“KATEKISASI DI KLENTENG LAM TJENG KIONG CILACAP”
Pdt. Yosafat Ari Wibowo, S.Si, M.Min
“Pak, apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”, begitu pertanyaan salah seorang peserta katekisasi kepada pak Agus Suyono ketua Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap. Pertanyaan tersebut ternyata mendapat apresiasi yang sangat bagus dari ketua Klenteng yang juga mempunyai studio foto “Matahari” jalan A.Yani tersebut. “Pertanyaan yang bagus sekali, kalau tidak kenal maka tidak sayang” demikian pak Agus menanggapi pertanyaan yang cukup kritis tersebut dengan tersenyum.
Pertanyaan salah satu murid katekisasi tersebut mungkin mewakili pertanyaan banyak orang yang belum memahami tentang kehidupan seputar Klenteng. Pertanyaan itu tentu muncul berdasarkan pengamatan terhadap simbol-simbol dan aktifitas umat ketika berada di Klenteng. Ada banyak patung, kurang lebih ada sekitar 200 buah patung di Klenteng ini. Aktifitas umat Klenteng yang bersujud dan berdoa di depan patung tersebut juga memunculkan pertanyaan apakah mereka menyembah patung.
Pertanyaan diatas dilontarkan pada saat terjadi percakapan antara murid katekisasi sidhi GKJ Cilacap dengan pengurus Klenteng berlangsung pada hari Selasa 14 Juni 2011 jam 18.00 bertempat di Klenteng Lam Tjeng Kiong jalan R.E. Martadinata Cilacap. Percakapan yang hangat tersebut merupakan bagian dalam proses katekisasi sidhi khususnya dalam menambah pemahaman keberbagaian agama. Tambahan wawasan tersebut sangat tepat karena diberikan langsung oleh sumber utama yang mengimani dan menjalani ajaran agama lain tersebut. Perkunjungan di Klenteng diawali dengan dialog bersama pengurus Klenteng di ruang pertemuan. Kurang lebih satu jam dialog diakhiri dan dilanjutkan meninjau tempat doa dan ritual umat Klenteng.
Kegiatan katekisasi di Klenteng tersebut mempunyai maksud dan tujuan agar murid katekisasi mempunyai pemahaman yang bernar dan obyektif menyangkut agama-agama yang ada di sekitar mereka. Penanaman nilai-nilai pluralitas atau keberagaman juga menjadi tujuan dari kegiatan tersebut. Melalui pemahaman yang obyektif serta penanaman nilai-nilai keberagaman sejak dini maka harapan dikemudian hari para murid katekisasi akan mempunyai sikap hidup yang inklusif atau terbuka dengan beragam perbedaan yang ada dalam masyarakat. Sikap hidup inklusif akan menjauhkan mereka dari segala macam bentuk provokasi yang menjadikan sebagai pribadi yang fanatik yang merusak.
MENGENAL KLENTENG LAM TJENG KIONG
Kentheng Lam Tjeng Kiong Cilacap diperkirakan telah ada sejak 120 tahun yang lalu, hal ini didasarkan pada sebuah peninggalan Joli yaitu sebuah tempat yang menyerupai tandu untuk meletakkan patung seorang suci atau dewa, joli ini bertuliskan tahun 1899. Jika Joli tersebut dibuat pada tahun 1899 maka keberadaan Klenteng dipastikan lebih tua sebab logikanya Joli dibuat setelah Klenteng itu berdiri. Tidak diketahui dengan pasti kapan tanggal berdirinya Klenteng ini.
Klenteng di jalan R.E. Martadinata tersebut dikenal dengan nama Klenteng Lam Tjeng Kiong. Nama Klenteng ini mempunyai arti yang baik dan harapannya klenteng ini berfungsi sesuai namanya. Lam berarti selatan, Tjeng berarti bersih atau suci, dan Kiong berarti istana. Lam Tjeng Kiong bisa diartikan sebagai Istana Selatan yang Bersih atau Suci, sesuai dengan namanya memang Klenteng ini pun menghadap ke arah selatan. Tujuan dan harapan keberadaan Klenteng ini adalah sebagai penangkal segala sesuatu yang kotor dan jahat. Sesuatu yang kotor bisa berarti orang-orang jahat, kejadian alam yang merusak (tsunami) ataupun roh dan kuasa jahat. Dengan demikian keberadaan klenteng Lam Tjeng Kiong ini ingin menyingkirkan atau melawan segala kekuatan-kekuatan yang kotor, jahat dan merusak kehidupan.
RITUAL UMAT KLENTENG
Ketika meninjau ruang-ruang doa dalam Klenteng banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh murid katekisasi sebab memang sangat banyak “benda asing” bagi mereka. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah “Bagaimanakah cara umat Klenteng berdoa?”. Pertanyaan tersebut dijelaskan oleh pak Ichwan, salah seorang pengurus harian Klenteng. Dari penjelasan pak Ichwan diperoleh keterangan yang cukup menolong para murid katekisasi untuk memahami rituan dan doa oleh umat Klenteng.
Ketika umat hendak berdoa di Klenteng hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan sarana doa diantaranya hio (dupa/kemenyan berbentuk stik/lidi), air putih, persembahan (buah, minyak goreng, dll). Sarana doa tersebut bisa disiapkan dari rumah atau bisa dibeli di Klenteng. Pembelian sarana doa juga tergolong unik, setiap orang yang mau membeli mengambil sarana doa yang diinginkan dan membayar sendiri di kotak yang telah disiapkan. Jadi tidak ada orang yang menjaga barang-barang tersebut, dalam hal ini kejujuran diri menjadi kunci pokok.
Setelah umat mempersiapkan sarana doa kemudian umat menuju ke altar Ti Kong, yaitu altar yang diperuntukkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Ti Kong atau Tuhan Yang Maha Esa dipercaya sebagai Dewa segala dewa, Dewa (Tuhan) Yang Maha Esa. Menurut keterangan pak Ichwan Ti Kong adalah satu-satunya pihak pertama dan utama yang disembah oleh umat Klenteng. “Jadi kami ini menyembah Tuhan Yang Maha Esa, bukan menyembah patung atau berhala”, demikian kata pak Ichwan.
Ritual dilanjutkan oleh umat dengan menuju ruang doa menurut kebutuhan mereka masing-masing. Ada tiga (3) ruang doa dibelakang Altar Ti Kong, masing-masing dengan nuansa khas yang menunjukkan keberadaan tiga (3) ajaran agama yang ada di Klenteng yaitu Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Itu sebabnya Klenteng juga disebut sebagai Tempat Ibadah Tri Darma (TITD) dimana tiga (3) ajaran agama menyatu di Klenteng. Namun biasanya umat Klenteng akan berdoa dan memohon pertolongan para dewa di tiga tempat doa yang ada. Setiap Klenteng pasti ada yang disebut sebagai dewa tuan rumah, masing-masing Klenteng dewa tuan rumahnya berbeda-beda. Di Klenteng Lam Tjeng Kiong Cilacap yang menjadi dewa tuan rumah adalah Hian Tian Siang Te, yang dipercaya sebagai dewa laut yang memberikan pertolongan kepada manusia yang hidupnya berhubungan dengan laut.
Umat yang berdoa memohon pertolongan kepada para dewa biasanya menanyakan tentang pergumulan dan keberuntungan hidupnya, misalnya tentang kesehatan, jodoh, pekerjaan, dan keluarga. Cara untuk mengetahui jawaban dari pergumulan umat dapat menggunakan beberapa cara, diantaranya;
Sio pe, cara ini menggunakan dua (2) bilah kayu yang berbentuk biji jambu monyet yang terbelah. Untuk mengetahui jawaban pertanyaan umat melemparkan dua (2) bilah kayu ke lantai. Jika dua bilah kayu tersebut tertutup berarti permohonan ditolak. Jika yang satu tertutup dan satu lagi terbuka berarti permohonan diperbolehkan. Dan jika kedua bilah kayu tertutup berarti masih belum ada jawaban.
Ciam Sie atau bambu peramal, terbuat dari batang bambu berbentuk stik menyerupai sumpit pipih dan masing-masing ada nomornya. Fungsi ciam sie adalah untuk mengetahui jawaban pergumulan dan pertanyaan umat. ada dua (2) macam jenis ciam sie, berwarna terang dan gelap. Ciam sie terang untuk mengetahui peruntungan hidup dan ciam sie berwarna gelap untuk mengetahui obat atau kesehatan. Caranya mengetahuinya umat mengambil tabung bambu yang berisi ciam sie dan kemudian dikocok hingga sebuah ciam sie jatuh dari tabung bambu. Nomor yang tertera dalam ciam sie digunakan untuk mengambil gulungan kertas bernomor yang telah ada jawabannya.
Tang Sin, adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk kerasukan dewa hingga melaluinya seseorang bisa berkomunikasi dengan dewa untuk menanyakan jawaban dari suatu pergumulan. Tidak banyak orang yang mempunyai kemampuan menjadi tang sin, meski ada beberapa orang yang mampu tetapi hanya satu orang yang dipilih untuk menjadi tang sin sebuah klenteng.
Setelah umat menyelesaikan ritual dan doa dengan menggunakan ketiga cara tersebut diatas biasanya mereka mengakhiri ritual di klenteng dengan memberikan sesaji atau dana kebajikan baik berupa sembako, minyak ataupun uang. Semua pemberian dari umat tersebut pada prinsipnya untuk menjadi sarana operasional, pemeliharaan dan pengembangan klenteng.
KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
Terkait dengan pertanyaan murid katekisasi tentang apakah umat klenteng umat penyembah patung dan berhala, lebih lanjut pak Agus menjelaskan sesungguh dugaan sebagian banyak orang yang menilai bahwa mereka menyembah patung atau berhala adalah dugaan yang salah. Umat Klenteng pada prinsipnya menyembah TUHAN Yang Maha Esa, hal ini terbukti bahwa ketika umat berdoa di Klenteng altar yang dituju pertama kali adalah Altar untuk Ti Kong (Tuhan Yang Maha Esa). Mereka berdoa dan memberikan sesaji/persembahan kepada Ti Kong.
Umat klenteng memahami dan mempercayai bahwa Ti Kong adalah Tuhan Yang Maha Esa, Kuasa dan Suci serta tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia sehingga umat membutuhkan perantara untuk dapat sampai kepada Ti Kong. Agar permohonan sampai kepada Ti Kong umat klenteng mempercayai adanya dewa-dewa atau orang-orang suci yang akan menyampaikan permohonannya mereka kepada Ti Kong.
Dari penjelasan tersebut muncul pertanyaan dari murid katekisasi, “Antara Ti Kong dan dewa-dewa manakah yang lebih utama untuk disembah dalam kehidupan umat klenteng?”. Ketua klenteng tersebut menjelaskan bahwa Ti Kong adalah yang disembah umat klenteng, adapun dewa-dewa adalah dihormati sebagai orang-orang suci yang dekat dengan Ti Kong yang akan menjadi perantara dan menolong mereka untuk mendapatkan berkat dari Ti Kong. Jadi sesungguhnya umat klenteng adalah penganut paham monotheisme yaitu kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Umat klenteng tidak menganut paham politheisme yaitu paham yang mempercayai dan menyembah berbagai tuhan.
Ditambahkan oleh pak Agus Suyono, Klenteng disebut juga Tempat Ibadah Tri Darma (TITD). Tri berarti tiga (3) dan Darma berarti ajaran, Klenteng adalah tempat menyatunya tiga (3) ajaran yaitu agama Taoisme, Khong Hu Cu, dan Budha. Ketiga ajaran tersebut sepakat untuk berjalan bersama, harapannya sampai selamanya, dengan tetap menghargai kekhasan masing-masing. Setiap umat yang berdoa ke Klenteng pasti akan melakukan ritual dan doa pada setiap ruang dari ketiga agama tersebut.
KEPERCAYAAN TERHADAP DEWA-DEWA
Ada sekitar 200 dewa yang dipercaya oleh umat dan masing-masing dibuat replika atau gambaran berupa patung. Dewa tuan rumah di klenteng ini adalah Hian Tian Siang Te (dewa laut). Beberapa dewa lain adalah, Hok Tek Ceng Sin (dewa bumi), Po Seng Tay Te (dewa pelindung), Sin Long Tay Te (dewa obat), Kam Sin Te Kan (dewa kewibawaan), Cu Sen Niang Niang (dewa kelahiran), Tian Ho Shen Mo (dewa nelayan), dll.
Dalam kepercayaan umat klenteng, dewa-dewa dahulu kala adalah manusia yang hidup bijaksana dan sangat baik kepada sesamanya. Oleh kebaikannya mereka banyak orang yang merasa tertolong dan terlindungi sehingga mereka selalu menghormati meskipun mereka sudah meninggal penghormatan tersebut tetap ada. Penghormatan terus menerus secara turun temurun pada akhirnya dipercayai sebagai orang-orang suci yang kemudian disebut sebagai dewa. Dewa-dewa ini menjadi pengantara umat untuk memperoleh berkat dari Tuhan Yang Maha Kuasa atau Ti Kong.
Ketika masih menjadi manusia dewa-dewa tersebut hidupnya sangat dekat dengan manusia sehingga dewa-dewa memahami betul bagaimana pergumulan manusia. Karena itu dewa-dewa tersebut mampu menyampaikan dengan benar pergumulan dan harapan manusia.
Hok Tek Ceng Sin dipercaya sebagai dewa yang terdekat dengan manusia. Hok Tek Ceng Sin dahulu adalah seorang pejabat yang bernama Thio Hok Tek yang lahir pada tahun 1134 SM. Ia hidup pada jaman dinasti Chao pada masa pemerintahan Kaisar Chao Bu Ong. Hok Tek Ceng Sin seorang yang pandai dan b ijaksana serta berhati mulia. Ketika menjabat sebagai menteri urusan pemungutan pajak, ia selalu bertindak bijaksana dan tidak memberatkan rakyat, sehingga rakyatpun sangat menghormatinya. Setelah ia meninggal dunia pada usia 102 tahun, penggantinya adalah seorang yang berwatak kejam, selalu bertindak kasar dalam menarik pajak, sehingga rakyat menderita dan banyak yang pergi meninggalkan kampong. Dalam masa penderitaan itu mereka sangat mendambakan seorang bijak dan welas asih seperti Hok Tek Ceng Sin. Dalam keadaan susah dan menderita rakyat tidak pernah melupakan kebaikan Thio Hok Tek. Dari sinilah kemudian muncul gelar Hok Tek Ceng Sin. Dalam mengenang kebaikan dan mengharapkan pemimpin seperti Thio Hok Tek maka rakyat membuat rumah-rumahan kecil dan di dalamnya diberi tulisan Hok Tek Ceng Sin. Ketika rakyat berdoa dan percaya akan kemuliaan Hok Tek Ceng Sin maka banyak dari mereka yang terhindar dari malapetaka. Akhirnya mereka sepakat untuk membangun klenteng sebagai tanda terima kasih atas kebaikan dan berkah Hok Tek Ceng Sin.
Kisah Hok Tek Ceng Sin adalah salah satu legenda seorang manusia bijak dan berhati mulia yang pada akhirnya diberi gelar sebagai dewa bumi yang dekat dengan manusia. Begitu juga dengan dewa-dewa lain kisahnya juga sama yakni ketika menjadi manusia mereka adalah orang-orang yang sangat baik, hingga umat memberikan gelar dewa karena kebaikannya.
BARONG SAI SEBAGAI GAMBARAN RAJA YANG AKAN DATANG
Sebagian besar orang sangat mengenal kesenian Barong Sai, yaitu kesenian yang berupa tarian dengan menggunakan patung atau topeng yang berwujud singa dan ular naga. Barong Sai telah menjadi identitas yang menyatu dengan keberadaan klenteng. Hampir dapat dipastikan setiap klenteng mempunyai grup kesenian Barong Sai yang sering digunakan untuk memeriahkan acara-acara keagamaan.
Kesenian Barong Sai adalah kesenian yang dipergunakan untuk mengingatkan seluruh rakyat bahwa akan datang saatnya terwujud pemerintahan seorang raya yang membawa kemakmuran dan keamanan. Dalam kesenian Barong Sai ada gambara dua (2) hewan yang menggambarkan sosok raja yang akan datang. Barong Sai berujud singa, yang menggambarkan seorang raja yang akan datang sebagai raja yang mampu membuat aturan-aturan yang baik sehingga tercipta keamanan. Sedangkan Liong berujud ular naga, yang menggambarkan raja yang akan datang sebagai raja yang kuat sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat.
Demikianlah setiap kali kesenian Barong Sai di arak keliling selalu mengajak rakyat maupun umat untuk mengingat bahwa akan datang pada saatnya raja yang mampu membebaskan dari segala macam bentuk penderitaan. Jadi umat klenteng masih menantikan datangnya seorang raja yang berkuasa yang mampu mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan.
WARUNG KEJUJURAN
Ada hal menarik di klenteng ini yaitu adanya sebuah warung yang menjadi sarana mendidik umat untuk bersikap jujur. Warung kejujuran demikian mereka mengatakan. Warung ini menyediakan berbagai keperluan dan sarana doa bagi umat yang beribadah di klenteng. Warung ini tidak ada yang menunggu. Setiap barang sudah ada harganya dan umat yang mau membeli bisa langsung membayarkan di kotak yang telah disediakan. Jika terjadi ketidakjujuran hal tersebut adalah tanggungjawab orang tersebut terhadap Ti Kong ataupun dewa-dewa. Warung kejujuran ini sebagai media untuk membuktikan bahwa penanaman nilai kejujuran dalam hati umat tersebut betul-betul dilakukan.
KEHIDUPAN SOSIAL KEMASYARAKATAN
Beberapa pengurus klenteng menjelaskan bahwa kehidupan mereka selama pemerintahan Orde baru bisa dikatakan mati suri. Selama kurang lebih 32 tahun kehidupan klenteng dan aktifitas umat selalu diamati oleh penguasa waktu itu. Mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan hanya sebatas di dalam tembok klenteng. Sekian puluh tahun kehidupan klenteng sangat sulit untuk berkembang akibatnya ada mata rantai yang terputus menyangkut segala sesuatu yang terkait dengan klenteng. Informasi ataupun literatur yang berhubungan dengan klenteng sangat sulit ditemukan sehingga menyebabkan klenteng dan umatnya sebagai warga kelas dua.
Sangat berbeda ketika jaman Orde lama ataupun Orde Reformasi, kehidupan klenteng dan umat cenderung lebih leluasa dan bebas melakukan aktifitas hidupnya. Secara khusus ketika Gus Dur menjadi Presiden RI dampak yang dirasakan klenteng dan umatnya sangat luar biasa. Mereka merasakan hak-haknya sama dengan warga Negara yang lain. Lebih dari itu bahwa mereka mendapatkan kebebasan untuk beribadah dan mengekspresikan kesenian yang bernuansa Tiong Hoa. Oleh jasa-jasa Gus Dur itulah umat klenteng menyebut Gus Dur sebagai Bapak kaum Tiong Hoa.
Sejak dibukanya sekat yang memisahkan klenteng dengan dunia luar oleh Gus Dur maka kehidupan umat klenteng mulai masuk dalam tatasan social kemasyarakatan secara lebih luas dan terbuka. Kesempatan mereka untuk mempunyai hak yang sama dengan masyarakat Indonesia lainnya mendorong mereka untuk berbuat sesuatu bagi masyarakat. Secara khusus masyarakat di sekitar klenteng yang hidup pra sejahtera.
Umat klenteng memandang bahwa masyarakat di luar kepercayaan mereka adalah sebagai saudara. Seperti dikatakan oleh pak Agus, “Orang-orang yang ada di empat penjuru mata angin adalah saudara kami”.
KLENTENG DALAM PANDANGAN GEREJA KRISTEN JAWA
Setelah mendengar penjelasan dari pak Agus dan pengurus klenteng tentang kehidupan seputar klenteng pasti kita mendapatkan sesuatu yang baru yang jelas berbeda dengan pemahaman iman GKJ. Sadar atau tidak sadar dalam benak kita mungkin telah menilai mereka secara salah, seperti yang terucap pada pertanyaan murid katekisasi di atas; “apakah umat Klenteng termasuk penyembah patung dan berhala?”.
Klenteng dan umatnya dalam pandangan GKJ adalah sesama kita yang berbeda kepercayaan. GKJ juga mengajarkan bahwa kita membuka diri untuk mau bekerjasama dengan agama dan kepercayaan lain guna menghadirkan damai sejahtera. Bersamaan dengan itu kita tetap harus mempunyai keyakinan iman terhadap apa yang kita imani, namun tanpa harus menghakimi pihak lain. Penghakiman adalah hak Allah, kita tidak boleh mengambil hak Allah dengan cara kita menghakimi orang atau kepercayaan lain.
Kita perlu memperhatikan apa yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Surat Roma 3:29-30;
“Atau adakah Allah hanya Allah orang Yahudi saja? Bukankah Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain? Ya, benar. Ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain!. Artinya, kalau ada satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman.
Tulisan Rasul Paulus diatas mengingatkan kita untuk tidak boleh mengklaim Allah sebagai milik pribadi. Allah adalah juga milik bangsa-bangsa dengan berbagai macam keberagaman budaya dan kepercayaannya. Hanya Allah yang berwenang menilai dan menghakimi segala yang hidup. (yaw).