Pdt. Y. SUKARDI DI MATAKU
Pdt. Yosafat AW, S.Si
Pak Kardi, begitu saya memanggil Pendeta Yohanes Sukardi dalam pergaulan sehari-hari di klasis Banyumas Selatan. Memperhatikan sosok Pendeta Sukardi kita menemukan sosok pendeta dengan tubuh yang…maaf…tidak begitu tinggi namun memiliki kondisi fisik yang sehat, tambun namun gempal, padat dan berisi. Dengan fisik yang seperti itu hampir tidak pernah saya dengar kalau pak Kardi sakit atau terganggu kesehatannya. Tentu hal itu tidak lepas dari usaha keras dan hati-hati pak Kardi dalam menjaga stamina tubuh supaya tidak drop. Pikir saya, akan kerepotan jikalau pak Kardi jatuh sakit, sebab siapa yang akan mendampingi secara intensif Pendeta yang tetap setia hidup tanpa pendamping selama belasan tahun setelah Tuhan memanggil istri tercintanya. Keadaan yang demikian semakin membuat saya kagum dengan sosok pak Kardi, dalam pelayanan kepada Tuhan di jemaat GKJ Adireja selama belasan tahun tanpa didampingi seseorang yang mungkin bisa diajak berbagi beban. Begitupun perannya sebagai ayah sekaligus ibu bagi ke-3 buah hatinya (Andra-Ana-Aning), suatu pekerjaan yang tidak ringan tetapi itu semua mampu dilakukan oleh pak Kardi dengan kuat, sekuat tubuhnya yang padat dan gempal. Terlepas dari itu semua saya meyakini bahwa Roh Allah turut campur dalam seluruh perjalanan hidup yang dipilih oleh pak Kardi sebagai “single parent” bagi ketiga anaknya maupun bagi jemaat GKJ Adireja.
Dalam kebersamaan di Klasis Banyumas Selatan, bagi saya, pak Kardi bukanlah tipe pendeta yang “jaim” (jaga image), sederhana dan apa adanya, itu yang terekam dalam benak saya. Tidak ada yang berlebihan dari sosok pak Pendeta yang suka naik bus ini, dari tutur kata maupun dari tingkah lakunya menyiratkan sosok pribadi pendeta yang betul-betul “menep”. Pribadi yang demikian semakin menambah kenyamanan ketika seseorang berkomunikasi dengannya, tidak ada ambisi untuk dihormati sebagai Pendeta senior. Hal sebaliknya, pak Kardi selalu berusaha membangkitkan kepercayaan diri para pendeta muda untuk memiliki keberanian mengeluarkan pendapatnya. Panggilan yang sering diucapkan oleh pak Kardi: “Pak Pendhito…”, bagi saya ini sapaan untuk mendorong rasa percaya diri para pendeta muda yang masih diliputi pergumulan dan pertanyaan: ”aku bisa dadi pendhito ora to?”.
Keluwesan pak Kardi juga Nampak dalam menyelesaikan konflik atapun selisih paham dalam pergaulan di klasis Banyumas Selatan, selalu berusaha menempatkan diri di tengah sebagai usaha untuk menjembatani dua pihak yang bersitegang. Proporsional dalam menyelesaikan masalah dengan mendengar dari pihak-pihak terkait. Tapi terkadang pak Pendeta ini juga bisa keluar “siungnya” jika ada hal-hal prinsip dilanggar. Pribadi pak Pendeta yang supel bergaul dengan semua golongan ini menjadikannya sebagai seorang pendeta yang “jago” dalam membangun relasi dan jejaring. Sebagian besar teman-teman di Klasis Banyumas Selatan mengakui pak Pendeta Sukardi sebagai pribadi yang pandai mencari dana bagi pengembangan jemaat ataupun yayasan pendidikan. Sikap supel, rendah hati dan sederhana membuat pak Kardi dipercaya di dalam pendistribusian bantuan bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Rasanya terlalu dilebih-lebihkan kalau mata saya hanya memandang pak Pendhito Kardi dari sisi yang membuat kita mengacungi jempol. Agar pandangan mata saya tidak dikatakan “abnormal” karena hanya melihat kelebihan pak Kardi saja, maka saya juga sampaikan kekurangan pak Kardi yang tertangkap oleh pandangan mata saya dan terekam secara dominan dalam benak saya.
Saya mengakui kelebihan-kelebihan pak Kardi sebagaimana saya sebutkan di atas; ketegarannya, kesetiaannya, keluwesannya, kesupelannya, dan kesederhanaannya. Namun saya melihat pada sosok pak Pendeta yang suka membangkitkan percaya diri orang ini, justru dalam diri pak Pendeta Sukardi ini masih ada juga rasa tidak percaya diri. Khususnya ketika dalam pembicaraan-pembicaraan informal jikalau terjadi gelak tawa…selalu pak Kardi menutupi mulutnya supaya giginya yang ompong tidak kelihatan...dalam benak saya berkata sambil tertawa: “ora usah isin pak Kardi, mbok’o ditutupi kabeh podho ngerti yen pak Kardi kuwi uwis ompong”.
Rewel dan gugup kalau membonceng motor, ini hal yang sering membuat saya nggrundel karena dengan rewelnya pak Kardi telah mengurangi ketenangan dan kenyamanan saya dalam berkendara menikmati laju sepeda motor. Ketika motor sudah melaju kencang punggung saya ditepuk-tepuk pak Kardi sambil berkata: “alon-alon wae pak Pendhito…”, dengan terpaksa saya memperlambat laju motor yang menurut saya melaju lambat. Tapi saya tidak mau mendengar pak Kardi untuk satu hal ini, saya ndableg, sedikit demi sedikit kecepatan motor sengaja saya tambah sampai nyaman menurut saya meski saya tahu pak Kardi takut dan miris. Untuk hal ini saya mohon maaf pak Pendhito Kardi…saya merasa bersalah untuk kesengajaan itu. Tapi rasa bersalah saya serta merta hilang ketika pak Kardi bercerita kepada pak Pdt. Semuel : “mbonceng pak pendhito Yosi, Purbalingga – Cilacap 1 jam, lha piye maneh…tak nikmati wae”. Terima kasih pak Kardi akhirnya telah menikmati motor yang “berlari”.
Mungkin itu secuil kesan saya terhadap pak Kardi selama kurang lebih 9 tahun dalam pelayanan di Klasis banyumas Selatan. Kini pak Pendhito Kardi memasuki masa emeritus, harapan saya status baru sebagai Pendeta Emiritus tidak mengurangi kebersamaan yang selama ini telah terjalin dalam keluarga besar Klasis Banyumas Selatan. Saya juga berharap dengan memasuki masa emeritus tetap berkenan menjadi tempat “jujugan” kami yang masih harus “ngangsu kawruh” lebih banyak lagi.
Akhirnya, atas kesan yang ungkapkan diatas jikalau ada hal yang tidak berkenan dihati pak pendhito saya mohon maaf. Dan selanjutnya saya juga mengucapkan selamat memasuki masa emeritus, selamat berbahagia, dan tetap berkarya. Tuhan Yesus Kristus Raja Gereja memberkati Pak Pendhito Yohanes Sukardi dan anak-anak. Amin. (yaw)
0 komentar:
Posting Komentar