BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

25 April 2013

Leksionari: Memmbaca Alkitab dengan Hati


LEKSIONARI:
Membaca Alkitab dengan Hati

Selama ini orang menganggap khotbah sebagai “mahkota” ibadah. Dampaknya, yang kerap kemudian dilupakan dan diabaikan adalah pembacaan Alkitab. Padahal pembacaan Alkitab adalah dasar dari khotbah dan bukan sebaliknya. Pembacaan Alkitab yang menggunakan metode leksionari bertujuan menyadarkan jemaat, bahwa Alkitab adalah bagian terpenting dalam praktek liturgis kita. Yang dimaksud dengan Lektionari (lectionary, lectionarium) adalah Daftar Bacaan Alkitab.
BERMULA DARI IBADAH YAHUDI
Kekristenan tidak bisa terlepas dari keyahudian. Unsur-unsur keyahudian mewarnai tidak hanya pada Kitab Suci kita tetapi juga pada aspek liturgis/tata ibadah. Pengenalan akan liturgi dalam ibadah Yahudi menjadi penting dalam memahami posisi pembacaan Alkitab.   
Pola ibadah Sinagoge pada awalnya berlangsung sebagai berikut:
  1. Pendarasan Mazmur
  2. Pembacaan shema (dengarlah), yaitu pengakuan iman Israel sebagaimana yang tertulis dalam Ulangan 6:4-9; 11:13-21 dan Bilangan 15:37-41.
  3. Doa yang disebut syemoneh ‘ezreh (delapan belas ucapan berkat).
  4. Pembacaan Taurat (sedarim) dengan mengikuti jadwal (siklus, lectio) tertentu. Setidaknya ada dua siklus: Siklus Babilonia yang membuat seluruh Taurat selesai dibaca dalam satu tahun, dan Siklus Palestina di mana seluruh Taurat selesai dibaca dalam tiga tahun.
  5. Pembacaan kitab Para Nabi (haptaroth) yang diikuti–sekalipun tidak mutlak–dengan penjelasan atasnya. Pemilihan kitab Para Nabi tidak ditentukan seperti jadwal pembacaan Kitab Taurat.
  6. Pengucapan berkat sebagai penutup ibadah.
Pembacaan kitab-kitab itu dilakukan secara bergantian oleh ”awam”. Pada umumnya dilakukan oleh 10 orang laki-laki berusia 13 tahun ke atas yang disebut Minyan. Ibadah Sinagoge dapat disebut tipe ibadah ”awam.” Sebab dalam ibadah itu, jemaat tidak hanya pasif mendengarkan pembacaan kitab, melainkan diberi kesempatan untuk turut serta menyampaikan pemahamannya atas teks yang dibaca tersebut (seperti PA).
PENGGUNAAN LEKSIONARI DALAM KEHIDUPAN GEREJA
Praktek ibadah gereja kemudian melanjutkan pola ibadah Yahudi dengan penyesuaian-penyesuaian. Pembacaan Alkitab sebagai dasar ibadah terus dilanjutkan dengan perubahan susunan. Susunan yang mulai baku dalam ibadah Yahudi diubah menjadi seperti berikut:
 
Leksionari Gereja
Leksionari Yahudi
1. Perjanjian Lama
1. Sedarim (Taurat)
2. Surat Rasuli

3. Mazmur
2. Mazmur
4. Injil
3. Haphtaroth (Kitab Para Nabi)
Pola semacam ini menempatkan Injil sebagai bacaan yang termulia. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan perbedaannya dengan ibadah Yahudi. Pembacaan lainnya disusun sedemikian rupa sehingga menopang, memerkuat, memerlengkapi, bahkan bergantung pada Injil yang dibacakan (itulah sebabnya Injil dibacakan oleh klerus/imam).
Konsili Vatikan II (1962 – 1965), melakukan revisi terhadap leksionari, menghasilkan Ordo Lectionum Missae (OLM, 25 Mei 1969). Gereja berbahasa Inggris menggunakan OLM sebagai dasar ibadah Minggu. Atas dorongan dari Gerakan Oikumene dan ketidakpuasan terhadap OLM, Gereja-gereja Barat Non Katolik membentuk komisi revisi leksionari, menghasilkan The Lectionary yang dipergunakan oleh Gereja-gereja Anglikan, Lutheran, dan Presbyterian. Dalam perkembangannya, revisi leksionari yang dilakukan Gereja Barat Non Katolik menghasilkan Common Lectionary (CL) pada tahun 1982. CL digunakan secara oikumenis oleh berbagai aliran gereja, seperti: Gereja Anglikan dengan Book of Common Prayer, Gereja Lutheran dengan Book of Worship, Gereja Presbyterian dengan Worshipbook.

Tahun 2000, PGI menggunakan CL sebagai dasar penyusunan Buku Almanak (Agenda) Kristen Indonesia. Seiring dengan mulai dilakukan pembacaan Alkitab secara tematis di lingkungan GKJ, publikasi PGI ini mendorong GKJ untuk mulai menata pembacaan Alkitab dalam ibadah secara bersama dan berpola. Sementara itu, sejak tahun 1992 sebenarnya CL direvisi dan menghasilkan Revised Common Lectionary (RCL), yang secara berangsur-angsur RCL digunakan sebagai Daftar Bacaan Alkitab terbaru di kalangan Gereja Protestan. RCL ini kemudian dipakai oleh GKJ sebagai Daftar Bacaan Alkitab dalam Ibadah Minggu (Khotbah Jangkep).

LEKTOR: MEMBACA DENGAN HATI
Pembaca bacaan Alkitab disebut sebagai Lektor. Lektor sangat perlu untuk  mempersiapkan diri dengan baik. Menurut salah seorang bapa Gereja kita, Agustinus, pembacaan Alkitab sebagai sacramentum audible (sakramen yang dapat terdengar) dan sacramentum verbum visibile (sabda yang dapat terlihat). Jadi seorang Lektor adalah juga pelaksana sakramen kudus! Lektor diharapkan mampu membaca Alkitab dengan hati, bacaannya mampu menggerakkan orang lain untuk semakin menghayati cinta kasih Allah. Darmawidjaya, seorang ahli Alkitab gereja Katholik memberikan 4 metode membaca Alkitab;
1.      Pembacaan biasa, pembacaan yang berangkat dari keinginan untuk tahu atau untuk belajar.
2.      Pembacaan merenung, pembacaan yang berangkat dari pengertian, bacaan telah didalami dan diamini.
3.      Pembacaan berdoa, pembacaan bertujuan menyapa, menggerakkan, membahagiakan, menarik hati para pendengarnya.
4.      Pembacaan cinta, membaca dengan gairah cinta kasih (passion).

LEKSIONARI: MEMBANGUN JEMAAT MENCINTAI ALKITAB
Penggunaan pola ibadah dengan bacaan leksinari pada prinsipnya bertujuan untuk membangun jemaat supaya semakin mencintai Alkitab sebagai Firman Tuhan dengan cara yang baru. Dengan cara itu hendak dicapai maksud;
           1. Anggota jemaat berperan serta secara aktif dalam pembacaan Alkitab dalam ibadah.
  1. Anggota jemaat diajak mempersiapkan kebaktian dan pemahaman terhadap Firman Tuhan dengan  terlebih dahulu membaca Firman Tuhan dari keempat bacaan yang tersedia.
  2. Anggota jemaat diajak untuk mampu melihat hubungan suatu teks dengan teks lain, dan pada pihak lain anggota jemaat juga diajak bersikap jeli dan kritis untuk melihat perbedaan-perbedaan teologis yang dikemukakan oleh keempat bacaan leksionari tersebut.
  3. Anggota jemaat makin terlatih untuk menyikapi suatu khotbah yang bermutu dan sungguh-sungguh dipersiapkan secara matang, serta mampu disampaikan secara etis, relevan dan bertanggungjawab.
  4. Anggota jemaat terdorong untuk membaca Alkitab secara berkesinambungan melalui pembacaan Alkitab secara leksionaris setiap hari (daily readings), sehinggga mereka makin menyerap nilai-nilai firman Tuhan dalam kehidupan dan pergumulan mereka.
 PEMBACAAN LEKSIONARI DI GKJ
Tahun 2009 Sinode GKJ mulai memakai leksionari untuk menyusun khotbah jangkep dan Gereja-gereja menanggapi dengan beragam; ada yang menggunakan langsung dalam palayanan ibadah, ada yang masih menimbang-nimbang hal baru tersebut, ada pula yang tidak mau menggunakan dengan alasan; sulit untuk mengkaitkan teks-teks bacaan, ibadah menjadi lama, tidak ada panduan praktis dari sinode, menyerupai katholik, dll.

PEMBACAAN LEKSIONARI DI GKJ CILACAP
Sejak April 2010, Majelis GKJ Cilacap memutuskan untuk memulai menggunakan pola ibadah dengan pembacaan Alkitab Leksionaris. Keputusan pemnggunaan tata ibadah leksionaris didasari semangat kebersamaan dengan gereja-gereja di Sinode GKJ maupun dengan gereja-gereja anggota PGI dan bahkan gereja-gereja dunia (WCC). Selain demi kebersamaan gereja, juga tujuan dasar  mengajak seluruh jemaat GKJ Cilacap untuk mencintai Alkitab dengan seutuhnya. Keputusan penggunaan pola ibadah leksionaris ini tentu masih sangat minim pengalaman, karena itu masih sangat terbuka kemungkinan untuk menjadikan ibadah kita kepada Tuhan menjadi semakin baik.

KESAN DAN PESAN MEMBANGUN
Kurang lebih 4 (empat) bulan kita sudah mencoba untuk menggunakan pola ibadah baru, yakni pola ibadah leksionari. Tentu banyak hal berbeda dalam menanggapi hal baru ini, tidak perlu mencari kesalahan pihak lain dan hanya berpegang pada kebenaran sendiri. Dalam keberbedaan kita justru dibangun dan diperkaya. Oleh karena itu, segala kesan dan pesan membangun dari jemaat GKJ Cilacap akan diterima sebagai bahan pertimbangan agar supaya ibadah kita, khususnya ibadah leksionaris, semakin mendekatkan kita kepada Allah dan mengerti kehendaknya. Terima kasih masukannya. GBU.

Pentakosta: Hari Pengucapan Syukur


PENTAKOSTA:
Hari Pengucapan Syukur “
Oleh: Pdt. Yosafat AW, S.Si, M.Min

I.    MENILIK PENTAKOSTA GKJ CILACAP
Hari raya gerejawi sudah barang tentu disambut dan dirayakan dengan penuh sukacita. Pun dengan Pentakosta, salah satu hari raya gerejawi yang dirayakan setelah Paskah dan Kenaikan Yesus. Pentakosta dalam tradisi GKJ sering disebut sebagai hari raya Undhuh-undhuh, hal itu didasarkan pada Pentakosta Yahudi sebagai hari raya Panen. Pada hari Pentakosta jemaat mempersembahkan hasil bumi, peternakan, dll.
Hal semacam itu rupanya juga merambah dalam kehidupan jemaat GKJ Cilacap, meski hampir tidak ada jemaat yang berkerja sebagai petani atau peternak. Namun karena semangat kreatifitas dalam menyelenggarakan tradisi undhuh-undhuh maka jemaat berduyun-duyun mencari ataupun membeli hasil bumi dan ternak dari para pedagang yang kemudian dipersembahkan ke gereja. Persembahan hasil bumi maupun ternak (membeli dari pedagang) terkumpul melimpah sehingga muncul pertanyaan bagaimana majelis menggunakan persembahan tersebut untuk mendukung operasional gereja?
Lelang, menjadi pilihan untuk menghabiskan dan “mengubah” bentuk persembahan hasil bumi supaya praktis digunakan. Cara lelang pada masanya juga menimbulkan tanggapan sinis sebagian jemaat; “Persembahan kok jadi ajang pamer, yang punya uang saja yang bisa persembahan”. Tanggapan tersebut direspon dengan mencari bentuk lain supaya bisa melibatkan sebanyak-banyaknya jemaat untuk dapat berpartisipasi dalam persembahan undhuh-undhuh. Koin menjadi pilihan lain untuk melibatkan sebanyak mungkin jemaat. Koin dengan nilai Rp.2000 dan Rp.5000 “dijual” melalui blok-blok untuk ditukar dengan makanan pada saat Pentakosta atau Undhuh-undhuh. Ternyata sitem kin-pun tidak kalah seru mendapat tanggapan sinis; “Aku sudah beli banyak koin kok tidak dapat makanan, percuma membeli koin” ada pula yang protes “Koin tahun lalu kok muncul di tahun ini, bagaimana ini panitia?”
Hari Raya yang seharusnya menumbuhkan semangat persaudaraan dan sukacita justru berubah menjadi hari yang mengecewakan dan penuh amarah, apakah ini menjadi tujuan kita merayakannya? Tentu bukan itu tujuan kita merayakannya, namun hal diatas adalah realita, kenyataan yang terjadi di jemaat kita. Ketika mau mengucap syukur didahului “dredah” apakah membuat sejahtera kehidupan bersama? Oleh sebab itu marilah kita mencari suatu bentuk yang tepat dalam kita merayakan Pentakosta supaya kita dijauhkan dari sikap nggrundhel dan tidak damai.

II.    MENILIK SEKELUMIT SEJARAH PENTAKOSTA
Kata "pentakosta" berasal dari kata Yunani “pentekostes" (yang bersangkutan dengan kata Sansekarta: panca). Kata Yunani itu berarti "yang kelimapuluh", yakni hari yang kelimapuluh. Pentakosta adalah suatu perayaan dari agama Yahudi dahulu (dan sekarang) yang diambil alih (dengan dirubah maknanya) oleh agama kristen. Umat Kristen baru pada pertengahan atau akhir 2 Masehi mulai merayakan Pentakosta sebagai perayaan Kristen. Pesta itu menjadi perayaan peringatan akan turunnya Roh Kudus atas jemaat Kristen di Yerusalem, sebagaimana yang diceritakan Kis 2, pada hari kelimapuluh sesudah Yesus (pada hari Paskah) bangkit dari alam maut. Dalam Perjanjian Lama perayaan Pentakosta disebut "hari raya panen" (Pengk 23:16). Kemudian dinamakan "pesta/perayaan pekan-pekan (Kel. 34:22; Im 23:15-17; Ul 16:10; 2Taw 8:13).

A. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama
Dalam Imamat 23:16 "lima puluh hari" mulai dihitung dari persembahan berkas jelai pada permulaan hari raya Paskah. Dimana Paskah dalam PL adalah hari raya untuk memperingati kuasa Tuhan atas pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama diumumkan sebagai:
1.      Hari Pertemuan Kudus (Imamat 23:21)
      Pada hari tersebut tidak boleh dilakukan pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus (Imamat 23:21). Pada saat imam mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan memperoleh keselamatan (Imamat 23:17-20).
  
2.      Hari Bersukaria (Ulangan 16:15)
      Pada hari itu orang Israel saleh mengungkapkan rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia 5:24).
        Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa hari raya Pentakosta dalam tradisi Perjanjian Lama adalah hari dimana seluruh umat Israel mengucap syukur atas berkat Tuhan yang dilimpahkan kepada umat melalui pekerjaannya (hasil pertanian & ternak).

B. Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, Hari Pentakosta berubah maknanya setelah terjadi peristiwa yang mengherankan, dimana Roh Kudus turun memenuhi para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 2:1-13).
Sesudah kebangkitan dan kenaikan Kristus (sekitar tahun 30M), persis pada hari Pentakosta yang diperingati seperti dalam zaman PL, murid-murid berkumpul di sebuah rumah di Yerusalem, dan Roh Kudus turun atas mereka Selanjutnya, para rasul mulai berkata-kata dalam berbagai bahasa asing dari orang-orang yang juga berkumpul di Yerusalem. Sehingga orang banyak yang sedang berkumpul itu dapat mengerti karena para rasul berbicara dalam bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kisah Rasul 2:5-13).

III.    MEMAKNAI PENTAKOSTA DI GKJ CILACAP
Ada rentang waktu yang sangat jauh antara Pentakosta mula-mula dengan Pentakosta saat ini, tentu banyak perubahan dan kita bisa menggali makna lebih dalam serta mewujudkan sesuai konteks jemaat.

A.     Konteks Jemaat
Kota Cilacap, oleh pemerintah maupun Sinode GKJ, dipetakan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Komposisi jemaat GKJ Cilacap tidak jauh dari pemetaan tersebut. Sebagian besar jemaat GKJ Cilacap berprofesi sebagai karyawan perusahaan/industri dan sebagian lainnya bekerja dalam bidang jasa (guru, kontrakstor, wirausaha,dll). Dalam konteks inilah jemaat tumbuh dan berkembang bersama dalam keluarga besar GKJ Cilacap. Jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris, tidak bekerja sebagai petani dan peternak.

B.     Program Pelayanan
Pentakosta selama ini oleh Majelis dan jemaat dijadikan sebagai kesempatan untuk lebih menggumuli makna  persembahan sebagai ungkapan syukur, hingga berbagai teknis persembahan ditempuh guna mencapai tujuan tersebut. Mulai dari persembahan natura/hasil bumi dan ternak yang kemudian dilelang, dengan koin penukar sampai dengan cara umum yaitu membagikan amplop khusus.
Teknis persembahan pada saat Pentakosta atau Undhuh-undhuh ditujukan untuk mengumpulkan persembahan semaksimal mungkin. Apakah tujuan dan target itu tercapai, tentu bergantung bagaimana cara pandang kita. Namun paling tidak untuk mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak dapat diukur dari jumlah persembahan yang terkumpul. Persembahan jemaat merupakan sumber utama untuk menopang segala kebutuhan gereja bagi pelayanan bersama.
 Saat ini program pelayanan GKJ Cilacap sedang berlangsung dan membutuhkan dukungan dana dari seluruh jemaat. Mengingat akan kebutuhan dalam pelayanan, apakah dimungkinkan jika Pentakosta tahun ini kita jadikan sebagai kesempatan untuk mengucap syukur secara lebih maksimal dibanding dengan waktu-waktu sebelumnya?

C.     Memaknai Pentakosta di GKJ Cilacap: Sebuah Usulan
Memperhatikan perayaan Pentakosta di GKJ Cilacap yang selama ini dilakukan, kita dapat memperhatikan beberapa hal;
1.   Perayaan Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap, secara umum, sudah berjalan cukup baik.
2.   Tujuan dan target diadakannya perayaan Pentakosta selama ini masih dapat dimaksimalkan.
3.   Adanya persoalan yang mengarah pada perselisihan terkait dengan lelang dan bazaar, koin penukar, maupun persembahan yang didapat dari pembelian kepada pedagang (parcel buah & makanan). Hal-hal tersebut agak mengganggu suasana sukacita hari raya.
Dari pokok-pokok perhatian diatas rasanya kita perlu untuk memikirkan cara atau teknis yang diharapkan dapat mengatasi persoalan yang muncul.


Dengan semangat tersebut kita mencoba menuangkan beberapa pikiran yang mungkin bisa kita sepakati menjadi model atau cara yang lebih tepat dan sesuai konteks bagi jemaat GKJ Cilacap untuk merayakan Pentakosta. Beberapa pemikiran sebagai usul diantaranya;
1.      Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur.
Mengingat Pentakosta adalah sebagai masa akhir Paskah, hari bahagia karena kebangkitan Yesus Kristus, maka kita jadikan Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur kepada Tuhan atas segala berkat yang telah dilimpahkan kepada kita. Di hari Pentakosta/undhuh-undhuh kita mengungkapkan betapa kita mengucapkan syukur atas pengorbanan Tuhan Yesus yang telah menebus dosa-dosa kita, bahkan bukan hanya itu saja kita mengucap syukur atas berkat jasmani maupun rohani yang telah diberikan kepada kita.

2.      Pentakosta sebagai Hari Memberikan yang Asli.
Memperhatikan bahwa jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris maka ada baiknya jika kita mengkaji ulang pengucapan syukur dalam bentuk natura/hasil bumi, apalagi jika didapat dari membeli kepada pedagang. Mungkin kita perlu mendalami apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam 2 Kor. 8:12 “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima, kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa yang tidak ada padamu”. Berdasarkan Firman tersebut kita diingatkan untuk memberikan berdasarkan yang ada pada kita, bukan berdasarkan apa yang tidak ada pada kita.
Konteks jemaat GKJ Cilacap adalah sebagai karyawan maupun penyedia jasa sehingga bukan suatu keharusan mempersembahkan hasil bumi/natura. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa hasil bumi/natura tetap menjadi persembahan karena memang memiliki kebun atau sawah. Pentakosta sebagai hari untuk memberikan yang asli/otentik  yang ada pada kita. Misalnya, jika kita sebagai karyawan, pegawai, atau wirasawasta  maka yang asli/otentik dari kita adalah materi/uang. Jika ada jemaat berprofesi sebagai petani atau nelayan maka pemberian yang otentik tentulah hasil bumi atau ikan laut, dsb.

 3.      Pentakosta sebagai Hari Memberi dengan Patut/Pantas
Jika kita ditanya: “Apakah persembahan syukur kita sudah patut atau pantas selama ini?” Tentu yang mampu menjawab dengan tepat dan benar adalah diri kita sendiri, sesuai pemahaman masing-masing tentang apa itu persembahan syukur. Ada satu ayat yang bisa menolong kita untuk menjawab pertanyaan diatas. Ulangan 16:16b – 17; “Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan tangan hampa, tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu."  Mungkin bagi beberapa orang Firman ini ditanggapi dengan sinis, karena terkait pengalaman pribadi mereka, namun mau tidak mau itu adalah Firman Allah. Bukan perkataan manusia ataupun melekat pada sosok pribadi tertentu. Firman tersebut mengingatkan dan mengajarkan kepada kita bahwa;
Pertama, persembahan atau ucapan syukur adalah suatu hal yang perlu dipersiapkan sejak sebelum menghadap Tuhan/beribadah. Sering terjadi bahwa kita mencari-cari pecahan uang terkecil dalam dompet untuk dipersembahkan dalam ibadah atau PA, hal tersebut menjadi salah satu indikasi/tanda yang menunjukkan ketidaksiapan kita menghadap hadirat Tuhan. Kesungguhan dalam mempersiapkan dapat ditempuh dengan cara mengalokasikan (menyisihkan/dipething) persembahan sebagai anggaran pengeluaran pribadi/rumah tangga. Dengan cara tersebut akan menjadikan kita lebih siap dalam mengucap syukur kapanpun.
Kedua, persembahan hendaknya sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepada kita. Seberapa persembahan syukur kita dikatakan sesuai, sedikit atau banyak? Sedikit atau banyak jumlah angka persembahan tentu bukanlah ukuran kepatutan/kepantasan. Kita tentu sepakat bahwa ukurannya adalah memakai ukuran kita masing-masing, sebab masing-masing kitalah yang bisa mengukur dan merasakan berkat Tuhan secara pribadi. Mungkin muncul pertanyaan; “Apakah Alkitab memberikan ukuran kepatutan/kepantasan dalam hal persembahan?”.
      Jika pertanyaan itu sangat dinantikan jawabnya, secara umum kita bisa merujuk pada ukuran kepatutan/kepantasan yang umum digunakan dalam tradisi Perjanjian lama dan Perjanjian Baru.   
       Ukuran kepatutan/kepantasan persembahan dalam tradisi PL adalah persembahan persepuluhan. Persepuluhan dapat dipahami  sebagai ukuran minimal kepatutan persembahan kepada Tuhan. Imamat 27:30 “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.” Dan Maleakhi 3:10 “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”.
      Kedua Firman tersebut mengingatkan bahwa segala hasil/pendapatan/income yang kita terima sepersepuluhnya (10%) adalah milik Tuhan sebagai persembahan. Bahkan Tuhan Allah menantang kita; “ujilah Aku”, bahwa Ia akan mencurahkan berkat kepada setiap orang yang datang dengan persembahan perpuluhan.
      Adapun ukuran kepatutan/kepantasan dalam PB adalah “seluruh tubuh”, semuanya, menyeluruh, totalitas. Roma 12:1: “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati”. Lukas 21:3-4;  “Lalu Ia berkata: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya."
      Kedua Firman tersebut mengajarkan nahwa kepatutan/kepantasan tidak hanya sepersepuluh dari milik kita tetapi 100%. Hal tersebut tentu tidak hanya dipahami secara lahiriah bahwa seluruh milik kita harus kita jual dan dipersembahkan, tetapi lebih kepada pemahaman memberi dengan iklas, lahir batin, jasmani rohani iklas.
Pentakosta tahun ini mari kita jadikan moment/kesempatan bagi kita masing-masing secara jujur dan sungguh-sungguh mengukur kepatutan/kepantasan persembahan syukur kita atas berkat-berkat yang telah Tuhan berikan kepada kita.

IV.     PEMBUKA DISKUSI: SEBAGAI PENUTUP
1.      Bagaimanakah pengalaman saudara menghayati Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap?
2.      Bagaimanakah tanggapan saudara terhadap tiga (3) pemikiran tentang usulan pemaknaan Pentakosta? (yaw-20.04.12)