PENTAKOSTA:
“ Hari Pengucapan Syukur “
Oleh: Pdt. Yosafat AW, S.Si, M.Min
I.
MENILIK PENTAKOSTA GKJ CILACAP
Hari raya gerejawi sudah barang tentu disambut dan
dirayakan dengan penuh sukacita. Pun dengan Pentakosta, salah satu hari raya
gerejawi yang dirayakan setelah Paskah dan Kenaikan Yesus. Pentakosta dalam
tradisi GKJ sering disebut sebagai hari raya Undhuh-undhuh, hal itu didasarkan
pada Pentakosta Yahudi sebagai hari raya Panen. Pada hari Pentakosta jemaat
mempersembahkan hasil bumi, peternakan, dll.
Hal semacam itu rupanya juga merambah dalam kehidupan
jemaat GKJ Cilacap, meski hampir tidak ada jemaat yang berkerja sebagai petani
atau peternak. Namun karena semangat kreatifitas dalam menyelenggarakan tradisi
undhuh-undhuh maka jemaat berduyun-duyun mencari ataupun membeli hasil bumi dan
ternak dari para pedagang yang kemudian dipersembahkan ke gereja. Persembahan
hasil bumi maupun ternak (membeli dari pedagang) terkumpul melimpah sehingga
muncul pertanyaan bagaimana majelis menggunakan persembahan tersebut untuk
mendukung operasional gereja?
Lelang, menjadi pilihan untuk menghabiskan dan
“mengubah” bentuk persembahan hasil bumi supaya praktis digunakan. Cara lelang
pada masanya juga menimbulkan tanggapan sinis sebagian jemaat; “Persembahan kok jadi ajang pamer, yang
punya uang saja yang bisa persembahan”. Tanggapan tersebut direspon dengan
mencari bentuk lain supaya bisa melibatkan sebanyak-banyaknya jemaat untuk
dapat berpartisipasi dalam persembahan undhuh-undhuh. Koin menjadi pilihan lain
untuk melibatkan sebanyak mungkin jemaat. Koin dengan nilai Rp.2000 dan Rp.5000
“dijual” melalui blok-blok untuk ditukar dengan makanan pada saat Pentakosta
atau Undhuh-undhuh. Ternyata sitem kin-pun tidak kalah seru mendapat tanggapan
sinis; “Aku sudah beli banyak koin kok
tidak dapat makanan, percuma membeli koin” ada pula yang protes “Koin tahun lalu kok muncul di tahun ini,
bagaimana ini panitia?”
Hari Raya yang seharusnya menumbuhkan semangat
persaudaraan dan sukacita justru berubah menjadi hari yang mengecewakan dan
penuh amarah, apakah ini menjadi tujuan kita merayakannya? Tentu bukan itu
tujuan kita merayakannya, namun hal diatas adalah realita, kenyataan yang
terjadi di jemaat kita. Ketika mau mengucap syukur didahului “dredah” apakah membuat sejahtera
kehidupan bersama? Oleh sebab itu marilah kita mencari suatu bentuk yang tepat
dalam kita merayakan Pentakosta supaya kita dijauhkan dari sikap nggrundhel dan tidak damai.
II.
MENILIK SEKELUMIT SEJARAH PENTAKOSTA
Kata "pentakosta" berasal dari kata
Yunani “pentekostes" (yang
bersangkutan dengan kata Sansekarta: panca). Kata Yunani itu berarti "yang
kelimapuluh", yakni hari yang kelimapuluh. Pentakosta adalah suatu perayaan
dari agama Yahudi dahulu (dan sekarang) yang diambil alih (dengan dirubah
maknanya) oleh agama kristen. Umat Kristen baru pada pertengahan atau akhir 2
Masehi mulai merayakan Pentakosta sebagai perayaan Kristen. Pesta itu menjadi
perayaan peringatan akan turunnya Roh Kudus atas jemaat Kristen di Yerusalem,
sebagaimana yang diceritakan Kis
2, pada hari kelimapuluh sesudah Yesus
(pada hari Paskah) bangkit dari alam maut. Dalam Perjanjian Lama perayaan
Pentakosta disebut "hari raya panen" (Pengk 23:16). Kemudian
dinamakan "pesta/perayaan pekan-pekan (Kel. 34:22; Im 23:15-17; Ul 16:10;
2Taw 8:13).
A.
Hari Pentakosta dalam Perjanjian Lama
Dalam Imamat
23:16 "lima puluh hari"
mulai dihitung dari persembahan berkas jelai pada permulaan hari raya Paskah.
Dimana Paskah dalam PL adalah hari raya untuk memperingati kuasa Tuhan atas
pembebasan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Hari Pentakosta dalam Perjanjian
Lama diumumkan sebagai:
Pada hari tersebut tidak boleh dilakukan
pekerjaan berat, dan semua laki-laki Israel harus hadir di tempat kudus (Imamat
23:21). Pada saat imam
mempersembahkan korban-korban binatang untuk menghapus dosa dan memperoleh
keselamatan (Imamat
23:17-20).
Pada hari itu orang Israel saleh mengungkapkan
rasa terima kasihnya karena berkat tuaian gandum dan sekaligus menyatakan rasa
takut dan hormat kepada Yahweh (Yeremia
5:24).
Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa hari raya Pentakosta dalam tradisi
Perjanjian Lama adalah hari dimana seluruh umat Israel mengucap syukur atas
berkat Tuhan yang dilimpahkan kepada umat melalui pekerjaannya (hasil pertanian
& ternak).
B.
Hari Pentakosta dalam Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Baru, Hari Pentakosta berubah
maknanya setelah terjadi peristiwa yang mengherankan, dimana Roh Kudus turun
memenuhi para rasul di Yerusalem (Kisah Rasul 2:1-13).
Sesudah kebangkitan dan kenaikan Kristus (sekitar
tahun 30M), persis pada hari Pentakosta yang diperingati seperti dalam zaman
PL, murid-murid berkumpul di sebuah rumah di Yerusalem, dan Roh Kudus turun
atas mereka Selanjutnya, para rasul mulai berkata-kata dalam berbagai bahasa
asing dari orang-orang yang juga berkumpul di Yerusalem. Sehingga orang banyak
yang sedang berkumpul itu dapat mengerti karena para rasul berbicara dalam
bahasa daerah mereka masing-masing tentang perbuatan-perbuatan besar yang
dilakukan Allah (Kisah Rasul 2:5-13).
III.
MEMAKNAI PENTAKOSTA DI GKJ CILACAP
Ada
rentang waktu yang sangat jauh antara Pentakosta mula-mula dengan Pentakosta
saat ini, tentu banyak perubahan dan kita bisa menggali makna lebih dalam serta
mewujudkan sesuai konteks jemaat.
A.
Konteks Jemaat
Kota
Cilacap, oleh pemerintah maupun Sinode GKJ, dipetakan sebagai kota industri,
perdagangan dan jasa. Komposisi jemaat GKJ Cilacap tidak jauh dari pemetaan
tersebut. Sebagian besar jemaat GKJ Cilacap berprofesi sebagai karyawan
perusahaan/industri dan sebagian lainnya bekerja dalam bidang jasa (guru,
kontrakstor, wirausaha,dll). Dalam konteks inilah jemaat tumbuh dan berkembang
bersama dalam keluarga besar GKJ Cilacap. Jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris,
tidak bekerja sebagai petani dan peternak.
B.
Program Pelayanan
Pentakosta
selama ini oleh Majelis dan jemaat dijadikan sebagai kesempatan untuk lebih
menggumuli makna persembahan sebagai
ungkapan syukur, hingga berbagai teknis persembahan ditempuh guna mencapai
tujuan tersebut. Mulai dari persembahan natura/hasil bumi dan ternak yang
kemudian dilelang, dengan koin penukar sampai dengan cara umum yaitu membagikan
amplop khusus.
Teknis
persembahan pada saat Pentakosta atau Undhuh-undhuh ditujukan untuk
mengumpulkan persembahan semaksimal mungkin. Apakah tujuan dan target itu
tercapai, tentu bergantung bagaimana cara pandang kita. Namun paling tidak untuk
mengetahui apakah tujuan tercapai atau tidak dapat diukur dari jumlah
persembahan yang terkumpul. Persembahan jemaat merupakan sumber utama untuk
menopang segala kebutuhan gereja bagi pelayanan bersama.
Saat ini program pelayanan GKJ Cilacap sedang
berlangsung dan membutuhkan dukungan dana dari seluruh jemaat. Mengingat akan
kebutuhan dalam pelayanan, apakah dimungkinkan jika Pentakosta tahun ini kita
jadikan sebagai kesempatan untuk mengucap syukur secara lebih maksimal
dibanding dengan waktu-waktu sebelumnya?
C.
Memaknai Pentakosta di GKJ Cilacap: Sebuah Usulan
Memperhatikan perayaan Pentakosta di GKJ Cilacap yang
selama ini dilakukan, kita dapat memperhatikan beberapa hal;
1. Perayaan Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap,
secara umum, sudah berjalan cukup baik.
2. Tujuan dan target diadakannya perayaan Pentakosta selama
ini masih dapat dimaksimalkan.
3. Adanya persoalan yang mengarah pada perselisihan
terkait dengan lelang dan bazaar, koin penukar, maupun persembahan yang didapat
dari pembelian kepada pedagang (parcel buah & makanan). Hal-hal tersebut
agak mengganggu suasana sukacita hari raya.
Dari pokok-pokok perhatian diatas rasanya kita perlu
untuk memikirkan cara atau teknis yang diharapkan dapat mengatasi persoalan
yang muncul.
Dengan semangat tersebut kita mencoba menuangkan
beberapa pikiran yang mungkin bisa kita sepakati menjadi model atau cara yang
lebih tepat dan sesuai konteks bagi jemaat GKJ Cilacap untuk merayakan
Pentakosta. Beberapa pemikiran sebagai usul diantaranya;
1.
Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur.
Mengingat
Pentakosta adalah sebagai masa akhir Paskah, hari bahagia karena kebangkitan
Yesus Kristus, maka kita jadikan Pentakosta sebagai Hari Pengucapan Syukur kepada Tuhan atas segala berkat yang
telah dilimpahkan kepada kita. Di hari Pentakosta/undhuh-undhuh kita
mengungkapkan betapa kita mengucapkan syukur atas pengorbanan Tuhan Yesus yang
telah menebus dosa-dosa kita, bahkan bukan hanya itu saja kita mengucap syukur
atas berkat jasmani maupun rohani yang telah diberikan kepada kita.
2.
Pentakosta sebagai Hari Memberikan yang Asli.
Memperhatikan
bahwa jemaat GKJ Cilacap bukan jemaat agraris maka ada baiknya jika kita
mengkaji ulang pengucapan syukur dalam bentuk natura/hasil bumi, apalagi jika
didapat dari membeli kepada pedagang. Mungkin kita perlu mendalami apa yang
dikatakan oleh Rasul Paulus dalam 2 Kor. 8:12 “Sebab jika kamu rela untuk memberi, maka pemberianmu akan diterima,
kalau pemberianmu itu berdasarkan apa yang ada padamu, bukan berdasarkan apa
yang tidak ada padamu”. Berdasarkan Firman tersebut kita diingatkan untuk
memberikan berdasarkan yang ada pada kita, bukan berdasarkan apa yang tidak ada
pada kita.
Konteks
jemaat GKJ Cilacap adalah sebagai karyawan maupun penyedia jasa sehingga bukan
suatu keharusan mempersembahkan hasil bumi/natura. Namun tidak menutup
kemungkinan bahwa hasil bumi/natura tetap menjadi persembahan karena memang
memiliki kebun atau sawah. Pentakosta sebagai hari untuk memberikan yang asli/otentik yang ada pada kita. Misalnya, jika kita
sebagai karyawan, pegawai, atau wirasawasta
maka yang asli/otentik dari kita adalah materi/uang. Jika ada jemaat
berprofesi sebagai petani atau nelayan maka pemberian yang otentik tentulah
hasil bumi atau ikan laut, dsb.
3.
Pentakosta sebagai Hari Memberi dengan Patut/Pantas
Jika
kita ditanya: “Apakah persembahan syukur
kita sudah patut atau pantas selama ini?” Tentu yang mampu menjawab dengan tepat
dan benar adalah diri kita sendiri, sesuai pemahaman masing-masing tentang apa
itu persembahan syukur. Ada satu ayat yang bisa menolong kita untuk menjawab
pertanyaan diatas. Ulangan 16:16b – 17; “Janganlah ia menghadap hadirat TUHAN dengan
tangan hampa, tetapi masing-masing dengan sekedar persembahan, sesuai dengan
berkat yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu." Mungkin bagi
beberapa orang Firman ini ditanggapi dengan sinis, karena terkait pengalaman
pribadi mereka, namun mau tidak mau itu adalah Firman Allah. Bukan perkataan manusia ataupun melekat pada
sosok pribadi tertentu. Firman tersebut mengingatkan dan mengajarkan kepada
kita bahwa;
Pertama, persembahan atau ucapan syukur adalah suatu hal yang
perlu dipersiapkan sejak
sebelum menghadap Tuhan/beribadah. Sering terjadi bahwa kita mencari-cari
pecahan uang terkecil dalam dompet untuk dipersembahkan dalam ibadah atau PA,
hal tersebut menjadi salah satu indikasi/tanda yang menunjukkan ketidaksiapan
kita menghadap hadirat Tuhan. Kesungguhan dalam mempersiapkan dapat ditempuh
dengan cara mengalokasikan (menyisihkan/dipething) persembahan sebagai anggaran
pengeluaran pribadi/rumah tangga. Dengan cara tersebut akan menjadikan kita
lebih siap dalam mengucap syukur kapanpun.
Kedua,
persembahan hendaknya sesuai dengan berkat yang
diberikan Tuhan kepada kita. Seberapa persembahan syukur kita dikatakan sesuai,
sedikit atau banyak? Sedikit atau banyak jumlah angka persembahan tentu bukanlah
ukuran kepatutan/kepantasan. Kita tentu sepakat bahwa ukurannya adalah memakai
ukuran kita masing-masing, sebab masing-masing kitalah yang bisa mengukur dan
merasakan berkat Tuhan secara pribadi. Mungkin muncul pertanyaan; “Apakah Alkitab memberikan ukuran
kepatutan/kepantasan dalam hal persembahan?”.
Jika pertanyaan itu sangat dinantikan jawabnya, secara umum
kita bisa merujuk pada ukuran kepatutan/kepantasan yang umum digunakan dalam
tradisi Perjanjian lama dan Perjanjian Baru.
Ukuran kepatutan/kepantasan persembahan dalam tradisi PL adalah
persembahan persepuluhan. Persepuluhan dapat dipahami sebagai ukuran minimal kepatutan persembahan
kepada Tuhan. Imamat 27:30 “Demikian juga segala persembahan persepuluhan dari tanah, baik dari
hasil benih di tanah maupun dari buah pohon-pohonan, adalah milik TUHAN; itulah persembahan kudus bagi TUHAN.” Dan Maleakhi 3:10 “Bawalah seluruh
persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada
persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah
Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu
tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan”.
Kedua Firman tersebut mengingatkan bahwa
segala hasil/pendapatan/income yang kita terima sepersepuluhnya (10%) adalah
milik Tuhan sebagai persembahan. Bahkan Tuhan Allah menantang kita; “ujilah
Aku”, bahwa Ia akan mencurahkan berkat kepada setiap orang yang datang
dengan persembahan perpuluhan.
Adapun ukuran kepatutan/kepantasan dalam PB adalah “seluruh
tubuh”, semuanya, menyeluruh, totalitas. Roma 12:1: “Karena itu, saudara-saudara, demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati”. Lukas 21:3-4;
“Lalu Ia berkata: "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua
orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi
janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh
nafkahnya."
Kedua Firman tersebut
mengajarkan nahwa kepatutan/kepantasan tidak hanya sepersepuluh dari milik kita
tetapi 100%. Hal tersebut tentu tidak hanya dipahami secara lahiriah bahwa
seluruh milik kita harus kita jual dan dipersembahkan, tetapi lebih kepada
pemahaman memberi dengan iklas, lahir batin, jasmani rohani iklas.
Pentakosta
tahun ini mari kita jadikan moment/kesempatan bagi kita masing-masing secara
jujur dan sungguh-sungguh mengukur kepatutan/kepantasan persembahan syukur kita
atas berkat-berkat yang telah Tuhan berikan kepada kita.
IV.
PEMBUKA DISKUSI: SEBAGAI PENUTUP
1.
Bagaimanakah
pengalaman saudara menghayati Pentakosta/Undhuh-undhuh di GKJ Cilacap?
2.
Bagaimanakah
tanggapan saudara terhadap tiga (3) pemikiran tentang usulan pemaknaan
Pentakosta? (yaw-20.04.12)
0 komentar:
Posting Komentar