudus turun memenuhi para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 2:1-13). Sesudah kebangkitan dan kenaikan Kristus (sekitar tahun 30M), persis pada hari Pentakosta yang diperingati seperti dalam zaman PL, murid-murid berkumpul di sebuah rumah di Yerusalem, dan Roh Kudus turun atas mereka dengan tanda-tanda yang dapat didengar dan dilihat: "tiupan angin keras" dan "lidah-lidah seperti nyala api" (Kisah Rasul 2:2-3). Selanjutnya, para rasul mulai berkata-kata dalam berbagai bahasa asing dari orang-orang yang juga berkumpul di Yerusalem. Sehingga orang banyak yang sedang berkumpul itu dapat mengerti karena para rasul berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kisah Rasul 2:5-13).

Kedatangan Roh Kudus adalah pemenuhan nubuat Yohanes (Lukas 3:15-16) dan janji Yesus Kristus (Lukas 24:49). Petrus menyatakannya sebagai penggenapan nubuat Nabi Yoel (Kisah Rasul 2:16-21) dan suatu bukti dari kebangkitan Kristus sendiri (Kisah Rasul 2:32-36). Ia mempersatukan orang-orang yang percaya menjadi satu kelompok, memberinya suatu pemersatu yang sebelumnya tidak mereka miliki, dan memberi mereka keberanian untuk menghadapi ancaman dan siksaan (Kisah Rasul 2:4,Kisah Rasul 4:8,31, Kisah Rasul 6:8-15). Selanjutnya, peristiwa turunnya Roh Kudus inilah yang diperingati oleh orang-orang Kristen sebagai Hari Pentakosta. Kita juga sering menyebut perayaan Pentakosta sebagai hari Kelahiran Gereja.

22 Mei 2009

Gereja Kristen Jawa Nusakambangan riwayatmu kini.


“ GEREJA KRISTEN J
AWA (GKJ) NUSAKAMBANGAN RIWAYATMU KINI “

Oleh: Pdt. Yosafat AW, S.Si

Sungguh sangat memprihatinkan melihat sebuah gedung gereja yang sama sekali tidak terpelihara. Keprihatinan semakin mendalam ketika kita masuk ke dalam gedung gereja ini, ternyata telah menjadi tempat untuk menumpuk berkakas yang tidak dipakai dan barang rongsok alias beralih fungsi jadi gudang. Ironis sekali, ketika banyak gereja kesulitan mendapatkan ijin beribadah dan mendirikan bangunan justru di “pulau penjara” ini sebuah gedung gereja yang telah puluhan tahun ada dibiarkan “hilang” dari komunitas GKJ dan gereja-gereja di Indonesia. Itulah yang terjadi dengan kondisi gedung gereja eks GKJ Nusakambangan yang dahulu pernah menjadi bagian dari keluarga besar Sinode Gereja-Gereja Kristen Jawa. GKJ Nusakambangan, mau kemanakah engkau?

Nusakambangan atau yang juga dikenal sebagai “pulau penjara” adalah sebuah pulau yang berada di sebelah selatan kota Cilacap, pulau ini masuk dalam wilayah kelurahan tambakreja kecamatan Cilacap Selatan kabupaten Cilacap. Lebar pulau ini antara 6 – 8 km dan panjang pulau ini kurang lebih 30 km membujur dari arah timur ke arah barat. Kondisi alam di Nusakambangan bergunung-gunung dengan hutan tropis yang masih perawan. Tumbuhan dan Satwa liar di Nusakambangan memiliki ciri khas tersendiri disbanding dengan hutan tropis di bagian wilayah Indonesia yang lain. Macan kumbang Nusakambangan dan pohon Plalar menjadi salah ciri khas pulau ini yang juga dilindungi oleh undang-undang.

Semenjak ditetapkan sebagai pulau penjara oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1908, pulau ini menyimpan banyak misteri bagi sebagian besar penduduk di Indonesia. Kesan seram dan sangar disandang oleh pulau ini begitu ditetapkan khusus sebagai tempat pembinaan bagi narapidana kelas berat. Sebagai tempat yang sulit di akses dan “terasing” membuat orang berpikir hal yang terburuk terjadi pada para narapidana di Nusakambangan. Selain kesan seram dan sangar, Nusakambangan juga menimbulkan kekaguman sebagian penduduk Indonesia. Keindahan alam yang masih asli menarik hati orang untuk bisa menikmatinya dari dekat. Ekologi pulau Nusakambangan sangat terjaga berkat ditetapkannya Nusakambangan sebagai pulau yang tertutup bagi masyarakat, sehingga tangan-tangan yang haus “mengubah” pulau ini bisa dieliminir.

Ketika semakin banyak narapidana yang dikirim ke pulau ini, maka kebutuhan pengamanan atas merekapun juga bertambah. Para penjaga dan pembina narapidana (sipir) ditambah untuk memperkuat pengawasan atas narapidana, para sipir penjara ini membawa serta keluarga mereka. Diantara para sipir dan keluarganya tersebut terdapat beberapa jemaat Kristen, karena itu untuk pemeliharaan iman dibangunlah persekutuan yang akhirnya juga didirikan sebuah gedung gereja di pulau Nusakambangan tepatnya terletak di wilayah Candi, Batu – Nusakambangan. Jemaat ini pada mulanya dilayani oleh GKJ Cilacap dan Klasis Banyumas Selatan, namun akhirnya menjadi jemaat yang dewasa dengan nama GKJ Nusakambangan. Setelah menjadi gereja dewasa GKJ Nusakambangan kemudian dilayani oleh Ds. Suparno sebagai pendeta utusan di Klasis banyumas Selatan. Ds. Supano inilah yang selanjutnya melayani jemaat GKJ Nusakambangan yang sebagian besar terdiri dari para sipir penjara beserta keluarganya, termasuk pula para narapidana yang beragama Kristen. Karena pelayanan Ds. Suparno kepada Lembaga Pemasyarakatan (LP) di Nusakambangan, maka masyarakat Cilacap lebih mengenal Ds. Suparno dengan sebutan sebagai “pendeta maling”. GKJ Nusakambangan mencapai puncak pelayanan ketika masa “panen raya” umat Tuhan di Indonesia. Setelah G30S PKI berakhir di Indonesia, ribuan tahanan politik dikirim ke Nusakambangan. Banyak diantara mereka yang masuk menjadi agama Kristen atas dorongan pemerintah waktu itu bahwa setiap penduduk Indonesia harus beragama.

Namun setelah tahanan politik dibebaskan sekitar tahun 1979 LP-LP di Nusakambangan mulai banyak yang kosong. Tahun 1980 an, dari 9 LP yang ada di Nusakambangan 5 diantaranya sudah ditutup sehingga hanya 4 LP yang masih difungsikan. Seiring ditutupnya separuh lebih LP di Nusakambangan maka dengan sendirinya juga ada pengurangan sipir penjara. Hal ini juga berdampak kepada menurunnya anggota jemaat GKJ Nusakambangan yang memang hampir semua adalah sipir penjara. Pada kisaran tahun 1980 an ini juga pelayanan di GKJ Nusakambangan mulai berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali. Hingga kini, GKJ Nusakambangan sudah sekitar 30 tahun “hilang” dari keluarga besar Sinode GKJ. Belum ditemukan data-data historis mengenai kapan “berakhirnya” GKJ Nusakambangan. Saat ini saya masih mencari data-data yang menyangkut keberadaan dan kejelasan status GKJ Nusakambangan. Mungkin Klasis Banyumas Selatan atau mungkin Sinode GKJ bisa menolong untuk melengkapi “pencarian” GKJ Nusakambangan.

Berangkat dari keprihatinan setiap kali saya melakukan pelayanan di LP-LP Nusakambangan, maka saya mengajak dan mendorong jemaat GKJ Cilacap untuk “ngurusi” gedung gereja eks GKJ Nusakambangan. Hingga akhirnya gayung bersambut, dalam rangka kegiatan MPDK II tahun 2009 ini Majelis GKJ Cilacap menyetujui panitia MPDK bersama dengan jemaat mengadakan kerja bakti di gedung gereja tersebut berikut pula mendanai kebutuhan yang diperlukan. Sungguh luar biasa sambutan jemaat untuk turut dalam kegiatan membersihkan “bagian dari Sinode GKJ” tersebut. Ada sekitar 75 orang yang ikut, terdiri dari anak-anak, pemuda dan remaja, warga dewasa dan para warga adiyuswo (nenek yang sudah 75 tahun ikut pula…semangat mbah!).

Setelah kami mengurus perijinan yang diperlukan, pada hari Minggu 17 Mei 2009 jam 09.00 WIB kita bertolak dari dermada Wijayapura Cilacap menuju dermaga Sodong Nusakambangan yang selanjutnya kami menuju lokasi daerah Candi, Batu Nusakambangan. Sesampai di lokasi tidak sedikit yang mengerutkan dahi bahkan ada yang meneteskan air mata karena melihat kondisi fisik gedung gereja eks GKJ Nusakambangan. Mbah Warno (75 th) bergumam: “Dhuh Gusti, nyuwun pangapura…dene padaleman Paduka kados mekaten”. Mungkin mbah Warno merasa sedih dan bersalah sebab mengenang kejayaan GKJ Nusakambangan pada jamannya sangat berbeda dengan apa yang di depan matanya sekarang. Ibu Ari Kustono juga tak tahan berkomentar: “waduh pak, ternyata sangat besar dan megah ya, sayang kalau dibiarkan kaya gini”. Ibu Ari Kustono mungkin punya pikiran dan keinginan untuk mengembalikan kejayaan masa lalu GKJ Nusakambangan seperti nampak pada bangunan yang dilihatnya yang kini sudah tidak terpelihara. Dari dua komentar yang saya rasa juga perasaan dan harapan 75 peserta bahkan mewakili jemaat GKJ Cilacap atau bahkan mungkin Sinode GKJ. Hal itu mendorong kami untuk menata rencana menyangkut “hidupnya” GKJ Nusakambangan ke depan.

Rumput, alang-alang, dan semak belukar yang tingginya mencapai 4 meter sudah mengelilingi dan menutupi sebagian bangunan gedung gereja eks GKJ Nusakambangan tersebut. Terlebih lagi rasa prihatin semakin mendalam ketika kami membuka pintu dan masuk ke dalam gedung gereja. plafon eternity yang jebol menyambut kami, kayu-kayu keropos menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi rayap dan tembok yang sudah terkelupas dan rapuh. Begitu pula tumpukan arsip-arsip usang dari LP Batu Nusakambangan tercecer dari lemari dan berserakan di lantai. Juga barang-barang yang tidak terpakai oleh LP Batu seperti; kayu-kayu bekas usuk dan reng, drum-drum bekas oli, dan barang rongsokan disimpan di dalam gedung gereja ini.

Tidak cukup waktu sehari yang kami luangkan untuk “mempercantik” gedung gereja ini. Sampai akhir kerja bakti kami hanya mampu menyelesaikan 15 % pekerjaan di gedung gereja eks GKJ Nusakambangan ini. Akhirnya pada jam 15.00 WIB kami kembali menyeberang menuju Cilacap dengan perasaan sukacita karna kami bisa memberikan sedikit sentuhan untuk gedung gereja yang terbengkelai ini, namun kami juga pulang masih membawa harapan untuk melanjutkan bakti kami melalui pemeliharaan gedung gereja tersebut.

Berawal dari rasa prihatin yang kemudian kami wujudkan dalam pemeliharaan fisik gedung gereja eks GKJ Nusakambangan ini, maka menyertai pula kerinduan dan keinginan dari saya dan beberapa rekan majelis dan angota jemaat untuk lebih serius “menarik kembali” asset yang sangat berharga ini demi kemajuan pelayanan di GKJ Cilacap khususnya dan Klasis Banyumas Selatan serta Sinode GKJ pada umumnya. Sudah terencana oleh kami langkah-langkah untuk mewujudkan kerinduan tersebut. Beberapa langkah yang sudah kami rencanakan saat ini adalah;

1. Kembali ke Nusakambangan untuk menyelesaikan pembersihan area gedung gereja dengan turut mengajak tenaga professional lapangan. Diantaranya 5 orang dengan pemotong rumput dan alaangh-alang. Menyemprotkan cairan “Roundup” untuk mengatasi tumbuhnya rumput dan alang-alang liar.

2. Bernegosiasi dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan (LP) Batu Nusakambangan (sebagai penanggung jawab bangunan fisik gereja saat ini) dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk mengusahakan agar gedung gereja eks GKJ Nusakambangan tersebut dapat difungsikan kembali sebagaimana adanya sebuah gereja. Termasuk kemungkinan kalau sampai di renovasi apakah boleh dipergunakan oleh jemaat Kristen yang kebetulan mengadakan pelayanan ke LP-LP di Nusakambangan.

3. Menelusur dan mencari sumber-sumber sejarah GKJ Nusakambangan, diantaranya; wawancara dengan para pelaku sejarah GKJ Nusakambangan yang masih tersisa, mencari dokumen-dokumen di Klasis Banyumas Selatan ataupun di Sinode GKJ.

4. Mencari mitra yang peduli dan terpanggil untuk menjadi donator bagi pemeliharaan dan pemulihan kembali “Rumah Tuhan”.

5. Memohon doa dan restu dari Majelis GKJ Cilacap, Bapelklas Banyumas Selatan, dan Sinode GKJ. Jika dirasakan perlu syukur bisa membentuk “Tim Pencari” GKJ Nusakambangan. Begitu pula kami bersyukur kalau kepedulian itu diwujudkan dalam penyediaan dana ataupun sekedar mencarikan mitra yang terpanggil untuk “memelihara” GKJ Nusakambangan tersebut.

Setelah Daud menetap di rumahnya, berkatalah ia kepada nabi Natan: "Lihatlah, aku ini diam dalam rumah dari kayu aras, padahal tabut perjanjian TUHAN itu ada di bawah tenda-tenda."

( 1 Tawarikh 17:1)

Firman Tuhan diatas merupakan ungkapan isi hati Daud setelah memperhatikan bahwa TUHAN tidak punya “tempat tinggal” yang layak. Istana raja yang sangat megah dan mewah sudah selesai dibangun dan ditempati oleh Daud, namun hal itu justru membuat Daud merasa tidak tenang dan tidak nyaman. Ada pikiran dan perasaan yang mengganggu dalam hati Daud. Masakan dirinya tinggal di dalam istana yang sangat megah dan mewah, sedangkan ia membiarkan Tuhan “tinggal” di bawah tenda.

Perasaan yang sama mungkin juga menghinggapi kita saat ini, setelah kita memperhatikan “Rumah Tuhan” di Nusakambangan ini. Adakah kita juga punya kerinduan untuk memberikan hal terbaik dari kita untuk “saudara dan bagian” kita di Nusakambangan ini?

GKJ Nusakambangan, mau kemanakah engkau?

GKJ Nusakambangan, dimanakah “saudaramu” kini?


22 April 2009

HARI BUMI

HARI BUMI - EARTH DAY 2009

Tepat tanggal 22 April 2009 kali ini, kita semua merayakan Hari Bumi. Hari ini, tiga puluh tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 22 April 1970, hari Bumi untuk pertama kalinya diselenggarakan di Amerika Serikat, atas prakarsa seorang senator, Gaylord Nelson. Embrio gagasan Hari Bumi dimulai sejak ia menyampaikan pidatonya di Seattle tahun 1969, tentang desakan untuk memasukkan isu-isu kontroversial, dalam hal ini lingkungan hidup, dalam kurikulum resmi perguruan tinggi mengikuti model teach in mengenai masalah anti perang. Gagasan Nelson mendapat dukungan yang mencengangkan dari masyarakat sipil.

Hari Bumi yang pertama ini di Amerika Serikat merupakan klimaks perjuangan gerakan lingkungan hidup tahun 60-an untuk mendesak masuk isu lingkungan sebagai agenda tetap nasional. Kini peringatan Hari Bumi telah menjadi sebuah peristiwa global. Para pelaksana peringatan HARI BUMI menyatukan diri dalam jaringan global masyarakat sipil untuk Hari Bumi yakni EARTH DAY NETWORK yang berpusat di Seattle. Bila Hari Bumi ‘70 pertama paling tidak melibatkan 20 juta manusia di AS, Hari Bumi 1990 melibatkan 200 juta manusia di seluruh dunia, maka pada Hari Bumi 2000 diperkirakan terlibat 500 juta manusia di seluruh dunia dengan jargon “making history - making change”.

So..bagi kita apa makna Hari Bumi? Saya yakin deh...kalo kita-kita ini tidak begitu paham dengan hari yang kedengaran asing ini. Hari Bumi, ya itu kata yang masih asing di telinga kita. Tapi ya...sebetulnya kalo kita tidak mau tahu dan mengabaikan bumi ini berarti kita telah mengabaikan juga perintah Tuhan loh!! Ah masa sih...(mungkin pikir kalian begitu ya). Tapi mari kita lihat aja di kitab Kejadian 1 dan 2, sebelum Tuhan menciptakan manusia (kita-kita ini loh...), Tuhan terlebih dahulu menciptakan alam semesta beserta isinya dan Tuhan mengatakan "sungguh amat baik". Tuhan ungkapkan kesenangan dan pujian itu, so..sekarang pa yang ada di benak kita tentang bumi, telah kita apakan "ibu pertiwi" yang dipuji Tuhan ini? Kita remehkankah? Kita perdayakah? Kita sakitikah? or kita hancurkan? Nah lo...

Banyak orang mungkin berkata, "Alam semesta (bumi) diciptakan Tuhan kan dengan maksud untuk menjadi kesejahteraan manusia, jadi ya wajar toh kalo eksploitasi". Memang sih pendapat itu nggak salah, tapi lihat aja sekarang...alam sepertinya memusuh i manusia. Lihat saja banjir...kekeringan...longsor...angin ribut...semua itu menjadikan manusia gentar...takut! Tapi coba kita renungkan, apakah "seorang ibu" (bumi) punya niat untuk membinasakan anak-anaknya (manusia)? Seorang ibu (yang normal tentunya) tidak akan menghancurkan dan membinasakan anak-anaknya, tapi sebaliknya dia akan memberikan perlindungan dan penghidupan. Ternyata "keganasan" ibu pertiwi sering disebabkan oleh ulah anak-anak manusia yang tidak tahu diri, tidak menyadari bahwa bumi ini telah memberikan kehidupan dan kenyamanan kepada kita.

Sebab itu guys...mari kita sadari dan kita sadarkan orang lain untuk perhatikan bumi kita ini sebagai bagian yang integral dengan kita...sebagai saudari kita!. Bumi yang didalamnya kita juga bisa temukan 4 unsur penting yang menopang hidup manusia (air, tanah, api, udara) mari kita jaga jangan sampai cepat rusak yang akhirnya juga akan merusak dan menghancurkan kita. Karena itu mari kita budayakan hidup bersih dan ramah lingkungan. Kurangi hobi dan aktifitas yang memicu meningkatnya gas-gas rumah kaca, kita ganti dengan hobi dan aktifitas ramah lingkungan...hijaukan bumi...tanam lebih banyak pohon!!!

"Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu"(Kejadian 2:15). Rasanya teks tersebut harus kita gaungkan kemana dan dimana saja kita berada. Kita sadarkan saudara-saudara kita, bahwa kita punya tugas untuk menjaga keseimbangan ekologi. Tuhan memberikan tempat yang indah bagi kita untuk dapat menikmati kehidupan di bumi ini, kita ini diperbolehkan untuk mengusahakan (mengeksploitasi) bumi bagi kesejahteraan manusia...tapi jangan lupa...kita juga ditugasi untuk memeliharanya.


Nah sekarang...kalo kita ini ingin menjadi orang yang berbahagia maka lakukanlah apa yang kita dengar dari Tuhan. Usahakanlah dan Peliharalah bumi...selamat Hari Bumi. Tuhan memberkati segala makhluk....Amin. (yaw).

17 April 2009

KLENTENG

Tuh lihat....istri dan anakku, Michael, sedang di depan klenteng Tien Kok Sie di Jalan RE Martadinata Solo, tepatnya di sebelah selatan Pasar Gede, tempat ibadah bagi umat Tri Dharma (Budhisme, Taoisme dan Kong Hu Cu), dengan bentuk bangunannya yang khas. Klenteng yang persisnya terletak di Jalan RE Martadinata No 12 Solo ini ternyata sudah berdiri 263 tahun yang lalu lho...tepatnya pada tahun 1745. Klenteng yang dikenal dengan nama Klenteng Tien Kok Sie ini juga dikenal sebagai Avalokitheswara, tempat ibadah umat Tri Dharma. Bangunan Kelenteng Tien Kok Sie kental dengan arsitektur Tiongkok. Nilai sejarah kelenteng itu membuat banyak pengunjung dari luar Jawa yang singgah untuk berdoa. Bahkan waktu aku berkunjung ke klenteng itu ada beberapa orang muslim berdoa disana. ketika saya tanya pada pengurus klenteng, dia mangatakan pada saya: "Memang di klenteng ini banyak umat agama lain yang berdoa , mas juga boleh kok kalo mau berdoa disini". Wah menarik juga, tapi aku belum sejahtera untuk melakukannya. Jadi aku minta ijin untuk foto-foto aja.

Tentang asal-usul istilah klenteng tidak ada catatan resmi bagaimana istilah "Klenteng" ini muncul, tetapi yang pasti istilah ini hanya terdapat di Indonesia karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia. Sampai saat ini, yang lebih dipercaya sebagai asal mula kata Klenteng adalah bunyi teng-teng-teng dari lonceng di dalam klenteng sebagai bagian ritual ibadah.

Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Cina.

Pada mulanya "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abu). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abu. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abu leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.

Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal. Saat ini Miao (Klenteng) bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama, termasuk bagi umat yang beragama lain. Wah...wah...sangat ideal ya...tuk tumbuhkan rasa persaudaraan and persatuan. Ngomong-omong...gereja bisa nggak ya jadi lebih terbuka kayak klenteng? Pendapatmu gimana hayoo.....?